Home Berita Belajar Memaafkan dan Mengakui Kesalahan dari Korban dan Mantan Teroris
Berita - Pilihan Redaksi - 25/09/2019

Belajar Memaafkan dan Mengakui Kesalahan dari Korban dan Mantan Teroris

Aliansi Indonesia Damai – Tak sedikit siswa-siswi SMA Negeri 1 Sindang, Indramayu peserta Dialog Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh yang terkaget. Raut muka mereka berubah. Sebagian bahkan menutupi telinga dan menggidikkan kepala.

Itu terjadi ketika Sutarno, salah satu korban aksi teror bom di kawasan Kuningan Jakarta Selatan 9 September 2004, mengisahkan perjuangannya menyelamatkan diri. Akibat ledakan yang luar biasa dahsyat itu, seluruh dinding kaca Rumah Sakit MMC yang berjarak sekitar 80 meter dari pusat ledakan, pecah dan berjatuhan. Celakanya, Sutarno sedang berada tepat di bawahnya.

”Bayangkan, bagaimana rasanya kehujanan pecahan kaca dari gedung lantai tujuh? Itulah yang saya alami. Pecahan-pecahan kaca itu menancap di punggung saya,” tutur Sutarno di hadapan 50 siswa SMA Negeri 1 Sindang, Selasa (27/8) lalu.

Baca juga Pesan Perdamaian untuk Generasi Muda Bangsa

Sebagian besar siswa SMAN 1 Sindang masih sangat kecil, sebagiannya justru belum lahir, ketika peristiwa Bom Kuningan 2004 terjadi. Mereka tercengang ketika menyimak kesaksian seorang korban dari tragedi itu. Sesuai tema kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pagi itu, Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh, para siswa diharapkan bisa menyerap nilai ketangguhan dari korban terorisme.

Tak hanya punggung, pecahan kaca dalam ukuran lebih besar jatuh menghantam kepala Sutarno. ”Andai kaca itu jatuhnya dengan posisi miring, mungkin saya sudah meninggal,” ujarnya lirih.

Akibat terluka karena ledakan bom, selama 2-3 bulan Sutarno tidak bisa bekerja. Selain luka fisik, dia juga mengalami trauma. ”Saya di rumah saja bersama istri dan anak-anak. Saya sering meratapi nasib dan emosi saya mudah tersulut, temperamental,” akunya.

Untuk menyembuhkan traumanya, bapak tiga anak ini harus menjalani konseling. Setelah selama tiga bulan konseling, dia bersyukur bisa kembali pulih. ”Melihat anak-anak dan istri yang selalu memberikan dukungan, membuat semangat saya untuk bangkit dan bekerja lagi, makin besar,” ungkap warga Bogor ini.

Sutarno, Korban Bom Kuningan 2004

Kepada para peserta Dialog Interaktif di SMA Negeri 1 Sindang, Sutarno berpesan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Bukan menyelesaikan masalah, membalas kekerasan dengan kekerasan justru memunculkan masalah baru. Sutarno juga mengajak untuk tidak menjadi pendendam. ”Saya memaafkan pelaku pengeboman sebelum mereka meminta maaf. Karena semua orang bisa khilaf dan mempunyai kesalahan. Untuk itu kita harus menyikapinya secara dewasa. Lebih dari itu, memaafkan lebih mulia daripada meminta maaf,” katanya.

Dia berharap siswa-siswi SMAN 1 Sindang mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya agar bisa menjadi generasi yang kuat dan tangguh.

Dulu Jual Senjata, Kini Jual Sandal

Iswanto, seorang mantan anggota kelompok teroris, turut menjadi narasumber dalam Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di sekolah tersebut. Pria asal Lamongan ini pernah bergabung dengan kelompok kekerasan selama beberapa tahun sebelum akhirnya sadar.

Ketika berusia 17 tahun, Iswanto telah bergabung dengan Jemaah Islamiyah (JI), kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena melakukan aksi-aksi terorisme di Indonesia. Iswanto dilatih menggunakan senjata, merakit bom, dan berperang. Pada waktu itu, ia didoktrin bahwa segala aktivitasnya di dunia kekerasan bernilai jihad, yaitu perjuangan di jalan Tuhan.

Baca juga Jalan Panjang Mantan Kombatan Menuju Perdamaian

Akan tetapi, seiring waktu kesadaran Iswanto timbul. Ia telusuri kembali buku-buku rujukan tentang jihad dan ia temukan bahwa makna jihad sangat luas. ”Tidak terbatas pada perang. Belajar juga termasuk bagian dari jihad,” ungkapnya. Ia pun memutuskan untuk keluar dari jaringan terorisme lantaran menimbang mudaratnya yang sangat merusak kehidupan.

Iswanto makin sadar bahwa keputusannya meninggalkan dunia kekerasan sangatlah tepat, saat dipertemukan dengan korban aksi terorisme dalam sebuah kegiatan AIDA. Dia menyadari, terorisme membuat kehidupan banyak orang menderita. ”Saya membayangkan seandainya yang menjadi korban itu saya atau keluarga saya,” tuturnya.

Meski tidak terlibat aksi terorisme di Indonesia secara langsung, Iswanto meminta maaf kepada para korban. Dia juga meminta kepada teman-temannya yang terlibat dalam aksi kekerasan untuk segera bertobat. ”Atas nama pribadi dan teman-teman, saya memohon maaf atas kesalahan di masa lalu, baik yang sengaja maupun tidak disengaja,” pintanya.

Kini, selain menjadi guru sekolah, Iswanto membuka toko tak jauh dari rumahnya di Lamongan. ”Kalau dulu jualan senjata, sekarang jualan sandal,” ujarnya sambil tersenyum.

Baca juga Kisah Korban Inspirasi Ketangguhan Kalangan Muda

Belajar dari pengalamannya, Iswanto berpesan kepada siswa-siswi SMA Negeri 1 Sindang untuk memahami agama sebagai ajaran perdamaian, bukan kekerasan. Selain itu, ia mengingatkan para siswa untuk selalu kritis terhadap informasi apa pun yang kini begitu mudah menyebar melalui media sosial. ”Berhati-hatilah memilih teman dan guru. Saya masuk ke dunia kekerasan dan kemudian keluar karena pengaruh guru. Untuk itu pilihlah guru dan teman yang bisa mendukung perdamaian,” kata dia.

Belajar Ketangguhan

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam Dialog Interaktif di SMAN 1 Sindang mengutip sebuah ungkapan, lihatlah apa yang disampaikan, janganlah melihat yang menyampaikan. ”Kebaikan datangnya bisa dari mana saja. Kita bisa berguru kepada siapa pun. Termasuk kepada Pak Iswanto dan Pak Sutarno,” katanya.

Dari Iswanto, siswa-siswi bisa belajar betapa bahayanya kekerasan. ”Jika kekerasan dibiarkan akan timbul korban, seperti Pak Sutarno. Untuk itu kita harus menjaga supaya tidak ada kekerasan atas nama apa pun. Sebaliknya, kita harus saling menghormati, menjaga toleransi. Daripada saling melakukan kekerasan lebih baik saling membagikan kenyamanan,” papar Hasibullah.

Dari kedua narasumber, para pelajar juga bisa belajar tentang ketangguhan. Menurut Hasibullah, dari Sutarno para siswa bisa menyadari bahwa semua orang pernah jatuh, sedih dan menangis. ”Tangguh bagi Pak Sutarno adalah mengubah tangisan menjadi senyuman bagi sebanyak-banyaknya orang. Pak Sutarno menderita tetapi hari ini membagikan kisahnya agar orang lain tidak menderita. Tidak perlu jatuh seperti dirinya,” katanya.

Sedangkan dari Iswanto, menurut Hasibullah, generasi tangguh bukanlah orang yang tidak pernah salah. ”Semua orang pasti pernah bersalah. Tapi orang yang tangguh adalah orang yang mengakui kesalahannya dan memperbaiki,” ujarnya.

Itulah semangat ketangguhan yang diharapkan bisa diserap oleh para siswa peserta Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”. [HP]

Baca juga Pembelajaran dari Kisah Hidup Korban dan Mantan Pelaku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *