14/01/2023

Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. Terakhir)

Budijono berhasil berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan pelaku. Tidak cukup sampai di situ, Budijono melakukan hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Dia memberikan beasiswa kepada anak mantan narapidana teroris. Tentu ini merupakan suatu hal yang cukup mengherankan. Bagaimana bisa seseorang yang telah menderita karena aksi teroris, justru mengayomi anak dari pelaku terorisme, meski berbeda peristiwa.

Budijono punya alasan tersendiri soal ini. Menurutnya, memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjadi manusia yang lebih baik sangatlah penting, tak peduli sekelam apa masa lalunya.

Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 1)

“Jadi, saya punya pemikiran begini, ya, kalau misalnya orang tersebut tidak kita kasih ruang untuk menjadi baik, jangan pernah berharap orang itu akan menjadi baik. Pemikiran saya sebenarnya cuma seperti itu saja, karena perbuatan jahat yang mereka lakukan itu belum tentu punya niat yang jahat,” ujarnya.

Budijono meyakini, bisa saja para pelaku itu tidak menyadari bahwa aksi yang dilakukannya salah. Mereka terhasut oleh ideologi ekstrem yang mendorongnya berbuat kekerasan dengan menggunakan agama sebagai alasan pembenar. Dalam pandangannya, bila para pelaku telah menjalani hukuman kemudian bertobat, masyarakat harus menerima kehadiran mereka.

Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 2)

“Kalau kita tetap menjauhi mereka, yang ada akan timbul sakit hati, dendam, dan akhirnya mereka akan benar-benar memusuhi kita dan akan membalas dendam, dan tidak akan pernah berhenti. Jadi, kalau kita tidak menciptakan rekonsiliasi, tidak mungkin akan selesai (masalahnya-red). Di agama saya ada ajaran kasih, yang mengajarkan untuk saling memaafkan,” kata Budijono.

Pria berkacamata itu mengaku tidak takut jika harus merangkul mantan teroris dan keluarganya, meskipun orang-orang di sekitarnya telah mengingatkan ‘jangan memelihara anak macan’. Namun, Budijono tetap teguh dengan keputusannya. Merangkul mantan penjahat bukan pertama kalinya dilakukan oleh Budijono. Sebelumnya, dia pernah mempekerjakan mantan narapidana perampokan yang sudah bertobat, tapi belum diterima oleh masyarakat. Budijono melihat mantan napi tersebut punya semangat, tapi tidak ada yang mau menerima keberadaannya.

Baca juga Pasang Surut Kehidupan Penyintas

“Saya tawarkan, kamu mau tidak kerja dengan saya? Kita dirikan perusahaan. Tapi kamu janji sama saya, bahwa kamu menyesal, berjanji menjadi orang baik, dan tidak menjadi kriminal lagi. Setiap kali dia emosi, saya selalu ingatkan soal janji tersebut. Akhirnya dia menjadi orang baik,” kenangnya.

Ditanya apakah Budijono takut dilukai kembali oleh mantan pelaku yang ia rangkul, Budijono hanya menjawab bahwa musibah adalah bagian dari takdir Tuhan. “Kalau sudah jadwalnya saya dibacok, saya takut atau tidak takut pun tetap akan dibacok. Kalau memang itu terjadi, berarti itu sudah menjadi bagian dari nasib saya. Tidak ada yang perlu disesalkan. Yang jelas, niat saya baik untuk dia, bukan mau memanfaatkan,” tuturnya.

Baca juga Ikhlas Menerima Suratan Takdir

Kisah Budijono menjadi teladan tentang bagaimana seorang manusia harus bersikap kepada sesama. Kita mungkin pernah disakiti dan dilukai oleh seseorang, tapi bukan berarti luka itu harus kita bawa sampai mati. Bersikap ikhlas dan berusaha memberikan kesempatan kedua bagi mereka adalah puncak tertinggi karakter agung manusia.

Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *