19/06/2024

Mengatur Jurnalisme di Platform Digital

Oleh: Masduki,
Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Perdebatan bagaimana mengatur konten jurnalistik di media digital menjadi hangat belakangan ini menyusul keluarnya draf RUU Penyiaran versi Badan Legislasi DPR.

Pasal 50B Ayat (2) Huruf c di draf itu menyebutkan, ”…kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), memuat larangan mengenai: …c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”.

Baca juga Akademi Bahagia

Pasal ini dinilai insan pers bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU No 40/1999 tentang Pers: ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran”. Pasal ini juga berisiko mengerdilkan peran pers sebagai alat kontrol atas kekuasaan dan mengarah ke apa yang disebut Victor Pikard (2019), democracy without journalism.

Konten jurnalistik

Terdapat tiga perspektif dalam melihat posisi, kegiatan, dan konten jurnalisme di ruang publik. Pertama, dalam iklim media pers yang liberalistik, konten jurnalistik adalah consumer good sehingga berlaku hukum pasar kompetisi produksi berita secara terbuka. Jurnalistik tak ubahnya komoditas biasa, diproduksi lalu diperjualbelikan, tanpa ada peran dan ketentuan etis yang mengacu ke kepentingan publik.

Di ruang digital, aktivitas dan konten jurnalistik mengacu pada logika algoritma untuk mencapai standar viralitas (click bait), bukan kualitas apalagi kebutuhan publik. Fungsi kontrol kekuasaan dari media pers siber tidak murni karena berkelindan dengan misi bisnis.

Baca juga Mengatasi Stagnasi Kualitas Pendidikan Nasional

Kedua, dalam budaya politik otoritarian saat media pers terkooptasi oleh aktor politik, pemilik partai atau pemerintah; konten dan aktivitas jurnalistik bisa berposisi sebagai political good. Selain melaksanakan kontrol atas kekuasaan melalui kerja investigasi, konten berita kerap dipakai sebagai alat menyerang lawan politik. Ini risiko dari intensitas intervensi pemilik media cum politisi atas meja redaksi.

Perspektif ketiga melihat siaran jurnalistik sebagai public good, suatu asumsi ideal bahwa jurnalistik bekerja untuk memenuhi hak publik atas informasi. Investigasi yang membongkar kekuasaan koruptif akan jadi sumber daya masyarakat dalam merumuskan pilihan politik.

Baca juga Sebab Jurnalisme Investigasi Harus Terus Ada

Kontroversi yang muncul atas gagasan pelarangan konten investigasi berkelindan dengan perbedaan titik pijak atas pendekatan ini. Konteks peristiwa politik Pilpres 2019 hingga 2024 memunculkan beragam pandangan atas posisi dan kontribusi jurnalisme dalam demokrasi elektoral.

Brutalnya praktik disinformasi politik di ranah digital membuat produk jurnalistik jadi keruh (Blur, 2011), meminjam Bill Kovach dan Tom Rosensteil. Di sisi lain, konten jurnalistik digital yang mengafirmasi tradisi media konvensional, misal Bocor Alus, justru memberi tekanan lebih keras tingkah politisi busuk.

Baca juga Metode Living Books Sebagai Media Merdeka Belajar

Dalam situasi yang panik, politisi pembuat regulasi tak mampu membedakan antara merebaknya disinformasi politik sebagai residu percakapan digital dengan investigasi sebagai public good. Mereka memosisikan jurnalisme investigasi sebagai semata political good.

Pengaturan kolaboratif

Berangkat dari ketiga pendekatan tadi, sejumlah negara demokrasi mengatur agar jurnalisme tetap pada jalurnya sebagai public good. Pengaturan tak semata pada proteksi agar jurnalisme investigasi tetap dapat ruang memadai di ranah digital, tetapi juga agar media berita dan platform digital berkolaborasi menjaga hak publik atas informasi yang berkualitas.

Dalam hal ini, UU Pers, Penyiaran, dan ketentuan publisher rights harus berada dalam satu misi proteksi kebebasan pers dan keberlanjutannya. Selain memastikan hak publik terlayani oleh jurnalisme investigasi di ranah digital, pelarangan atas kepemilikan media pers oleh politisi juga sangat urgen agar kredibilitas media terjaga.

Baca juga Jadilah Guru yang Menyenangkan

Spektrum kebijakan terkait media pers di dunia menganut dua rezim klasik: public regulation dan self-regulation, dipadukan dengan model collaborative regulation karena ekosistemnya bersifat global, melibatkan korporasi digital transnasional.

Model public regulation mengasumsikan praktik komunikasi siaran jurnalistik yang memakai frekuensi sebagai ranah publik harus melibatkan otoritas independen atas nama pemerintah dan publik selaku regulator. Model ini berangkat dari norma infrastruktur penyiaran sebagai kekayaan publik di satu sisi dan menuntut media menjaga konten agar selaras dengan hak publik di sisi lain. Dalam praktik di negara demokrasi maju dan pasca-otoriter, penerjemahan diksi publik tak mengacu ke pemerintah, tetapi lembaga independen, seperti Ofcom di Inggris dan KPI/Dewan Pers di Indonesia.

Baca juga Madinah Sumbu Peradaban

Sementara itu, model self-regulation memberikan ruang otonomi ke media pers atau individu jurnalis, terutama terkait isi berita dan etik (non-infrastruktur) untuk mengatur dirinya sendiri. Nah, siaran jurnalistik sebagai public good membutuhkan kerangka pikir self-regulation yang ketat karena intervensi pemerintah lewat model public regulation yang melampaui infrastruktur bisa berisiko pembatasan informasi.

Ke depan, ketika platform digital menjadi ruang publik, collaborative regulation adalah pendekatan alternatif guna menegosiasikan kepentingan pers, negara, dan platform digital.

Baca juga Bahaya Laten Bullying di Sekolah

Dalam konteks Indonesia, pengaturan terkait jurnalistik sebetulnya berada di dua ranah regulasi: UU Pers dan UU Penyiaran. UU Pers mengacu sepenuhnya pada rezim bahwa jurnalistik adalah public good dan karena itu ketentuan lebih lanjut dimandatkan pada komunitas pers lewat Dewan Pers sebagai moda self-regulation.

Adapun UU Penyiaran No 32/2002 tidak perlu mengatur konten jurnalistik secara mendetail karena hal ini ranah UU Pers. Semua pihak harus menyadari bahwa kebebasan pers melalui jurnalisme yang memeriksa kekuasaan (investigasi) adalah amanat reformasi yang menghapus intervensi otoritas politik kepada media pers.

Baca juga Kebangkitan Digital Nasional

Gagasan pelarangan jurnalistik investigasi di RUU Penyiaran adalah langkah berbahaya. Selain melawan ketentuan UU Pers, juga mengkhianati norma jurnalisme sebagai public good dan pilar demokrasi.

*Artikel ini terbit di kompas.id, Senin 27 Mei 2024

Baca juga Kuliah Mahal di Kampus Negeri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *