Saat Napiter “Kehilangan” Anaknya
Aliansi Indonesia Damai- Sosok anak di mata ayahnya bagaikan embun pagi yang menyejukkan, terlebih jika masih usia balita. Ayah pasti senang jika bermain, berlibur, dan melakukan aktivitas positif lain bersama anak-anaknya.
Namun segala hal yang menyenangkan tersebut pernah terlewatkan oleh Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme asal Bandung. Akibat perbuatannya bersama kelompok ekstremisme kekerasan, ia kehilangan waktu kebersamaan dengan buah hatinya selama bertahun-tahun. Hal yang kemudian disesalinya.
Baca juga Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bag. 1)
Kisah ini berawal dari keputusannya puluhan tahun lalu. Semasa SMA, Kurnia diajak oleh temannya untuk mengikuti pengajian di luar kegiatan sekolah. Ia tertarik dan aktif mengikutinya. Ia mendapatkan banyak pengetahuan keislaman yang belum pernah ia peroleh. Lama-lama ia disuruh untuk bersumpah setia dengan kelompok pengajian tersebut yang ternyata berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Ia diajari banyak pemahaman yang cenderung berbeda jauh dari ajaran Islam pada umumnya. Misalnya pengkafiran terhadap negara dan aparatnya, menolak upacara bendera, antipemilu, dan bahkan menghalalkan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan. Pada puncaknya, ia bersama kelompoknya membuat bom sebagai bentuk persiapan jihad. Akibatnya Kurnia harus berurusan dengan hukum dan dijebloskan ke penjara.
Baca juga Hati-Hati Mencari Ilmu
Bertahun-tahun Kurnia menjalani hukumannya. Beruntung ia menemukan pencerahan di dalam Lapas. Ia sering berdiskusi dengan teman-temannya, petugas, dan ustaz-ustaz dari luar Lapas tentang pemahaman yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran. Pada akhirnya ia mengoreksi pemahamannya yang dulu.
Faktor lain yang mendorong perubahan Kurnia adalah korban. Dahulu Kurnia tidak memikirkan dampak kerusakan, meski pelbagai aksi pengeboman di Indonesia telah menelan ratusan korban tak bersalah. Ia baru menyadari hal itu setelah bertemu dan berbincang dengan korban, orang-orang yang terdampak secara fisik dan psikis akibat aksi-aksi terorisme.
Baca juga Jalan Hijrah Mantan Ekstremis
Faktor lain yang tak kalah menyentuh hatinya adalah keluarga. Menurut dia, istri dan anak-anaknya turut menjadi “korban” karena harus menjalani kehidupan tanpa kasih sayang dan pelindungan kepala keluarga. Salah satu anak yang masih dalam kandungan saat ia ditangkap memanggil Kurnia dengan “Om” lantaran tak mengenal sosok ayahnya. “Ketika pulang, saya dipanggil “Om” oleh anak saya. Di situ hati seperti tersayat-sayat,” ucap Kurnia.
Kurnia telah sepenuhnya menyadari kesalahan pemikiran dan perbuatannya dulu. Kini ia banyak mengisi waktu bersama istri dan anak-anak yang ia cintai. Menurut Kurnia, dalam ajaran Islam, kewajiban utama seorang ayah adalah menjaga atau memelihara diri dan keluarganya dari api neraka. Membesarkan dan mendidik anak menjadi generasi yang saleh yang mencintai agama dan bangsa harus menjadi prioritas sebelum membina umat. Hadirkanlah kebaikan di keluargamu, niscaya kebaikan akan hadir di negaramu.
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian