08/02/2022

Ekstremisme Berlawanan dengan Fitrah Manusia: Refleksi Mantan Pelaku

Oleh Fikri
Master Ilmu Politik UI

Sebulan setelah deklarasi Khilafah Islamiyah pada Juni 2014 oleh organisasi kekerasan bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), sepak terjang mereka tiba-tiba menjadi trending topic di media-media cetak dan elektronik internasional, begitu juga di media sosial. Kelompok yang dipimpin Abu Bakar Al Baghdadi ini banyak dibicarakan publik. Begitu pun di Indonesia. Apalagi setelah beredar video di youtube berjudul “Join The Ranks” pada 30 Juli 2014. Dengan mengambil latar belakang alam Suriah, tampak sejumlah orang mengajak masyarakat Indonesia untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.

Fenomena ISIS menjadi magnet kuat bagi sebagian masyarakat. Pemberlakuan syariat Islam secara kafah dan kemakmuran ekonomi menjadi salah satu propaganda ISIS. Banyak orang berbondong-bondong hijrah ke Suriah. Segala upaya dilakukan agar bisa hijrah ke sana, meski harus mengorbankan harta benda. Nyatanya, kendati sudah berikhtiar optimal, tak semua orang dapat mewujudkan niatnya. Salah satunya narapidana terorisme (napiter) yang pernah penulis jumpai. Sebut saja namanya Fulan.

Bergabung kelompok ekstrem

Fulan terpapar ekstremisme pertama kali pada tahun 2013 melalui forum kajian di salah satu daerah di Jawa Barat. Tema-tema yang dibahas kebanyakan tentang jihad dan penegakan daulah Islam. Salah satunya tentang aneka peristiwa yang terjadi di Suriah. Dikatakan bahwa umat Islam di sana sedang mengalami tindakan kezaliman oleh rezim penguasa Bashar Al Assad. Sebagai seorang muslim ia tergugah hati dan pikirannya untuk membantu saudara seagamanya.

Kuatnya narasi tersebut mendorong Fulan berniat pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.  Ia ingin mengangkat senjata melawan rezim tiran bersama ISIS yang mengklaim sebagai khilafah ala minhajin nubuwwah. Segala cara dilakukan agar dapat berangkat, tetapi takdir tak mengizinkannya.

Baca juga Pendidikan untuk Perdamaian

Dalam kondisi kecewa, ia didatangi oleh teman yang dikenalnya lewat media sosial. “Jika tidak bisa hijrah, ya jihad di Indonesia,” ujar Fulan menirukan ucapan temannya. Orang tersebut juga menawarkan kepadanya untuk melakukan amaliyat serangan, yaitu pengeboman dan penembakan. Fulan setuju dengan tawaran tersebut. Terlebih selama ini ia memang gemar merakit petasan. Keterampilan yang menunjangnya dalam proses belajar membuat bom.

Usai dirakit, teman-temannya membawa bom tersebut. Fulan tak tahu akan digunakan kapan dan di mana bom racikannya. Hingga terjadilah serangan teror di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Ia yakin bahwa bom yang meledak adalah karyanya setelah media massa menyebut nama-nama pelaku serangan. Fulan pun bersujud syukur dan merasa bangga. Memang dalam pemahaman kelompok ekstrem, aksi bom bunuh diri adalah amal saleh yang utama.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bagian 1)

Setelah serangan tersebut, aparat melakukan penegakan hukum dan menangkap orang-orang yang terlibat, termasuk Fulan yang dicokok saat hendak makan malam di warung. Ia divonis hukuman penjara. Idealnya Lapas dapat menimbulkan efek jera, tapi tidak bagi Fulan. Ia justru mengalami doktrinasi lebih lanjut karena bertemu dan berdiskusi dengan napiter yang lebih senior. Penjara membuat pemahamannya yang ekstrem bertambah kuat.

