Membangkitkan Empati

Oleh Fahmi Suhudi
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari keterhubungan dan keterikatan satu dengan yang lain. Adalah fitrah individu memiliki sense (perasaan) empati yang bisa tersentuh kapan pun dan di mana pun. Namun demikian aksi-aksi kekerasan, seperti terorisme seolah menghilangkan fitrah empati dari pelakunya.

Paham-paham kekerasan membutakan mata hati pengikutnya. Seseorang bisa begitu membela dan membenarkan aksi-aksi brutal itu, bahkan kerap mengatasnamakan agama. Cara pandang seperti ini mengingatkan penulis pada ucapan Najib Mahfudz, sastrawan Arab kontemporer terkemuka, “Jika dahulu kita kehilangan kebebasan, maka hari ini kita kehilangan perasaan dan empati (kemanusiaan).”

Baca juga Kepekaan Sosial Kunci Perdamaian

Dalam kondisi seperti ini, kita butuh solidaritas, yakni kepedulian terhadap nasib banyak orang dengan tanpa pandang bulu. Solidaritas meniscayakaan rasa empati dan kepedulian kita pada yang lain. Memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dipraktikkan.

Rasa empati merupakan kesadaran yang muncul dari dalam diri kita, melihat ke dalam (looking in depth) dan juga perasaan yang terhubung dengan kondisi orang lain. (Steve Vincent: 2018). Wujud nyata dari perasaan empati itu bisa ditemukan dari kisah penyintas dan mantan pelaku terorisme. Di sisi penyintas, kehidupan seakan-akan tidak adil, mengapa harus mereka yang terdampak dari ledakan, padahal tak punya masalah apa pun dengan para pelakunya.

Akibat terdampak ledakan, mereka mengalami luka fisik dan batin yang tak mudah untuk mengobatinya. Sebagian ada yang bertahun-tahun harus rela rutin mengonsumsi obat-obatan dan cek medis. Sebagian lain, dan ini yang begitu perih, harus kehilangan orang-orang yang paling dicintainya untuk selamanya.

Baca juga Berdamai Sejak Dalam Pikiran

Meskipun demikian banyak dari penyintas mampu dan berhasil melewati kondisi terburuk. Mereka tidak saja melawan luka-luka itu, tetapi juga menyadari bahwa dendam dan amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itu, mereka memilih menerima semua yang terjadi. Sebagian yang lain malah memaafkan pelaku.

Dari sisi mantan pelaku terorisme, rasa empati itu muncul ketika mereka dipertemukan dengan korban. Dulu, lantaran semangat beragama yang menggebu-gebu mereka tidak memikirkan dampak penderitaan luar biasa yang harus ditanggung korban. Mereka hanya memikirkan surga dengan keyakinan bahwa tindakannya merupakan perintah agama. Bahkan mereka beranggapan bahwa kelompoknya adalah golongan terbaik yang mendapatkan pertolongan (thaifah manshurah).

Setelah bertemu korban, mendengar kisah demi kisah penderitaannya, bahkan menyaksikan secara langsung luka fisik dan batin akibat perbuatan mereka, empati mereka seolah bangkit setelah begitu lama terkubur. Dalil-dalil yang melegitimasi kekerasan takluk oleh fakta-fakta yang menyayat nuraninya.

Baca juga Gerakan Positive Peace

Mereka pun mulai menyadari bahwa aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan salah. Tidak mungkin agama yang begitu agung dan mulia mengajarkan umatnya untuk berbuat kekejaman. Sebagian dari mantan pelaku insaf dan makin menyadari perbuatannya setelah bertemu korban.

Seiring berjalannya waktu, kedua belah pihak, baik korban maupun mantan teroris, memilih berdamai dengan masa lalu. Mereka tidak hanya berkomitmen menciptakan perdamaian, tetapi juga bertekad untuk terlibat dalam kampanye perdamaian bagi masyarakat luas. Belajar dari kedua belah pihak, semoga kita tetap bisa merawat empati dalam diri masing-masing.

Baca juga Berdamai Dalam Krisis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *