16/06/2021

Terapi Pemaafan

Oleh Muhammad Saiful Haq
Sarjana Psikologi UIN Maliki Malang

Setiap orang tentu pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan saat berinteraksi dengan individu maupun kelompok tertentu. Hal tersebut tentu normal dalam kehidupan sosial. Beberapa kesan akan mudah dilupakan, namun banyak pula yang terendap dalam pikiran.  

Kesan buruk yang tersimpan berubah menjadi emosi negatif yang rawan menjadi rasa dendam hingga amarah berkepanjangan. Hal ini dapat merusak atau setidaknya mengganggu kondisi psikis.

Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial

Beberapa penelitian menunjukkan, membalas dendam kerapkali tidak menyelesaikan masalah, bahkan tidak sama sekali menuntaskan amarah. Pelaku tidak merasa lebih baik setelah membalaskan dendamnya, bahkan situasi dapat menjadi lebih buruk. Fakta seperti ini memunculkan kajian pentingnya memaafkan (forgiveness) sebagai salah satu solusi menetralisasi emosi negatif.

Hasil riset tersebut sejalan dengan pengalaman korban terorisme yang pernah menaruh dendam terhadap pelaku terorisme, namun pada akhirnya memberikan maaf. Tidak jarang para korban dapat merasakan kelegaan dan ketenangan batin. Beban hilang setelah memberikan maaf yang tulus kepada mantan pelaku terorisme.

Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad

Dalam studi psikologi positif, pemaafan merupakan proses psikis internal individu yang secara sukarela melepas perasaan dan pikiran atas rasa benci, marah, serta keinginan balas dendam terhadap orang lain, bahkan dirinya sendiri. Bahkan pemaafan disebut bagian dari terapi personal bagi seseorang yang ingin memiliki mental yang lebih baik. Sebagian ahli menyebutkan, memaafkan adalah usaha untuk mengatasi dampak negatif terhadap orang yang menyakiti dengan menunjukkan rasa kasihan, perdamaian, dan cinta (McCullough, Fincham & Tsang, 2003).

Fase-fase memaafkan

Meski berdampak baik, tidak mudah memberikan maaf. Lewis B. Smedes dalam bukunya, Forgive and forget: healing the hurts we don’t deserve, menuliskan bahwa memaafkan membutuhkan proses yang tidak mudah. Ada banyak fase yang ditempuh.

Baca juga Analisis Budaya: Halalbihalal

Fase pertama, kemampuan untuk membalut luka hati. Pada fase ini seseorang berusaha meredakan sakit hati dan menghilangkan kebenciannya agar tidak menjadi penyakit hati. Seseorang akan mulai menyadari bahwa rasa benci, marah, serta keinginan balas dendam pada akhirnya hanya akan menghilangkan ketenangan dan kesenangan dalam kehidupan.

Fase kedua, meredakan kebencian. Hal ini bertujuan untuk memahami alasan orang lain menyakitinya, sekaligus introspeksi diri atas alasan orang lain melakukan tindakan yang menyakitkan. Muncul kesadaran untuk mengurangi kebencian karena dengan kebencian segala hal menjadi lebih buruk. Rasa benci, marah serta keinginan balas dendam tidak hanya melukai orang lain, namun juga diri sendiri.

Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban

Fase ketiga, upaya penyembuhan diri dengan melepaskan segala ingatan yang menyakitkan dengan berfokus melupakan kesalahan orang lain di masa lampau. Fase ini sebagai upaya meraih ketenangan hati lantaran jenuh dengan pikiran negatifnya. Seorang akan mulai memaafkan sekaligus melepaskan sakit hati terhadap kesalahan atau kejadian yang menyakitkan di masa lalu.

Fase terakhir yaitu berjalan bersama. Pada fase ini timbul ketulusan antara seseorang yang disakiti dan yang menyakiti untuk bersama-sama melupakan kesalahan dan permusuhan. Kebencian di hati berubah menjadi jembatan membangun hubungan baik, sekaligus merajut asa untuk perdamaian.

Memang memaafkan bukan perkara mudah. Perlu proses dan waktu melakukannya. Namun seseorang yang mampu memberikan maaf telah menunjukkan sikap kedewasaan dan kearifan lebih baik daripada orang yang masih terkurung dalam kebenciannya.

Baca juga Memberantas Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *