Ramadan Dalam Perjuangan

Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

Dalam sejarah Islam, setidaknya ada dua peristiwa legendaris yang terjadi di bulan Ramadan; perang Badar dan Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah). Perang Badar terjadi pada tahun 2 Hijriah/624 Masehi, tahun pertama disyariatkannya kewajiban puasa. Ini pertempuran pertama yang dijalani oleh Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabatnya setelah lama bersabar menghadapi kezaliman kaum kafir Quraisy.

“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka. (Q.S al-Hajj: 39). Saat itu, perbandingan antara jumlah pasukan muslim dengan pasukan kafir Quraisy njomplang: 1:3. Namun atas pertolongan Allah dan taktik yang jitu, pasukan muslim meraih kemenangan.

Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 1)

Sementara Fathu Makkah terjadi beberapa tahun setelahnya. Pasukan muslim dapat merebut kota Makkah setelah sekian lama terusir. Nyaris tidak ada darah yang tumpah dalam peristiwa akbar tersebut.

Entah mengapa keduanya harus terjadi pada Ramadan. Bulan di mana umat Islam diwajibkan menjalankan puasa yang berat secara fisik. Penulis belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini. Kendati dalam beberapa riwayat, pada hari pertempuran dan Fathu Makkah, Nabi dan sebagian besar pasukannya memutuskan berbuka agar kondisi tubuhnya kuat. Namun sebelum dan sesudahnya tetap berpuasa.

Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 2)

Dalam sejarah nasional, Republik Indonesia secara legal formal juga berdiri pada Ramadan. Apakah proses menuju proklamasi kemerdekaan berjalan mudah? Tidak! Saat membacakan naskah proklamasi, Soekarno dalam kondisi meriang karena kelelahan setelah terus-menerus menghadapi hari-hari yang sangat berat.

Kekaisaran Jepang (Dai Nippon) memang pernah berjanji akan membantu kemerdekaan Indonesia. Namun begitu kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom pasukan sekutu, Jepang menyatakan takluk dan menyerahkan seluruh kekuasaan wilayah pendudukannya kepada pihak sekutu. Tak terkecuali negeri ini yang dinyatakan dalam status quo hingga pasukan sekutu datang.

Baca juga Memaknai Syukur: Belajar dari Korban Terorisme

Dalam hemat para aktivis pergerakan nasional, kekalahan Jepang justru harus dimanfaatkan untuk segera mendekrasikan kemerdekaan bangsa. Tatkala Soekarno, Muhammad Hatta, dan beberapa tokoh lain sedang melobi pemimpin Jepang di Indonesia, sejumlah aktivis muda terus mendesak keduanya agar selekasnya menjalankan niat mulia itu.

Pada 15 Agustus 1945 malam, para pemuda mendatangi rumah Soekarno dan melempar ancaman. Jika Soekarno tidak segera mengumumkan kemerdekaan, mereka akan melakukan aksi pelucutan senjata tentara Dai Nippon di Jakarta. Tindakan yang pasti memicu pertumpahan darah.

Karena Soekarno dan Muhammad Hatta menolak ide para pemuda, 16 Agustus dini hari, selepas menyantap sahur, keduanya bersama istri dan anak Soekarno diamankan oleh para pemuda ke Rengasdengklok Karawang. Pasalnya revolusi akan meletus di Jakarta dan sekitarnya.

Baca juga Merekatkan Kembali Indonesia

Soekarno, Hatta, dan para pejuang pergerakan senior, khususnya yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ingin negeri ini merdeka tanpa pertumpahan darah. Karenanya mereka terus melobi pemerintah Jepang, setidaknya untuk tidak menghalangi perumusan dan pembacaan naskah proklamasi. Walhasil, proklamasi dapat dibacakan tepat pada hari Jumat pagi, 9 Ramadan 1364 Hijriah di Jakarta.

Tahun ini umat muslim di seluruh dunia harus menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi Covid-19 yang melumpuhkan banyak sektor kehidupan, terutama perekonomian. Penggangguran meruyak. Sebagian orang merasakan sedih karena tak bisa menjalankan sejumlah ritual ibadah secara berjamaah. Tenaga medis terus berjuang di garda depan melawan virus penyakit ini.

Baca juga Dampak Ekonomi Terorisme

Seharusnya umat muslim tak perlu risau. Karena watak dasar puasa adalah perjuangan. Ali Al-Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’ Wa Falsafatuhu (1994: 150) mengatakan, seandainya puasa diwajibkan pada malam hari saat kebanyakan orang terlelap istirahat, maka tak ada nilai perjuangan di dalamnya. Justru puasa dilakukan saat matahari bersinar terik dan manusia sibuk sehingga butuh asupan untuk memproduksi energi tubuh. Inilah ujian etos hidup; ketangguhan menghadapi segala aral.

Kesulitan yang kita rasakan sekarang tampaknya belum sebanding dengan apa yang dialami oleh para pendahulu. Toh, generasi pendahulu berhasil melewati situasi-situasi kritis dan menghasilkan pencapaian-pencapaian gemilang justru di bulan Ramadan. Akhirul kalam, Marhaban Ya Ramadan. Selamat datang bulan perjuangan.

Baca juga Menangkal Virus Ekstremisme Kekerasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *