Membahagiakan Saudara yang Berujung Malapetaka
Aliansi Indonesia Damai– Tidak satu pun orang menginginkan dirinya menjadi korban kekerasan, apalagi terorisme. Demikian pula dengan Agus Kurnia, penyintas Bom Thamrin 14 Januari 2016 silam. Meskipun mengaku telah memiliki firasat buruk sebelumnya, namun Agus sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa dia dan adik angkatnya akan mengalami tragedi tersebut.
Masih lekat dalam ingatan Agus, tiga hari sebelum peristiwa nahas itu terjadi, adik angkatnya, Muhammad Nurman Permana, mulai menunjukkan sikap yang janggal. Nurman beberapa kali merengek kepada Agus bahwa dirinya sangat merindukan ibunya yang tinggal di Bogor. Nurman bahkan mengatakan ingin sekali berfoto bersama keluarga dengan memakai baju yang seragam. Karena tidak bisa menahan gejolak rindu pada sang ibu, setiap malam, ia bermimpi tentang ibunya.
Melihat hal tersebut, Agus merasa gelisah dan akhirnya mengajak Nurman bertemu keluarga di Bogor. Agus sangat takut kejanggalan sikap Nurman adalah pertanda akan terjadi sesuatu padanya sebab sebelumnya Nurman tidak pernah menunjukkan sikap yang demikian.
Sehari sebelum kejadian, Agus bersama Nurman dan keluarga angkatnya berkumpul bersama. Mereka mengunjungi tempat wisata, makan bersama, dan juga berfoto dengan menggunakan dress code seperti yang diinginkan oleh Nurman. Yang ada dalam benak Agus saat itu hanyalah ingin membuat adiknya bahagia karena ia sangat takut kehilangan adiknya. Agus bahkan mengajak keluarganya mendoakan Nurman agar tidak terjadi sesuatu yang buruk.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin: Terorisme Tidak Memanusiakan Manusia
Sepulang dari Bogor, ketika sudah sampai di Jakarta, Nurman kembali menunjukkan sikap yang aneh. Ia ngotot untuk pergi ke salah satu operator penyedia jasa layanan seluler yang terletak di pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Karena masih memiliki kekhawatiran terhadap adiknya, sebagai kakak, Agus merasa bertanggung jawab untuk mengantar meskipun sebenarnya pada hari itu dirinya memiliki jadwal untuk bekerja.
Segala sesuatunya masih baik-baik saja hingga mereka keluar dari Sarinah. Sekitar pukul 10.00 pagi, ketika berjalan menuju tempat kos di daerah Kebon Kacang, Agus dan adiknya mendengar suara ledakan cukup keras dari kedai kopi Starbucks yang berada di salah satu sudut Jl. MH Thamrin. Saat itu keduanya masih berjalan dengan santai. Agus bahkan masih sempat menjelaskan kepada adiknya bahwa ledakan itu mungkin bersumber dari kompor gas di kedai kopi.
Sebagai orang yang juga bekerja di suatu restoran, Agus mengatakan pada adiknya bahwa yang terjadi di kedai tersebut kemungkinan adalah kelalaian dalam hal keamanan dapur. Nurman tidak percaya dengan penjelasan Agus begitu saja. Ia meyakini bahwa itu adalah ledakan bom, karena pada saat itu orang-orang mulai bersimbah darah keluar dari kedai kopi.
Tidak lama berselang setelah kejadian ledakan di kedai kopi, Agus dan adiknya melintas untuk menyeberang. Saat itulah ledakan kedua terjadi. Lokasi ledakan tepat di pos polisi, dekat dengan posisi Agus dan adiknya yang sedang melintas.
“Sebetulnya saya curiga dengan satu-dua orang yang berjalan bersampingan dengan saya menuju pos polisi. Saya curiga dengan orang yang sedang membawa tas di dekat saya. Tapi saya takut saya salah menduga. Setelah kejadian dan kembali flash back, saya yakin yang berpapasan dengan saya itulah pelakunya,” ungkap Agus.
Baca juga Korban Bom Thamrin Mengubah Dendam Menjadi Ikhlas
Ia mengaku berjarak tak lebih dari dua meter dari lokasi ledakan. “Saya merasa dari sekian orang yang berada di area pos polisi, hanya saya yang mendapat anugerah. Saya merasa sangat dilindungi Allah sebab secara logika, setelah Pak Deny (polisi yang sedang berada di pos) mungkin harusnya saya yang meninggal karena posisi saya sangat dekat dengan pelaku,” tambahnya.
Saat itu Agus hanya memakai celana training ukuran tiga perempat dan kaus. Di dekat lokasi kejadian terdapat kaca yang besar dan tebal, namun tak satu pun kepingan pecahan kaca menyentuh tubuhnya. Namun, situasi kengerian dialaminya. Cipratan darah dan potongan tubuh manusia yang tercerai-berai akibat ledakan bom berserakan di sekelilingnya, dan sebagian mengenai dan menempel di tubuhnya.
Agus menduga yang berserakan itu adalah potongan tubuh orang yang ia kira sebagai pelaku. Ia mengaku beruntung karena sempat berhenti sejenak ketika berpapasan dengan pelaku, sehingga saat meledak, posisi pelaku berjarak beberapa langkah darinya. Seingatnya, posisi dirinya terhalangi oleh dua orang terduga pelaku, sehingga dirinya tidak terkena serpihan bom atau pun kaca. Agus meyakini saat ledakan terjadi, pelaku meninggal seketika.
Karena tempat bekerja sekaligus tempat tinggal Agus tidak jauh dari lokasi ledakan, maka lokasi tersebut tak asing dengannya. Sembari menahan luka, Agus memilih tempat persembunyian yang aman di daerah itu. Saat itu, ia terpisah dengan adiknya untuk mencari lokasi aman masing-masing. Agus bersembunyi di bunker, mengumpet di lift yang sudah mati, sedangkan adiknya berlari ke arah lain, tak menghiraukan kendaraan yang melaju.
Dengan terhuyung-huyung, Agus justru masuk ke gedung Sarinah. Dia mengalami kesulitan saat berada di sana karena ratusan atau mungkin ribuan orang berhamburan keluar sementara dirinya justru berusaha masuk ke dalam gedung. Agus merasa saat itu gendang telinganya sudah bolong dan beku akibat suara dentuman bom yang sangat dahsyat. Agus berteriak meminta tolong namun tak satu pun orang yang menghampirinya. Semua orang sibuk dengan keselamatannya masing-masing.
Meskipun begitu, Agus tidak menyerah. Dengan kondisi yang semakin lemah ia memilih bangkit dan berjalan lagi menuju jalur pemberhentian bus Transjakarta. Sepanjang jalan ia berteriak meminta tolong namun tetap tidak ada yang menolongnya. Ia kemudian mencoba masuk ke dalam kantor Bawaslu, namun di sana orang lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing. Tidak ada yang menghiraukannya.

Agus kemudian memilih berjalan ke arah Tanah Abang untuk mencari adiknya. Di perjalanan itulah Agus merasakan kegetiran yang luar biasa. Agus berteriak meminta tolong, “Tolong saya, saya korban, tolong saya!” Tidak satu pun orang yang menoleh ke arahnya. Orang-orang ia rasai seolah malah mementingkan untuk berswafoto dan melihat peristiwa bom sebagai tontonan.
Akhirnya, ia menemukan adiknya bersimpah darah di pinggir jalan. Ada lubang besar sekitar 12 cm di bagian ketiaknya. Darah mengucur cukup deras. Dalam keadaan masih tertatih, Agus tetap harus berusaha menyelamatkan nyawa adiknya. Beruntung saat itu, pedagang kopi di pinggir jalan, yang tak lain adalah kenalan Agus, bersedia menolong mereka. Saat itu suasana di jalanan sudah sangat kacau. Dengan menggunakan bajaj, Agus dan adiknya dibawa ke Puskesmas Tanah Abang 6.
Karena pendengaran yang sudah tidak berfungsi normal, Agus tidak mampu mendengar volume suaranya sendiri. Sepanjang perjalanan hingga ke Puskesmas tanpa ia sadari, ia berteriak-teriak. Sesampainya di Puskesmas, Agus tidak segera ditolong. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa dirinya adalah orang gila. Petugas Puskesmas bahkan menelepon pihak kepolisian melihat kondisinya yang berteriak-teriak.
