29/07/2021

Liputan Media Mesti Berperspektif Korban

Aliansi Indonesia Damai- Perspektif korban dalam isu terorisme harus diarusutamakan dalam pemberitaan media massa. Perspektif ini memang tidak mudah diimplementasikan, namun sangat bermanfaat dalam konteks pembangunan perdamaian.

Hasibullah Satrawi, Ketua Pengurus AIDA, mengatakan, framing media terhadap kasus terorisme masih cenderung menitikberatkan pada pelakunya. Kebanyakan pemberitaan masih menempatkan korban sebagai objek dan angka-angka. “Liputan perspektif korban ini harus dilakukan untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya hak-hak korban,” kata Hasibullah dalam acara Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang Digelar AIDA, Selasa (27/7).

Baca juga Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga

Hasibullah menjelaskan, peliputan yang mengarusutamakan korban dapat mengedukasi masyarakat dalam tiga hal. Pertama, meluruskan pandangan sebagian masyarakat yang masih menganggap terorisme sebagai konspirasi. Kehadiran korban dapat membuktikan bahwa terorisme betul-betul nyata dan telah membuat korbannya menderita. “Terorisme itu nyata, bukan konspirasi, bukan rekayasa. Korban ini buktinya,” ujarnya.

Ia menilai, bila anggapan konspirasi ini terus muncul di kalangan masyarakat, maka terorisme seolah-olah tidak berbahaya, bahkan dapat membuat masyarakat abai terhadap ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok teroris. “Kalau masyarakat sendiri tidak sadar, malah kita bisa bermain-main dengan keamanan kita semua,” ujar Hasibullah yang sudah bertahun-tahun mendampingi korban terorisme.

Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi

Kedua, perspektif korban juga dapat mengenalkan kepada masyarakat tentang adanya kelompok yang dapat membahayakan sesama. Kesadaran bersama itu dianggap penting agar bahaya terorisme dapat diantisipasi sejak dan dari lingkup yang paling kecil. Perspektif korban dalam liputan media juga dapat mengedukasi masyarakat akan dampak kerusakan yang akan terjadi dari aksi-aksi kekerasan terorisme. “Ini pengenalan dini tentang bahaya terorisme, sehingga masyarakat menjadi sadar,” tuturnya.

Bila dua poin di atas mampu tersalurkan kepada masyarakat, maka edukasi ketiga adalah masyarakat diharapkan mampu mencegah bersama potensi munculnya aksi dan gerakan terorisme. Menurut Hasibullah, keterlibatan masyarakat dalam pencegahan terorisme sangat penting. Kalau masyarakat bisa mencegahnya, maka ibarat Covid, masyarakat akan dan harus bisa melakukan prokes (protokol kesehatan: red), atau protokol pencegahan aksi terorisme,” katanya.

Baca juga Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes

Di hadapan puluhan jurnalis dari wilayah Sumatera itu, Hasibullah mengingatkan bahwa setiap orang berpotensi menjadi korban sekaligus pelakunya. Ia mencontohkan latar belakang pelaku sangat bermacam-macam. Terorisme dinilai tidak pernah melihat background seseorang. Siapa pun dapat terpapar paham teror bila tidak diimbangi pengetahuan yang luas dan aspek pencegahan yang kuat.

Sebaliknya, dari unsur korban juga terdiri dari bermacam-macam orang. Para korban tak pernah mengira akan terkena ledakan bom saat terjadinya peristiwa itu. Sebagian ada yang tengah bekerja, sementara sebagian yang lain hanya sekadar lewat. “Kita semua bisa menjadi pelaku. Mereka terdiri dari berbagai background dan latar belakang. Begitu juga dengan korban juga terdiri dari kalangan yang bermacam-macam. Tidak ada yang kebal, kita semua berpotensi menjadi korban,” tegasnya.

Di akhir paparannya, Hasibullah mengajak insan media untuk turut membantu kebangkitan para korban sekaligus pelakunya. Pengalaman Hasibullah mendampingi para korban dan mantan pelakunya yang berujung pada rekonsiliasi mampu menjadi kisah inspiratif untuk membangun Indonesia yang lebih damai. [AH]

Baca juga Penyintas Bom Menggugah Nurani Jurnalis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *