Berdamai Dalam Krisis

Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Sungguh tak mudah bersikap tenang dalam situasi kritis. Terlebih saat kini di mana informasi berseliweran nyaris secepat nyamuk melayang. Kabar yang level akurasinya sangat rendah kerap mengiringi musibah besar, seperti bencana alam maupun bencana sosial. Hal yang memerparah kepanikan korban. Saya pernah mengalami situasi itu.

Akhir Mei 2006 pagi, tanpa pertanda sedikit pun, bumi Yogyakarta bergoyang. Spontan saya meloncat keluar dari kamar indekos menuju jalan. Situasi mencekam. Semua orang dengan wajah pucat pasi berkumpul di jalanan. Sekitar sejam pascagempa, muncul informasi adanya tsunami. Saya sempat ragu. Jika benar terjadi tsunami, air bah itu tak mungkin sampai ke lokasi saya berada mengingat jarak yang jauh dari garis pantai selatan.

Baca juga Mengarifi Dendam

Saat nalar masih berpikir, ratusan orang berlari serentak dari arah selatan menuju utara sambil meneriakkan “tsunami”. Saya seperti didorong untuk ikut berlari seraya menyimpan keraguan. Setelah sekitar 1 kilo meter, saya memutuskan balik arah sambil meyakini berita tsunami adalah hoaks. Saat di depan indekos, saya termenung. Merasa diri paling menderita.

Tak lama seorang teman mengajak ke rumah sakit yang tak jauh dari indekos. Tiba di sana, tersuguh pemandangan memprihatinkan. Ada perempuan yang kedua kaki dan tangannya mengalami patah tulang. Ada gadis muda yang sekujur badannya lebam, dari muka hingga kaki. Menyeruak kesadaran bahwa saya baik-baik saja, tak kurang suatu apa. Muncul ketenangan, rasa syukur kepada Allah Swt, sekaligus semangat untuk berbuat sesuatu yang berarti.

Hampir selalu ada momentum titik balik dari kepanikan dalam masa kritis. Sudirman Thalib, penyintas Bom Kuningan 2004, memiliki pengalaman yang inspiratif. Ledakan bom di dekat tempatnya bekerja sebagai petugas keamanan Kedubes Australia menyebabkan Sudirman cedera sangat parah. Darah mengucur deras dari kepala menuju ke bawah.

Baca juga Memaafkan Menyembuhkan

Dia sempat menyangka bahwa ajal kematian sedang menjemputnya. Segala cita mulia yang dipupuk bertahun-tahun seolah raib dalam sekejap. Kala kepanikan, ketakutan, dan kesakitan bercampur aduk, dia melafalkan takbir diiringi surat-surat al-Quran pendek dan kalimat zikir-zikir. Tiba-tiba ketenangan, kedamaian, dan kepasrahan menyergap dirinya. Walhasil ia tetap bisa berpikir jernih menghadapi situasi kritis itu.

Sudirman menolak tawaran untuk dirawat di luar negeri mengingat orang tuanya sedang dalam perjalanan dari kampung halamannya di Bima Nusa Tenggara Barat menuju Jakarta. Ia khawatir melipatgandakan kesedihan orang tuanya lantaran gagal melihat kondisi anaknya. Kisah Sudirman membuktikan firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du: 28, “(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”

Ketenangan dalam situasi kritis juga bergantung pada daya adaptasi individu. Orang yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik biasanya tak lama larut dalam kepanikan. Ia lekas menyadari bahwa gelap tak akan menjadi gulita jika mampu menyalakan lilin. Musim tak selamanya kemarau sebab musim semi pasti akan datang.

Baca juga Perempuan dan Perdamaian

Kehidupan dunia adalah “sekolah’ yang diciptakan Allah untuk mendidik dan menyeleksi hamba-Nya. Karenanya sangat penting untuk melatih diri bersikap obyektif dan rasional dalam menghadapi segala macam persoalan hidup. Salah satu bentuknya adalah sikap tawakal, yaitu kepasrahan kepada Tuhan dan ikhlas menerima segala ketentuan-Nya atau sumeleh kata orang Jawa. Pasrah bukan fatalis yang diam berpangku tangan menerima kenyataan hidup.

Menurut Zainuddin bin Ali al-Malibary, ulama India, kepasrahan tak menafikan ikhtiar. Orang harus tetap berusaha, namun bertawakal dengan merelakan apa pun ketentuan yang digariskan Tuhan tanpa membanding-bandingkan dengan orang lain (Syarah Mandhumah Hidayat al-Adzkiya’ Ila Thoriq al-Auliya’: hal. 30).

Hari-hari ini dunia sedang menghadapi wabah virus Corona (Covid-19). Sikap tawakal layak digalakkan. Pola hidup bersih dan sehat harus menjadi gerakan bersama sembari terus meyakini betul bahwa tak ada apa pun yang dapat menimpa kita tanpa seizin Dia yang Mahakuasa.

Baca juga Berdakwah dengan Hati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *