Rentan Menjadi Korban Terorisme

Oleh Laode Arham
Alumni Pascasarjana Kriminologi, Universitas Indonesia

Dengan nada terbata-bata, Desmonda Paramartha, korban Bom Surabaya 2018 membagikan kisahnya pada kegiatan kampanye perdamaian yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pada pertengahan Maret silam. Sambil menahan sakit yang masih terasa di kakinya, ia mengaku telah memaafkan para pelaku dan berharap tidak ada lagi korban terorisme seperti dirinya.

Sikap demikian juga disampaikan pihak Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) Surabaya, tempat Desmonda beribadah dan mengabdi. Para jemaat gereja tersebut berharap tak ada lagi horor mematikan yang menimpa umat beragama yang sedang beribadah.

Baca juga Membangkitkan Empati

Tetapi apakah ada jaminan aksi terorisme di tempat ibadah tidak akan terjadi lagi? Entahlah. Tak hanya gereja yang menjadi sasaran. Masjid juga pernah menjadi sasaran aksi terorisme, Masjid Az-Zikra Mapolresta Cirebon (2011), Masjid Muslim Pancasila di Klaten (akhir 2010) dan jauh sebelumnya Masjid Istiqlal di Jakarta (1999).

Dari serangan terhadap ketiga masjid tersebut “hanya” serangan di masjid Az-Zikra yang menelan korban luka berat dan ringan. Selain gereja dan masjid, ada pula serangan terhadap Vihara Ekayana di Jakarta pada tahun 2013 yang tidak menimbulkan kerusakan berarti.

Baca juga Kepekaan Sosial Kunci Perdamaian

Studi yang penulis lakukan pada tahun 2018 menemukan, sejak tahun 2000 telah terjadi 24 kali aksi terorisme -dengan pelbagai pola serangan- yang menyasar jemaat gereja di 14 kota di Indonesia, mulai dari Medan Sumatera Utara hingga Palu Sulawesi Tengah. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang aksi teror yang menyasar target-target lain seperti ikon-ikon “Barat” dan kantor atau institusi aparat keamanan.

Agar tak ada Viktimisasi

Dari data di atas kita bisa melihat bahwa orang mengalami viktimisasi karena agama dan imannya. Umat Kristiani bukanlah rival atau musuh utama kelompok teroris di Indonesia, khususnya di 14 kota tersebut. Anehnya mereka menjadi korban serangan aksi terorisme di mana mereka seharusnya beribadah dengan tenang dan damai.

Menurut Ivankovic (2017) serangan dengan bom bunuh diri seperti di Surabaya tidak saja menimbulkan cedera fisik dan psikologis, namun juga menjangkau aspek finansial, sosial, pekerjaan, dan lain-lain. Bahkan dampaknya sangat luas. Pada tingkat mikro akan mempengaruhi hubungan sosial sang korban dengan teman dan anggota keluarganya. Pihak keluarga akhirnya juga menjadi korban sekunder (UNODC, 2015).

Baca juga Berdamai Sejak Dalam Pikiran

Dalam konteks Surabaya, dampak terorisme tidak saja dirasakan oleh jemaat 3 gereja dan warga sekitarnya, melainkan juga warga Kota Pahlawan pada umumnya. Warga Surabaya, oleh Ivankovic, disebut sebagai titik makro terbesar korban terorisme.

Itu sebabnya Hasibullah Satrawi (2018) menyebutkan bahwa karakteristik korban terorisme (warga sipil) sangat berbeda dengan korban kejahatan lainnya. Salah satunya yang paling pokok adalah para korban sipil bukanlah target utama serangan teroris, sebab target utama kelompok teror adalah Negara dan aparat-aparatnya. Dan kita semua, sangat mungkin (rentan) menjadi korban. Oleh karenanya, Negara berkewajiban memberikan kompensasi, dan berbagai layanan lainnya kepada para korban terorisme (Pasal 35A ayat 1-2, UU No. 5 tahun 2018 tentang Terorisme).

Baca juga Gerakan Positive Peace

Tetapi, lebih dari itu, warga sipil di tempat-tempat ibadah dan tempat umum lainnya, masih rentan untuk menjadi korban aksi terorisme di Indonesia. Itu sebabnya, pemerintah harus lebih sigap dalam upaya-upaya pemberian layanan kompensasi, rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial serta santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia;  agar para korban tidak lagi mengalami viktimisasi oleh Negara. 

Di atas semua itu, kisah Desmonda dan korban terorisme lainnya menunjukan dengan jelas bahwa kita semua cukup rentan menjadi korban terorisme: kapan pun dan di mana pun. Kalau pun nasib berkata lain, Desmonda berpesan, “Jadilah pemaaf, agar hidup kita selalu damai.”

Baca juga Berdamai Dalam Krisis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *