Manfaat Pemaafan
Oleh Muhammad Saiful Haq
Master Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam salah satu kegiatan AIDA, Andi Dina Noviana atau biasa dipanggil Andin, penyintas Bom Thamrin 2016, mengaku ikhlas memaafkan pelaku aksi terorisme yang mencederainya. Dengan terisak, Andin memaafkan pelaku pengeboman yang tewas saat kejadian. Bagi perempuan keturunan Bugis tersebut memaafkan merupakan faktor utama kebangkitannya. Memaafkan penting bagi Andin untuk bisa melepaskan trauma dan beban yang ditanggungnya sebagai korban.
Rupanya sikap Andin yang memaafkan pelaku terorisme sering dilakukan oleh penyintas-penyintas aksi terorisme lainnya. Sebagian besar di antaranya menyatakan, setelah memaafkan pelaku, hidupnya bisa berjalan lebih ringan.
Baca juga Membangun Religiositas Humanis, Menuju Altruisme
Perasaan demikian bukan isapan jempol semata. Memaafkan (forgiveness) dalam pandangan mazhab Psikologi Positif merupakan salah satu metode self healing, yaitu proses pemulihan diri dari luka batin dan pengalaman tidak menyenangkan yang mengganggu psikis.
Memaafkan dan self healing memiliki ikatan, baik secara emosional maupun fisik pada diri seseorang. Penelitian menunjukkan, memaafkan mendorong penurunan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan kemampuan untuk membangun hubungan yang lebih baik. Salah satunya riset yang dilakukan oleh John D. Kelly berjudul Forgiveness: A Key Resiliency Builder.
Baca juga Hati Nurani dan Jiwa Pemaaf
Penelitian itu menunjukkan bahwa memaafkan dapat membebaskan individu dari energi negatif yang melekat pada dirinya akibat rasa sakit emosional atau fisik. Rasa emosional negatif merampas kebahagiaan, kegembiraan, dan energi positif kita lainnya, sehingga tubuh tidak siap untuk menangani lonjakan adrenalin yang terus-menerus akibat emosi negatif yang kuat.
Dapat disimpulkan dari riset yang dihasilkan tahun 2018 itu, bahwa self healing ternyata dapat dilakukan dengan cara memaafkan dan berdamai dengan orang yang pernah berperkara. Hal itu membuat seseorang menjadi lebih tenang secara psikis. Dalam konteks penyintas terorisme, perkataan bahwa memaafkan mantan pelaku bukan untuk kebaikan mantan pelaku, tetapi untuk mengobati luka batinnya sendiri terdengar lebih masuk akal berkat riset psikologi ini.
Memperbaiki hubungan yang rusak
Memaafkan adalah bukti nyata kerendahan hati seseorang yang ingin memperbaiki hubungan dengan orang lain yang renggang akibat sesuatu yang menyakitinya. Mengapa? Sebab terkadang seseorang memilih merawat sakit hati karena kesombongan diri, takut dikatakan lemah, dan disebut salah jika meminta maaf terlebih dahulu. Walhasil memaafkan membutuhkan kekuatan yang besar dan karakter yang tangguh. Memaafkan merupakan wujud dari rasa kasih pada diri sendiri atau yang dikenal dengan self compassion dalam psikologi. Hal ini sesuai dengan kepentingan diri untuk memaafkan seperti kisah penyintas terorisme kepada pelaku.
Saling memaafkan merupakan skill yang tidak dimiliki semua orang. Memaafkan merupakan bagian dari kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan kematangan emosi. Tindakan itu dapat menjembatani serta memperbaiki hubungan baik antarmanusia.
Baca juga Kembali ke Fitrah Perdamaian
Selain memberikan maaf, hal yang penting juga adalah kesungguhan memohon maaf. Beberapa orang akan kesulitan memaafkan orang lain jika tanpa permintaan maaf. Atau bisa jadi sudah meminta maaf, namun tidak ada upaya nyata untuk memperbaiki bahkan mengulangi kesalahan yang sudah dilakukan. Meminta maaf merupakan pernyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan, sekaligus komitmen untuk memperbaikinya. Kesungguhan meminta maaf sama pentingnya dengan memohon maaf.
Maaf-memaafkan merupakan pijakan awal untuk melangkah lebih jauh ke masa depan secara bersama-sama. Kedua belah pihak seharusnya membina kembali suatu hubungan seperti halnya membuka lembaran baru di antara mereka yang pernah berselisih.
Ajaran universal
Pemaafan adalah ajaran universal dan dapat kita temukan di berbagai kepercayaan serta suku-suku di belahan bumi mana pun. Semua ajaran tersebut menempatkan maaf sebagai bentuk sikap dan perilaku terpuji. Misal dalam ajaran Hindu dikenal konsep Tat Twam Asi yaitu filosofi berupa pernyataan dia adalah aku, aku adalah mereka, dan mereka adalah dia. Maknanya adalah semua makhluk yang hidup di dunia ini adalah saudara. Maka dari itu, perlakukanlah orang lain seperti halnya memerlakukan diri sendiri. Serta segala perbuatan (pikiran, perkataan, tindakan) terikat oleh hukum karma (sebab akibat).
Adapun dalam Islam, konsep memaafkan juga menjadi poin sentral yang kerap disebutkan dalam Al-Qur’an. Islam memahami betapa manusia adalah tempat bersemayamnya kesalahan. Sebab itu, Islam mengajarkan untuk menjadi pribadi yang pemaaf, bukan pendendam. Allah berfirman:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat-(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”
Baca juga Hikmah Puasa bagi Perdamaian
Memaafkan bahkan menjadi salah satu akhlak utama Nabi Muhammad Saw. Suatu waktu Abdullah Al-Jadali bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah. Aisyah menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar, atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan beliau adalah orang yang suka memaafkan,’ (HR Tirmidzi).
Pada akhirnya, memaafkan tidak berarti menyetujui, membenarkan, membiarkan, atau melupakan kesalahan yang telah diperbuat orang lain terhadap kita, namun lebih kepada nilai moral yang menginginkan perdamaian. Bahkan seorang filsuf berkata, sebuah maaf seharusnya mampu untuk memaafkan dosa-dosa “yang tidak bisa termaafkan”. Memang tidak mudah, namun bisa diupayakan seiring berjalannya waktu dan kesiapan hati kita masing-masing.
Baca juga Puasa: Meraih Hidup Bermakna