Wenny Angelina Tegar Walau Bom Telah Renggut 2 Anaknya
Aliansi Indonesia Damai – Seperti biasa, Setiap hari Minggu, Nathanael Ethan Hudoyo (8 tahun) bersemangat mengajak orangtuanya ke Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya. Dia sangat menyukai kegiatan Sekolah Minggu sehingga tak ingin datang terlambat.
Termasuk hari itu, 13 Mei 2018. Hanya saja Nathan tanpa ditemani sang ayah yang sedang sakit. Dia datang bersama ibunya, Wenny Angelina, seorang kakaknya, Vincencius Evan Hudoyo (11 tahun), dan sepupunya, Evelyn Hudoyo (11 tahun). Mereka diantar paman beserta neneknya menggunakan mobil.
Sebelum pukul 07.00 WIB, mereka telah sampai di depan gereja. Dengan riang gembira mereka turun dari mobil, sedangkan paman dan neneknya kembali pulang.
Beberapa detik setelah itu, tidak jauh dari gerbang, Wenny melihat dua anak remaja berpakaian hitam mengendarai motor melaju lewat tepat di depannya. Sontak ia meminggirkan tiga anak kecil yang sedang bersamanya agar tidak tertabrak.
Baca juga Menguatkan Perspektif Korban di Lingkungan Pemasyarakatan
Bum! Wenny sempat menoleh, tetapi segala sesuatu sudah porak poranda. Bom meledak dari arah pengendara motor tersebut. Dia tidak bisa mendengar apapun di antara kekacauan yang seketika terjadi.
“Waktu itu di benak saya hanya ada anak-anak. Saya nggak bayangin apa yang terjadi dengan diri saya. Intinya saya minta ke Tuhan agar dikuatkan karena mau mencari anak saya. Saya nggak nyangka kok kaki saya masih ada dua waktu itu, karena dari cerita orang-orang, banyak yang kakinya hancur dan putus,” ungkap Wenny dengan ekspresi tegar pada salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
Meskipun Wenny tidak bisa lagi mendengar, namun nalurinya sebagai ibu mampu menuntunnya ke arah Nathan yang sedang berteriak minta tolong. “Saya denger suara tangis kenceng panggil ‘Mami’. Saya ambil, saya peluk, saya lihat ada darah banyak keluar dari kakinya. Saya minta menunggu sebentar karena mau mencari kakaknya,” tutur Wenny.
Wenny masih mencoba mencari Evan dan keponakannya. Yang dia temukan terlebih dahulu keponakannya. Wenny melihat Evelyn terbaring penuh luka. Tangannya hancur. Wenny memintanya untuk tetap diam di tempat dan tidak banyak bergerak sebab dia masih harus mencari Evan.

Evan ditemukan dalam kondisi tak kalah parah. “Saya panggili, dia nggak respons. Saya angkat dia. Mulutnya keluarin darah. Waktu itu saya sudah merasa kehilangan Evan. Saya merasa akan kehilangan dia di tempat itu juga. Jiwa saya langsung hilang separuh rasanya,” tutur Wenny.
Kehilangan Harta Paling Berharga
Saat itu Wenny berteriak meminta tolong tapi tidak ada satupun orang yang datang menolongnya. Orang-orang lebih banyak sibuk memfoto daripada menolong korban. Sampai akhirnya datanglah seorang satpam bersama adik ipar Wenny yang menolongnya.
Wenny meminta agar anak-anaknya terlebih dahulu dibawa ke rumah sakit, sedangkan dia ikut dengan mobil pick-up dari arah gereja. Dengan langkah yang tertatih-tatih dan dengan segala kekuatannya yang tersisa, dia naik ke pick-up. Wenny naik di bagian depan. Sedangkan di bagian belakang korban-korban lain, termasuk korban yang sudah meninggal.
Wenny merasa segala sesuatu terjadi begitu cepat. Sesampainya di Rumah Sakit Bedah Surabaya, dia tidak diperbolehkan bertemu anak-anaknya karena juga harus menjalani operasi. “Saya cuma sempat lihat yang kecil, sempet ditolong kakinya diangkat dua ke atas gitu, pendarahan hebat, dan harus ditransfusi darah. Tapi darah nggak bisa masuk pembuluhnya sudah menyempit semua karena dia anak kecil. Arteri utamanya kena pisau cukur dari bomnya itu, sehingga putus arteri kakinya,” ungkap Wenny.
Baca juga Keluarga Berperan Penting dalam Menjaga Kedamaian
Wenny memohon ke dokter agar diizinkan menemani anaknya. Namun permohonannya tidak dikabulkan. “Saya sampai bilang ke dokternya kalau saya ini nggak apa-apa dokter, nggak usah ngurusi saya, saya cuma mau ketemu anak saya. Saya nggak luka, wong saya bisa duduk. Saya cuman pengen ketemu anak saya, saya mau nemenin anak saya,” ceritanya.
Setelah menjalani operasi dan pemulihan selama beberapa jam, Wenny masih belum tahu keadaan anak-anaknya. Hari Senin malam dia baru mendapatkan kabar bahwa anak bungsunya, Nathan, telah menyusul kakaknya, Evan, meninggal dunia.
Wenny shock karena ternyata Evan sudah meninggal sejak hari Minggu dan tidak seorang pun memberitahunya. “Waktu sadar setelah operasi itu, saya masih berpikir bahwa Nathan masih hidup,” kenangnya.
Wenny merasa kecewa karena dirinya tidak mengetahui anaknya meninggal. Tapi dia segera bisa menerima itu dan meminta dokter mengizinkannya melihat anaknya di hari Selasa. Dokter sempat melarang, namun akhirnya mengizinkan dengan persyaratan Wenny harus sudah bisa duduk sendiri.
“Puji Tuhan saya bisa duduk sendiri tanpa dibantu suster. Sampai dokter dan susternya geleng-geleng kepala. Saya bilang saya harus lihat anak saya. Saya nggak mau anak saya dingin lama-lama karena harus dimasukan lemari es,” tuturnya.
Baca juga Berdamai dengan Kekhawatiran
Wenny dengan tegar mengikuti seluruh prosesi pemakaman kedua anaknya. Meskipun selama dua minggu harus bolak-balik dari rumah sakit ke tempat persemayaman Rumah Duka Adi Jasa menggunakan ambulans. Dia ingin melepas anaknya untuk yang terakhir.
“Buat saya, mereka yang paling berharga. Nggak ada lagi harta apapun yang paling berharga. Anaklah yang paling berharga. Saya masih kuat, saya harus bisa, demi anak-anak saya,” tutur Wenny.
Mengalahkan Luka dan Trauma
Waktu demi waktu pun Wenny lalui dengan tegar. Selain kehilangan anaknya, hampir lima bulan dia harus menjalani pengobatan rutin. Hingga saat ini masih terdapat serpihan bom di tubuhnya yang belum bisa diambil. Luka pada kakinya juga masih membekas.
“Luka di kaki saya dulunya pernah ingin saya hilangkan, namun setelah saya pikir nggak usahlah, buat kenang-kenangan,” ujar Wenny sembari melempar tawa.
Baca juga Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas
Wenny sempat mengalami trauma psikis. Namun bisa diatasinya dengan cukup baik. Tanpa bantuan pendampingan dari psikolog. Wenny merasa harus terus menjadi kuat karena harus menguatkan suaminya yang juga mengalami trauma setelah kehilangan kedua anaknya.
Dalam situasi seperti ini Wenny tak menyimpan dendam kepada pelaku. Dia justru memilih memaafkan.
“Hari ketiga setelah kejadian saya sudah bisa maafin pelaku demi anak-anak saya. Kalau ini memang rencana Tuhan, anak saya sudah pasti ikut Tuhan, buat apa saya dendam. Kalau dendam jalan mereka ke surga jadi terhambat. Sampai sekarang pun saya nggak merasa dendam atau marah ke pelaku,” tutur Wenny.
Mengenai biaya pengobatan, Wenny mengaku sempat dibantu pemerintah selama kurang lebih 3 bulan. Setelah itu, dia memilih menggunakan biaya pribadi karena dirasa bantuan yang diberikan prosesnya terlalu rumit.
Kini, Wenny memilih untuk tidak lagi mengonsumsi obat-obatan. “Sekarang belajar hidup sehat sendiri, obatnya suka cita sajalah. Kalau happy kan lebih sehat,” ungkapnya.
Wenny meyakini bahwa segala sakit yang menimpanya dan keluarganya akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu. “Kalau memang cerita atau kisah saya sampaikan bisa menjadi berkat buat banyak orang, saya juga pasti berbagi berkatnya,” tutupnya sambil mengulas senyum. [LADW]