Menangkal Virus Ekstremisme Kekerasan
Oleh Muhammad Saiful Haq
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Penyebaran virus corona (Covid-19) secara masif di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, wajib diwaspadai. Namun ancaman wabah Covid-19 jangan sampai melalaikan kita pada ancaman virus yang tak kalah berbahaya, yakni ekstremisme kekerasan. Covid-19 dan ekstremisme kekerasan memiliki kesamaan, yaitu dapat menghinggapi siapa saja, memicu ketakutan secara meluas, menimbulkan rasa sakit, dan bisa memakan korban jiwa.
Penyebaran kedua virus tersebut juga begitu cepat. Ali Imron, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali 2002 pernah berujar, “Saya hanya membutuhkan waktu dua jam untuk memprovokasi seseorang siap melakukan bom bunuh diri.”
Baca juga Melawan Virus Kebencian
Sebagaimana Covid-19, virus ekstremisme kekerasan juga bisa dibawa oleh orang-orang terdekat seperti kerabat sendiri. Sumarno, mantan Narapidana terorisme yang telah bertobat, adalah buktinya. Dia pernah bergabung dalam kelompok kekerasan lantaran diajak oleh pamannya sendiri. Virus ekstremisme kekerasan yang menyebar ke dalam pikiran Sumarno sempat membuatnya abai atas dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh aksi-aksi tak manusiawi.
Penulis sedikit banyak menyimak kisah beberapa mantan pelaku ekstremisme kekerasan yang telah insaf. Secara umum mereka mengaku terlibat ke dalam kelompok kekerasan karena didoktrin dengan prasangka. Mereka mengira orang yang berbeda dari kelompoknya (out group) merupakan orang-orang tersesat, bahkan kafir. Prasangka demikian lambat laun menyuburkan benih ekstremisme dengan sikap-sikap egoistis, seperti klaim paling benar, superioritas, hingga kebencian.
Riset Muhid dan Fadeli (2018) terkait prasangka sosial dan sikap menerima perbedaan pada mahasiswa di perguruan tinggi menemukan, semakin tinggi prasangka seseorang semakin rendah pula sikap penghormatannya terhadap perbedaan. Sebaliknya, semakin rendah prasangka seseorang kian tinggi pula sikap keterbukaannya pada keberagaman. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai prasangka tersebut dibutuhkan kelekatan emosional (emotional attachment) melalui pendekatan hati.
Baca juga Rentan Menjadi Korban Terorisme
Pendekatan hati dapat melahirkan pemahaman baru hingga mengubah perilaku dalam diri seseorang. Kelekatan emosional ini lambat laun dapat menaruh rasa keakraban dan persaudaraan. Hal yang seringkali tidak dimiliki oleh anggota kelompok jaringan ekstremisme kekerasan kepada orang-orang di luar kelompoknya.
Mata rantai virus ekstremisme kekerasan tidak dapat dihentikan dengan kekerasan tetapi bisa dengan sisi emosional. Berdasarkan penuturan beberapa mantan pelaku, mereka menyesali keterlibatannya dalam kelompok ekstremis setelah melihat dan mendengar langsung dampak ekstremisme kekerasan pada diri korban. Penyesalan itu perlahan memunculkan perubahan pandangan mereka.
Baca juga Membangkitkan Empati
Jika dahulu menganggap orang-orang di luar kelompoknya sebagai musuh, kini berkat pendekatan emosional mereka menganggap orang lain sebagai saudara. Apabila dahulu para mantan pelaku dan korban dipenuhi kemarahan, kini dengan langkah-langkah dialog dan musyawarah, kedua belah pihak bisa menjalin pertemanan, bahkan secara bersama mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.
Belajar dari itu semua, harapan menghentikan virus ekstremisme kekerasan sesungguhnya terbuka, asal kita mau mengambil peran. Kita bisa menjaga jarak diri (physical distancing) dari doktrin kekerasan, hingga melakukan social distancing terhadap semua narasi-narasi -khususnya yang bertebaran di media sosial- yang menghasut dan mengajak melakukan aksi-aksi kekerasan. Jika itu bisa kita lakukan, maka ke depan perdamaian sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dapat tercapai dan kita wujudkan bersama.
Baca juga Kepekaan Sosial Kunci Perdamaian