Agus berpikir barangkali saat itu petugas Puskesmas menganggap bahwa dirinya membuat kegaduhan. Di saat kegaduhan di Puskesmas itu terjadi, seorang petugas yang lain mencoba menyalakan televisi dan baru mengetahui bahwa ada ledakan bom. Akhirnya, pihak kepolisian terdekat datang ke Puskesmas tersebut, lalu ikut mengiringi Agus dan adiknya untuk dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
Di tempat yang lain, ibu angkat Agus di Bogor menjerit panik karena mendapati dua nama anaknya dalam daftar korban Bom Thamrin melalui siaran televisi. Saat itu ibunda secara spontan menghubungi suaminya yang tengah bertugas sebagai polisi di Polsek Pulogadung. Secara kebetulan, suaminya juga sedang ditugaskan mewakili Polsek Pulogadung untuk terjun ke lokasi ledakan. Sontak ia kaget. Bersama dengan rombongan, ayahanda menyusul ke RSPAD untuk melihat kondisi kedua anaknya. Sang ayah juga sempat histeris ketika berada di Rumah Sakit. Ia mengalami kebingungan karena anaknya tidak dapat dirawat dalam kamar yang sama karena memiliki luka yang berbeda. Nurman harus menjalani operasi bedah, sedangkan Agus harus menjalani perawatan lain.
Agus dirawat di RSPAD selama beberapa minggu. Luka pada telinga Agus sudah divonis oleh dokter tidak akan bisa disembuhkan 100%. Dentuman yang sangat keras membuat gendang telinganya bolong. Agus harus menerima kenyataan pahit menggunakan alat bantu dengar.
Setelah dua tahun memakai alat bantu dengar, rupanya kebaikan Tuhan kembali menyapa Agus. Ia kembali bisa mendengar tanpa alat bantu karena trauma akustik yang menyerang telinganya telah pulih. Agus hanya perlu tempat yang tidak terlalu bising. “Dulu kalau dengar suara apa pun, meskipun volume-nya rendah, akan terdengar sangat keras dan sakit di telinga saya,” ungkapnya.
Bukan hanya luka di telinga cedera yang menyerang Agus. Luka-luka lain pascaledakan bom pun turut menyerang ke seluruh tubuh hingga saat ini. “Awal sakit saya dari telinga, kemudian daya tangkap saya melemah, lalu sakit pada pundak dan kepala. Bahkan sekitar tiga minggu lalu saya telah divonis terkena spasmophilia,” tutur Agus.
Spasmophilia adalah kelainan pada otot saraf. Selama ini Agus tidak menyadari bahwa dirinya terkena spasmophilia karena tidak melakukan pengecekan kesehatan. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan Agus telah terkena penyakit ini sejak tahun 2017. Saat itu Agus pingsan hampir setiap hari, Setiap hari dia mengonsumsi obat-obatan untuk mencegah gejala sering pingsan. Selain tak sadarkan diri, Agus juga sering mengalami “mati rasa” pada tubuhnya.
“Kadang kaki dan tangan saya tidak bisa digerakkan. Saya mendadak tidak bisa jalan, atau kadang pengelihatan saya menjadi rabun,” ungkapnya. Spasmophilia yang kini diderita Agus adalah spasmophilia (++), jika nanti akan berkembang menjadi spasmophilia (++++) maka terpaksa Agus harus menjalani operasi.
Mengenai biaya pengobatan, Agus merasa sangat berterima kasih kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah menanggung semua biaya pengobatan. Agus tak hentinya bersyukur atas hal tersebut karena selama ini dia harus sering berobat dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan segala yang menimpa dirinya Agus justru memilih untuk terus bertawakal pada Allah. Agus juga tidak menyimpan dendam sedikit pun pada pelaku pengeboman. ”Saya dari pertama sudah dengan ikhlas (memaafkan-red). Karena menuntut apa pun tidak ada jalan penyelesaiannya. Berdamai itu lebih baik,” ungkapnya. [LADW]
Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Thamrin