Pasifisme Sebagai Jalan Hidup
Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Konflik horizontal berujung kekerasan masih saja terjadi di sejumlah tempat, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya. Saban waktu kita mendengar pemberitaan perihal meletusnya konflik kekerasan. Yang memprihatinkan adalah jatuhnya korban jiwa. Di antara korban, ada yang terdampak tanpa sempat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Hal yang patut disayangkan adalah nihilnya kemampuan segelintir manusia dalam menahan emosi dan ego masing-masing. Dari beberapa pemberitaan terkait konflik yang penulis ikuti, tidak jarang konflik itu mulanya dipicu oleh perbedaan pendapat semata, yang seharusnya bisa diselesaikan melalui jalan damai. Alih-alih memilih cara itu, beberapa orang justru lebih memilih kekerasan. Sikap yang sangat disayangkan mengingat mereka dikuasai hasrat destruktif.
Baca juga Ramadan Dalam Perjuangan
Apa pun situasinya kita tidak boleh berhenti berharap akan terciptanya perdamaian. Sebab masih ada orang-orang yang peduli perdamaian dan menentang segala konflik yang mengarah pada kekerasan. Dalam kajian ilmu sosial-politik dan filsafat, para pengusung perdamaian ini disebut sebagai penganut paham pasifisme.
Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, pasifisme berasal dari bahasa Latin, yaitu paci, yang berarti perdamaian dan ficus yang bermakna membuat. Adapun penambahan isme di belakangnya menegaskan bahwa konsep ini telah menjadi suatu paham atau ideologi. Dalam bahasa yang sederhana, pasifisme dapat diartikan sebagai ideologi antiperang (opposition to war) atau sebagai komitmen terhadap perdamaian (commitment to peace). Penganutnya dikenal sebagai pasifis.
Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 1)
Pasifisme dibagi menjadi dua, yaitu pasifisme prinsipal dan pasifisme pragmatis. Pasifisme prinsipal berangkat dari pemikiran bahwa baik konflik, perang, penggunaan senjata maut, atau kekerasan dalam segala bentuknya, adalah mutlak salah secara moral.
Sementara pasifisme pragmatis tidak berpandangan mutlak seperti pasifisme prinsipal, akan tetapi meyakini bahwa konflik adalah pilihan terburuk dalam menyelesaikan perselisihan, karena lebih banyak ruginya daripada untungnya. Terlepas dari dua kriteria tersebut, intinya pasifisme sangat mengecam konflik dan peperangan.
Baca juga Corona dan Narasi Ekstremisme (Bag. 2)
Dalam sejarah modern, istilah pasifisme pertama kali digunakan pada tahun 1901 oleh Emile Artaud, aktivis perdamaian asal Perancis. Meskipun demikian, ide komitmen terhadap perdamaian ini bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia.
Semangat pasifisme sudah termaktub ribuan tahun yang lalu di dalam sejarah kekristenan, tepatnya ketika Yesus mengatakan bahwa para pengusung perdamaian merupakan orang-orang yang dirahmati. Pun ketika disakiti, Yesus memerintahkan untuk mengampuni dan tidak membalas dendam kepada pelaku kekerasan.
Baca juga Memaknai Syukur: Belajar dari Korban Terorisme
Semangat pasifisme juga ditemukan dalam sejarah kenabian Muhammad SAW, pembawa risalah Islam. Dalam setiap dakwahnya, Nabi selalu mengedepankan cara-cara yang beradab. Beliau mengajak manusia menerima Islam secara bijak melalui tutur kata yang lembut dan perilaku yang santun.
Sebisa mungkin, beliau menghindari permusuhan dengan penganut agama lain, seperti yang bisa dilihat pada saat beliau berdakwah di periode Makkah atau pun saat berkuasa di periode Madinah. Tidak dapat dimungkiri, baik Yesus ataupun Nabi Muhammad SAW adalah tokoh pasifis termasyhur dalam sejarah umat manusia.
Baca juga Merekatkan Kembali Indonesia
Seiring berjalannya waktu, muncul para tokoh pasifis lainnya yang senantiasa menyuarakan semangat perdamaian. Di antara mereka ada yang bahkan dianugerahi nobel perdamaian sebagai bentuk penghargaan atas jerih payahnya. Sekalipun tidak tercatat dalam sejarah, para pasifis ini turut memberikan sumbangsih dalam menyuarakan perdamaian dalam ruang lingkup yang lebih kecil.
Pada dasarnya, siapa pun yang mengusung perdamaian dapat disebut sebagai seorang pasifis, termasuk korban terorisme dan mantan pelaku terorisme. Bersama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), para korban dan mantan pelaku yang tergabung dalam Tim Perdamaian bahu-membahu menyuarakan perdamaian di berbagai sekolah, kampus, perkumpulan tokoh agama, hingga lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian, mereka telah menjadikan pasifisme sebagai sebuah jalan hidup.
Baca juga Dampak Ekonomi Terorisme
Korban dan mantan pelaku bercerita tentang kisah hidup masing-masing. Para korban biasanya bercerita tentang bagaimana peristiwa bom memberikan dampak besar dalam kehidupan mereka, meninggalkan mereka dalam keadaan serba kesusahan, entah itu karena luka fisik, penderitaan ekonomi, maupun lainnya.
Namun sedalam apa pun para korban terpuruk, pada akhirnya mereka memilih untuk bangkit. Tidak hanya berpaling dari rasa sakit, melainkan juga berpaling dari rasa benci. Dengan sikap kesatria, para korban memilih memaafkan pelaku yang telah menyakiti mereka. Para korban memutus mata rantai dendam agar konflik yang lebih besar tidak terjadi.
Baca juga Menangkal Virus Ekstremisme Kekerasan
Sementara para mantan pelaku berkisah tentang kehidupan mereka di masa-masa kegelapan. Mereka bertutur tentang alasan keterlibatan dalam kelompok kekerasan dan mengakui bahwa hal itu itu tidak sepatutnya dilakukan. Selain menunjukkan penyesalan dengan meminta maaf kepada korban, mereka juga berharap tak ada lagi orang-orang di luar sana yang melakukan aksi-aksi kekerasan seperti mereka karena dampaknya yang sangat buruk.
Apa yang dilakukan oleh Tim Perdamaian telah merefleksikan sedikit upaya dari para pasifis untuk mencegah aksi-aksi kekerasan. Jika para teroris berjejaring dan bekerja sama untuk melakukan aksi kekerasan, maka sudah sepatutnya para pasifis juga melakukan hal serupa. Dengan memperkuat jaringan pasifisme, kans perdamaian berada di depan mata.
Baca juga Melawan Virus Kebencian