Jurnalisme Damai di Tengah Pandemi
Oleh: Novi
Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Pandemi Covid-19 benar-benar mencuri perhatian dunia. Wabah ini juga tak luput dari pemberitaan masif media. Kita tahu media berperan besar dalam membangun kepercayaan dan sikap publik serta perubahan sosial di kalangan masyarakat.
Sebelum terjadinya sesuatu, masyarakat luas tentu tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dari sebuah peristiwa atau fenomena. Berkat adanya media, masyarakat akhirnya mengetahui atau setidaknya mendapatkan informasi (Catherine, 2013: 321).
Baca juga Pasifisme Sebagai Jalan Hidup
Sayangnya pandemi Covid-19 justru digunakan oleh kelompok ekstrem untuk menyebarkan propaganda melalui media. Mereka memanfaatkan situasi krisis untuk menyuarakan misinya, seperti seruan untuk menyerang ‘musuh’ dalam situasi lemah seperti saat ini.
Bila terorisme menyediakan propaganda yang menarik, lalu media memberikan sarana untuk menyebarkan pesan mereka, maka bahaya yang akan muncul adalah terciptanya ketakutan di kalangan masyarakat (Spencer, 2012: 6). Karena itu, kita butuh pemberitaan media dalam bingkai perdamaian.
Propaganda Ekstrem
Salah satu strategi yang digunakan oleh kelompok ekstrem dalam situasi saat ini adalah propaganda. Propaganda merupakan bahan bakar untuk mencari dukungan publik. Propaganda itu bisa dilihat dari pengemasan bahasa yang ditawarkan (Erin, 2008: 17).
Baca juga Ramadan Dalam Perjuangan
Ia tidak peduli dengan informasi valid atau tidak, melainkan dengan narasi yang mampu menggugah emosi, bukan untuk mendidik, tetapi untuk mengantarkan misi mereka. Ketika propaganda menyebar melalui media, maka hal itu sangat mungkin memengaruhi opini publik.
Selama masa pandemi ini, banyak propaganda kelompok ekstrem yang muncul guna menarik perhatian publik, terutama terkait ISIS yang sudah ambruk beberapa waktu lalu. Dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict yang rilis awal bulan lalu, disebutkan bahwa ISIS menafsirkan pandemi ini sebagai pembalasan ilahi, hukuman kepada Barat dan China karena perlakuannya terhadap Muslim Uighur serta pembalasan atas penghancuran Baghouz pada Maret 2019. Dalam melancarkan aksinya, ISIS secara aktif memanggil berulang-ulang para pendukungnya di media online untuk mengambil keuntungan dari pandemi ini.
Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 1)
Media memiliki peran yang begitu penting untuk menjaga perdamaian dalam situasi krisis. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mendukung konstruksi perdamaian melalui bahasa jurnalisme yang damai. Dalam jurnal Can Peace Journalism Make Progress? disebutkan bahwa media bisa meningkatkan kesadaran publik dan mendorong perubahan dalam sikap dan perilaku masyarakat di tengah penyebaran wabah ini.
Johan Galtung memberikan empat prinsip dalam mengusung jurnalisme yang damai. Pertama, humanisme terhadap semua pihak, yakni memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan dalam pemberitaan. Kedua, fokus pada dampak propaganda yang hadir. Kita bisa mengekspos ketidakbenaran informasi yang dihadirkan ISIS agar masyarakat tahu bahwa informasi tersebut adalah propaganda kelompok ekstrem. Ketiga, mengangkat kisah damai untuk mengimbangi narasi propaganda yang ada. Keempat, mengikuti kaidah etika jurnalistik yang dibuat oleh Dewan Pers.
Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 2)
Dengan mengikuti langkah-langkah yang dianjurkan Galtung, jurnalisme damai yang mempraktikkan pemberitaan secara benar dapat membantu menyelesaikan permasalahan di tengah wabah ini. Media diharapkan menggunakan bahasa perdamaian, mengadopsi rekonsiliasi, membangun empati, dan mengikuti kaidah yang ada. Dengan demikian, media telah berkontribusi mempromosikan perdamaian secara positif di tengah krisis.