15/06/2021

Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga

Aliansi Indonesia Damai- Yuni Karta masih ingat betul musibah yang menimpanya hampir 14 tahun silam. Saat melintasi jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 9 September 2004, terdengar ledakan keras diiringi hawa panas. Saking panasnya, tiang besi kabin bus kopaja yang ia pegang meleleh. Walhasil tangannya seperti terekat.

“Bus seperti terbang. Kaca bus pecah dan berhamburan ke dalam,” ujar Yuni mengingat peristiwa yang menimpanya. Ia membagikan kisahnya dalam Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar AIDA, akhir Mei lalu.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini diikuti oleh para jurnalis dari pelbagai media massa di Sulawesi. Sejumlah narasumber dihadirkan, antara lain Yuni sebagai korban Bom Kuningan 2004 dan mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi. Keduanya saat ini tergabung dalam Tim Perdamaian AIDA.

Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi

Kala itu Yuni hendak mengantarkan pesanan catering ke salah satu kantor di dekat Kedutaan Besar Australia. Makanan telah dikirim terlebih dahulu menggunakan sepeda motor. Sementara dia menyusul dengan menumpang bus Kopaja. Tak ada firasat apa pun sebelumnya.

Sesaat pascaledakan, Yuni berupaya bergegas keluar. Dia tarik tangannya yang menempel di besi sekuat tenaga. Saat terlepas, badan Yuni terdorong keluar hingga kepalanya membentur aspal. Dia lantas dievakuasi oleh seseorang menuju Rumah Sakit Mata Aini yang tak jauh dari lokasi kejadian.

Karena fasilitas yang tak mendukung, Yuni dirujuk ke rumah sakit umum berbekal asuransi milik suaminya. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa bagian punggung tangan kiri Yuni sobek dan tertancap serpihan, telapak tangannya pecah, ibu jarinya tidak berfungsi, dan jari kelingkingnya patah. “Dari tahun 2004 sampai 2006, saya menjalani empat kali operasi. Ada tawaran berobat ke Australia, namun saya tolak karena anak-anak masih kecil, tidak bisa ditinggalkan,” katanya.

Baca juga Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes

Belakangan, kepala dan pinggang Yuni juga sering sakit. Dampak lain yang dirasakannya adalah trauma berkepanjangan. Pernah saat tengah melintasi salah satu jembatan penyeberangan di sekitar tempat kejadian, tubuhnya tiba-tiba gemetar dan lemas. Ia harus dibantu oleh orang lain untuk menyeberangi jembatan tersebut. “Saya juga takut pergi sendirian menggunakan angkutan umum. Lebih sering minta ditemani,” ucapnya.

Lahirnya sang anak bungsu di tahun 2010 membuka secercah harapan bagi Yuni untuk melanjutkan hidup secara normal. Dia juga sering berkumpul dengan sesama korban bom, sehingga dirinya merasa dikuatkan.

“Segala sesuatu yang sudah terjadi adalah takdir dari Allah yang harus saya terima dengan ikhlas dan rasa syukur. Musibah jangan sampai membuat kita terpuruk. Kita harus bangkit dan menatap masa depan yang lebih cerah,” ungkap Yuni dengan tegar.

Baca juga Penyintas Bom Menggugah Nurani Jurnalis

Sementara Ali Fauzi, berdasarkan pengalaman pribadinya, menyampaikan faktor-faktor yang menyeret seseorang terlibat jaringan ekstrem. Kini Ali telah sepenuhnya meninggalkan kelompok lamanya. Banyak faktor yang memengaruhi hijrahnya menuju jalan perdamaian. Namun yang paling berkesan adalah pertemuannya dengan korban. “Saat pertama kali bertemu korban bom, saya menangis dan meminta maaf,” katanya.

Atas kesalahannya di masa lalu, Ali menyampaikan permohonan maafnya, terutama kepada Yuni. “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlibatan saya dalam jaringan teroris yang banyak mendatangkan mudarat atau bahaya, baik untuk individu, negara, dan agama kita,” tutur Ali.

Baca juga Tiga Tahun Bom Surabaya: Menyalurkan Inspirasi Ketangguhan

Menurut Ali, ibarat penyakit, terorisme adalah komplikasi, sehingga membutuhkan obat khusus untuk menyembuhkannya. Salah satunya adalah dengan menolak persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi. Dirinya adalah bukti bahwa kelompok teroris benar-benar tumbuh tanpa rekayasa pihak mana pun.

“Sayangnya perspektif masyarakat Indonesia masih kacau, khususnya perspektif di dunia akademisi cukup jungkir balik. Mereka masih mengatakan terorisme rekayasa, pengalihan isu, permainan intelijen. Sehingga gimana mau mencegah. Perspektifnya salah. Pure, apa yang saya ceritakan, bagian dari perjalanan hidup saya,” ujar Ali tegas. [FAH]

Baca juga Mendengar Penuturan Pendamping Korban Bom Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *