12/01/2023

Mengurai Amarah Meraih Bahagia

Emosi adalah luapan perasaan atau gejolak jiwa yang diekspresikan dalam tingkah laku. Emosi dapat ditunjukkan dengan perasaan senang, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu. Semua orang tentu pernah mengalami perasaan itu. Dalam kadar tertentu, luapan emosional, baik berupa kesenangan, kesedihan, atau kemarahan adalah manusiawi dan lumrah. Namun jika berlebihan bisa membahayakan.

Sangat penting bagi kita untuk menahan atau mengontrol perasaan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Hal ini selain untuk kesehatan mental diri sendiri, juga dalam rangka menjaga perasaan orang lain, atau membuat keadaan menjadi tidak bersahabat. Dengan menahan diri kita bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Baca juga Perdamaian di 2023: Harapan dan Tantangan

Ada seorang penyintas terorisme, sebut saja Fulanah namanya, yang sangat marah ketika dipertemukan pertama kali dengan mantan pelaku terorisme. Dalam forum tersebut, ia mengeluarkan kata-kata yang kurang elok . Bahkan menurut dia, andai saat itu tak menghormati forum, mungkin ia sudah melemparkan benda tertentu ke mantan pelaku terorisme tersebut. Dalam konteks tersebut, si Fulanah masih bisa mengendalikan amarahnya sehingga tidak memicu dampak mudarat lebih luas. Namun usai pertemuan tersebut, emosinya justru tak stabil.

Ia memang bertahun-tahun memendam kemarahan terhadap pelaku serangan yang membuatnya menjadi penyandang disabilitas. Rasa yang dipendamnya tersebut meluap tak terbendung saat bertemu dengan mantan pelaku terorisme, yang sejatinya tak berkaitan langsung dengan peristiwa yang menimpanya.

Baca juga Disonansi Memicu Koreksi Bag. 1

Emosi yang labil membuat hidup Fulanah tak tenang. Kesehatan fisiknya juga terganggu. Ia lantas menyadari bahwa amarah yang dipicu rasa dendam itu harus dihapuskan, bukan untuk siapa-siapa, tapi demi kebaikan dirinya. Singkat kata, dengan pelbagai upaya, ia berhasil sampai pada titik keikhlasan menerima musibah yang menimpanya dan menerima apa pun kondisi fisik dirinya.

Lebih dari itu, ia bisa memaafkan para pelaku terorisme, baik yang terlibat langsung dengan aksinya maupun peristiwa teror lainnya. Melalui proses dan waktu yang cukup panjang, Fulanah menyadari bahwa kemarahan dan pembalasan dendam tak bakal mengembalikan apa pun yang hilang dari dirinya.

Baca juga Disonansi Memicu Koreksi (Bag. 2)

Ada kutipan populer yang kerap dinisbatkan kepada sosok Confusius, “Kalau Anda sudah siap untuk melakukan balas dendam, maka galilah dulu dua kuburan. Satu untuk dia dan satunya untuk Anda sendiri.” Dendam tak pernah menyelesaikan persoalan dan sebaliknya memerpanjang masalah. Karena itu, sejatinya cara balas dendam terbaik adalah dengan menunjukkan bahwa kita baik-baik saja saat disakiti. Bahkan bisa memaafkan tanpa perlu diminta. Tentu tak mudah sampai tahap ini. Tapi dengan ikhtiar personal yang serius sebagaimana dilakukan Fulanah, tahapan itu bisa dicapai.

Memaafkan bukan berarti melupakan kesalahan. Di akhir hayatnya, mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah berpesan kepada putrinya, “Maafkanlah semua lawan politikmu tetapi jangan lupakan kesalahannya.” Kesalahan adalah pelajaran. Jika dilupakan maka kita akan dihukum untuk mengulangi kesalahan yang sama kedua kali.

Baca juga Disonansi Memicu Koreksi (Bag. 3 Selesai)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *