Sarbini Tak Menyerah dari Musibah
Aliansi Indonesia Damai– Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah salah satu misteri kehidupan yang sudah dituliskan Allah di mega server-Nya, lauhul mahfudz. Semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, hal-hal baik atau buruk, sesungguhnya semua atas kehendak Allah SWT. Kehidupan Sarbini, salah seorang korban bom Kuningan tahun 2004 silam, tak terlepas dari skenario-Nya.
Pria yang pernah berprofesi sebagai pekerja instalasi jaringan kabel itu, memilih ikhlas atas kejadian yang menimpanya. Ia berusaha tetap tegar meski sebagian anggota tubuhnya cedera karena terdampak ledakan bom. Ia membuang jauh-jauh rasa dendam dan benci terhadap pelakunya. Sebaliknya, ia justru menganggap kejadian itu sebagai takdir yang mau tak mau harus ia terima. “Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan,” pesan Sarbini dalam sebuah kegiatan AIDA di Bogor beberapa waktu lalu.
Baca juga Ketabahan Ramdhani Di Balik Musibah Bom Kuningan
Dalam kesempatan tersebut, Sarbini mengaku ikhlas dan lapang dada menerima suratan takdir, menjadi korban aksi teror bom. Ia senantiasa mengajak orang lain untuk menjadi pribadi tangguh dengan tidak menyimpan dendam terhadap orang yang pernah berbuat salah. Sikap pendendam menurutnya, tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru bisa memperumit keadaan. “Seseorang yang senang menyimpan dendam, maka sama saja memperburuk keadaan dirinya sendiri dan menghambat terciptanya perdamaian,” tuturnya.
Tentang kejadian 15 tahun lalu yang menimpanya, Sarbini mengaku masih ingat betul dan tak akan melupakannya. Bapak dua anak ini sedang bekerja memasang jaringan kabel di satu perusahaan swasta yang berkantor di gedung Plaza 89, yang tepat berada di seberang Kedutaan Besar Australia, sasaran utama kelompok teroris pelaku Bom Kuningan. Nahas, sekitar pukul 10.45 WIB pada 9 September 2004, sebuah mobil bermuatan bom meledak hebat. Ledakan bom menyebabkan guncangan besar di dalam gedung, melemparkan tubuhnya hingga terbentur benda keras. Dia mengalami luka parah di bagian kepala dan wajah, serta mendapatkan puluhan jahitan di beberapa anggota badan.
Baca juga Kisah Penyintas Mengikis Kebencian
Tidak hanya menyisakan luka di sebagian anggota tubuhnya, serangan teror di Jakarta Selatan itu juga membuatnya trauma. Ia ketakutan ketika mendengar bunyi dentuman, seperti suara petasan. Tak hanya itu, ia juga mengaku trauma ketika berada di tempat-tempat tertentu. Bila berada di dalam gedung, ia merasa khawatir akan terjadi ledakan bom seperti pengalaman masa lalunya. “Saya takut ketika berada di dalam gedung. Kepala saya sering pusing, dan suka lupa,” ujar Sarbini.
Walaupun dihadapkan pada cobaan yang berat, Sarbini bersikeras untuk tidak menyerah. Ia berkomitmen untuk menyuarakan perdamaian kepada masyarakat luas. Menurutnya, ancaman aksi kekerasan tak kenal dimensi tempat dan waktu, siapa pun orangnya dan di mana pun berada, berpotensi menjadi korban. Karena itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap kedamaian lingkungan sekitar. “Jaga kedamaian Indonesia, sebab ancaman terorisme tak mengenal batas. Siapa pun, kapan pun, di mana pun, potensi teror selalu ada, musibah bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja,” katanya.
Baca juga Sudjarwo Bangkit Kembali Merajut Mimpi
Sarbini juga mengisahkan, setelah enam tahun kejadian itu berlalu, ia mulai bangkit dan tidak berputus asa. Dia berjuang kembali menafkahi keluarganya dengan membuka usaha bengkel las, meskipun sekolahnya tak pernah tamat. Untuk mengembangkan usaha yang digelutinya, Sarbini belajar secara otodidak. Ia bersyukur kepada Allah SWT karena masih diberikan kesempatan untuk bangkit dari musibah, serta mendapatkan rizki melalui perantara bengkel las. “Setelah enam tahun itu, saya memutuskan bekerja lagi. Saya membuka usaha bengkel las. Alhamdulillah sampai sekarang tetap berjalan,” kata dia.
Kisah ketangguhan Sarbini sesungguhnya tanda kebesaran Allah Swt. Bahwa setiap orang yang berhasil menghadapi ujian dan musibah pastilah Allah angkat derajatnya. Sarbini membuktikan, bagi orang-orang yang sabar, luas hatinya, dan kesediaan memberikan maaf, maka seberat apapun ujian dan musibah itu datang, pasti ia mampu melewatinya. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Sungguh, setiap musibah itu dapat dipikul, dan tidak akan berlipat ganda. Jika musibah berlipat ganda, maka ia menjadi sesuatu yang tidak dapat dipikul”.
Baca juga Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas
3 Comments