Memaafkan, Hilangkan Dendam
Bom yang meledak di Kedutaan Besar Australia Jakarta membuat Sutarno terluka parah, mengalami trauma dan tidak bisa bekerja. Namun, alih-alih mendendam, dia memilih memaafkan pelaku.
Aliansi Indonesia Damai – ”Bayangkan, bagaimana rasanya dihujani pecahan kaca dari gedung lantai tujuh? Pecahan-pecahan kaca yang berjatuhan itu menancap di punggung saya,” tutur Sutarno di hadapan 50 siswa SMA Negeri 1 Sindang, Indramayu akhir Agustus lalu.
Tak hanya punggung, pecahan kaca dalam ukuran lebih besar jatuh menghantam kepala Sutarno. ”Andai kaca itu jatuhnya dengan posisi miring, mungkin saya sudah meninggal,” ujarnya lirih.
Pernyataan Sutarno itu mengagetkan para siswa yang mengikuti Dialog Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh. Tak sedikit mereka yang menjerit, menutupi telinga dan menggidikkan kepala.
Baca juga Belajar Memaafkan dan Mengakui Kesalahan dari Korban dan Mantan Teroris
Sutarno ialah salah satu korban terorisme, peledakan bom di Kedutaan Besar Australia, 9 September 2004. Akibat ledakan yang luar biasa dahsyat itu, seluruh dinding kaca RS MMC pecah dan berjatuhan. Celakanya, ia sedang berada tepat di bawahnya. Begitu banyaknya pecahan kaca yang menancap membuat punggung Sutarno langsung mengucurkan darah segar. Beruntung, kepalanya tak sampai terluka parah meski terasa begitu pening.
”Saya terus berlari mencari selamat sambil berusaha mencabut pecahan kaca di punggung. Untung tidak jauh dari lokasi ada sekuriti yang sedang patroli. Saya langsung dilarikan ke UGD (unit gawat darurat, red) MMC,” ungkap Sutarno.
Pagi nahas itu Sutarno hendak membeli sarapan. Karyawan koperasi RS MMC itu berjalan sendirian. Tanpa tanda atau peringatan apa pun, tiba-tiba terjadi ledakan yang begitu keras sekitar 300 meter dari arah depannya. Belum menyadari apa yang terjadi, warga Bogor ini dihujani pecahan kaca dari gedung RS MMC yang berlantai tujuh.
Baca juga Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu
Sutarno langsung mendapatkan tindakan medis begitu tiba di UGD. Meski luka yang dideritanya cukup parah, dia bersyukur tidak sampai berakibat fatal. Namun, tetap saja dampak yang dirasakan pria asli Wonogiri itu sungguh berat. Selama 2-3 bulan ia tak bisa bekerja karena masih merasakan sakit, menjalani penyembuhan, serta mengalami trauma. ”Saya di rumah saja bersama istri dan anak. Saya sering meratapi nasib dan emosi saya mudah tersulut, jadi temperamental,” tutur pria kelahiran 1974 itu.
Untuk menyembuhkan traumanya, Sutarno harus menjalani konseling. Setelah menjalani selama tiga bulan, dia mengaku bisa kembali pulih. Bangkit, berusaha melupakan rasa sakit dan trauma.
Tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah pun membuat Sutarno bertekad bekerja kembali. ”Melihat anak-anak dan istri yang selalu memberikan dukungan membuat semangat saya makin besar,” ungkap warga Bogor ini.
Melanjutkan Kuliah
Tahun 2006 Sutarno bekerja di perusahaan daur ulang ban (vulkanisir). Kembali bekerja bukan berarti semua telah kembali normal. Sutarno masih harus mengalami musibah meski bukan karena bom. Namun demikian, akibat yang ditimbulkan tidak kalah mengerikan. ”Saya mengalami kecelakaan kerja saat mengerjakan vulkanisir ban. Pisau yang digunakan meleset langsung mengiris lengan kiri hingga terluka parah,” ungkap Sutarno.
Baca juga Optimalkan Potensi Diri, Tumbuhkan Ketangguhan
Akibatnya Sutarno kembali masuk rumah sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Namun, itu tak membuatnya larut dalam keterpurukan. Dia langsung mencari pekerjaan baru begitu kondisinya mulai membaik. Semangat kerja Sutarno makin tinggi ketika anak keduanya lahir. Apalagi setelah disusul anak ketiganya. ”Mereka memotivasi saya untuk selalu bangkit,” katanya.
Sutarno bahkan memutuskan untuk melanjutkan kuliah pada tahun 2015, ketika usianya sudah 41 tahun. Keputusannya ini tak lepas dari pengalamannya di masa kecil yang harus bersusah payah untuk bisa bersekolah. ”Saya harus jalan kaki ke sekolah sejauh 25 kilometer. Pulangnya juga jalan lagi. Jadi sehari jalan kaki 50 kilometer,” ungkap Sutarno.
Sementara itu, saat ini situasi jauh lebih baik. Sarana transportasi juga banyak. Sehingga Sutarno merasa sangat tidak mensyukuri nikmat jika tak melanjutkan kuliah. Sutarno melanjutkan kuliah mengambil program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Jakarta. Jurusan pendidikan dipilih agar bisa menularkan ilmu dan mengikuti perintah agama untuk membagikan ilmu. ”Membagikan ilmu yang baik adalah amal yang tak terputus hingga ke akhirat,” katanya. Untuk itulah nanti jika telah lulus, Sutarno bertekad mengamalkan ilmunya dengan mengajar.
Memaafkan Teroris
Dari perjalanan hidupnya, Sutarno meminta setiap orang untuk selalu waspada. Karena ancaman bom dari teroris bisa menimpa siapapun. Tidak hanya terhadap orang-orang penting. ”Bahkan bisa terjadi pada orang yang tidak mengerti apa-apa,” tuturnya. Apalagi untuk bangkit dari keterpurukan akibat menjadi korban bom tidak mudah.
Baca juga Kisah Tim Perdamaian Menginspirasi Pelajar di Haurgeulis
Sutarno juga berharap tidak ada lagi kekerasan. Ia menanamkan dalam pikirannya untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. ”Bukan menyelesaikan masalah, membalas kekerasan dengan kekerasan justru memunculkan masalah baru,” katanya.
Bapak tiga anak ini juga mengajak untuk tidak menjadi pendendam. ”Saya memaafkan pelaku pengeboman. Bahkan dengan mantan pelaku yang kini menjadi tim perdamaian, hubungan kami seperti saudara,” katanya. Ia menambahkan, ”Saya memaafkan sebelum mereka meminta maaf. Karena semua orang bisa khilaf dan mempunyai kesalahan. Untuk itu kita harus menyikapinya secara dewasa. Lebih dari itu, memaafkan lebih mulia daripada meminta maaf.”
Untuk bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas, Sutarno bergabung dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Bersama korban terorisme lainnya serta mantan teroris dan kombatan menjadi Tim Perdamaian. Sutarno telah mengubah tangisan menjadi senyuman bagi sebanyak-banyaknya orang. Pernah sangat menderita akibat menjadi korban terorisme namun kini membagikan kisahnya agar orang lain tidak turut merasakan penderitaannya. [HP]
Baca juga Berhijrah ke Jalan Damai