Ekstremisme

Basis kekuatan kelompok ekstrem terletak pada ideologi, yakni seperangkat pemahaman yang sederhana, tapi berdampak pada pengelompokan, yaitu kawan dan lawan atau muslim dan kafir. Doktrin tersebut sering diistilahkan dengan takfiri, yaitu mudah mengkafirkan seorang muslim atas dosa besar yang dilakukan. Doktrin ini juga menjatuhkan vonis kafir kepada kaum muslim yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya. Itu yang paling bahaya.

Sebagai implementasi pemahaman ekstrem ini, sebagaimana dituturkan Fulan, ia harus mencabut surat kuasa di pengadilan, haram ikut pemilihan umum, dan beberapa hal lain. Karena perbuatan tersebut merupakan bagian dari kekufuran. Selama di penjara ia juga menunjukan sikap yang sinis kepada para petugas karena menganggap semua aparat merupakan  bagian dari kekuasaan kafir.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.2)

Hal tersebut juga didasarkan pada doktrin tentang kafir harbi, yaitu orang kafir yang boleh diperangi. Semua aparat termasuk warga Indonesia yang tidak menganut pemahaman ISIS maka statusnya kafir harbi. Umat muslim juga diharuskan berjihad dan bisa mendapatkan status mati syahid. Jihad harus disegerakan agar mendapat ampunan dari Allah, salah satunya dengan aksi bom bunuh diri, sebagaimana yang pernah terjadi di Jl MH Thamrin Jakarta tahun 2016, Kampung Melayu Jakarta tahun 2017, Surabaya tahun 2018, dan awal tahun 2021 di Makassar.

Fitrah manusia

Selama bertahun-tahun menjalani hukuman penjara, Fulan terus menerus menerima doktrin yang lebih keras. Sampai pada satu titik ia mengalami semacam goncangan batin. Ia bertanya kepada diri sendiri tentang kebenaran ideologi yang dianutnya.

Pada dasarnya jika seseorang dipahamkan oleh ajaran agama yang benar, akan mengalami dua hal: pertama, ajaran agama yang benar pasti sesuai dengan fitrah manusia. Salah satu fitrah manusia adalah senang terhadap perdamaian. Membunuh orang tak bersalah baik sengaja atau tidak adalah perkara besar dalam Islam. Kedua, ajaran agama akan selalu mendorong orang menuju kebaikan.

Baca juga Refleksi Akhir Tahun Korban, Pelaku Terorisme, dan Nurani Kita

Pengeboman dan pembunuhan secara sporadis sangat jauh dari kebaikan. Sebagai muslim, kita dilarang untuk menghakimi atas takdir yang kita sendiri belum mengetahuinya. Artinya, jika tidak berhak menghakimi kesalahan seseorang, maka tak boleh ada penghalalan darah. Kita tidak tahu takdir seseorang ke depan. Bisa jadi orang tersebut akan menjadi lebih baik dengan didakwahi secara lembut dan penuh kasih sayang.

Selain karena pemahaman atau ideologi, perubahan yang ia alami diperkuat dengan renungan kemanusiaan. Fulan banyak membaca kisah-kisah korban dan keluarganya dari produk-produk AIDA yang diberikan oleh pembinanya di Lapas. Ia bahkan meminta dipertemukan dengan korban atau keluarganya untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas perbuatan yang ia lakukan dahulu.

Baca juga Distorsi Kaidah Ulil Amri: Upaya Memahami dan Menyikapi Kepemimpinan secara Utuh

Kisah korban bom lebih menghidupkan hatinya. Hatinya yang selama ini mengeras, bahkan ia lupa kapan terakhir meneteskan air mata, tiba-tiba luluh saat bersilaturahmi dengan salah seorang korban Bom Thamrin. Fulan menangis terisak dan menghaturkan permohonan maaf. Ia juga berkomitmen untuk meninggalkan jalan kekerasan agar tak ada lagi aksi-aksi yang menimbulkan jatuhnya korban tak bersalah. Ia menjadi lebih yakin bahwa perbuatannya dulu salah besar.

Fulan kini aktif mengajak teman-temannya yang masih berpikiran ekstrem agar menghentikan niatnya melakukan aksi-aksi yang justru menimbulkan banyak kemudaratan ketimbang manfaat bagi umat muslim.

Baca juga Pemerintahan Ideal Menurut Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *