Memaknai Syukur: Belajar dari Korban Terorisme
Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Alumni MAKN Koto Baru Padang Panjang
Dan (ingatlah) ketika Tuhan kalian memaklumatkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguh azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim: 7)
Ayat di atas cukup familiar di kalangan umat Islam. Dalam beberapa ceramah agama, para mubalig acapkali mengutip ayat di atas untuk mengajak umat senantiasa bersyukur atas segala rahmat Allah Swt. Begitu pentingnya ayat tersebut, sampai Allah berjanji akan menambah nikmat-nikmatNya bagi orang yang selalu bersyukur. Sebaliknya, Allah mengingatkan azab yang begitu pedih bagi orang-orang yang ingkar.
Baca juga Merekatkan Kembali Indonesia
Ayat di atas secara eksplisit menunjukkan dua tipe manusia di muka bumi ini. Tipe pertama adalah mereka yang tidak pernah lupa dan bosan memanjatkan rasa syukur kepada Allah. Sementara tipe kedua adalah mereka yang tak tergerak hatinya untuk selalu bersyukur atas limpahan nikmat-Nya. Manusia tipe kedua selalu berkeluh kesah dan merasa serba kurang sehingga melupakan nikmat-nikmat Allah yang begitu besar.
Syukur tidak pernah lepas dari kenikmatan, keduanya saling berkaitan satu sama lain. Dikatakan demikian karena pada dasarnya, syukur adalah sebuah ekspresi alami manusia sebagai bentuk reaksi terhadap nikmat itu sendiri. Dengan kata lain syukur menunjukkan semacam kepuasan di dalam diri pelakunya, karena keberadaan nikmat tersebut telah memenuhi kebutuhan hidup dan menyenangkan hatinya.
Banyak manfaat yang didapat apabila kita rajin bersyukur. Selain manfaat teologis seperti yang tertera dalam ayat di atas, syukur juga memiliki manfaat psikologis. Salah satunya adalah menjauhkan seseorang dari depresi. Satu hal yang perlu diingat, dalam realitas tidak semua orang memperoleh takaran nikmat yang sama.
Baca juga Dampak Ekonomi Terorisme
Beberapa orang justru lebih banyak menanggung kemelaratan daripada mensyukuri nikmat sehingga kondisi tersebut menggiringnya ke dalam keterpurukan. Mereka membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, memertanyakan mengapa nasib mereka tidak seberuntung orang lain, dan merasa menjadi orang yang paling melarat sedunia. Puncaknya bahkan menyalahkan Allah Swt karena tidak berlaku adil kepada mereka.
Tidak sedikit kemudian yang menjadi depresi lalu memutuskan untuk bunuh diri. Mereka lupa bahwa di tengah pedihnya keterpurukan itu tetap terselip nikmat Allah, tak peduli sekecil apa pun itu.
Sederhananya saja, bukankah kita tetap hidup dan sehat menjalani aktivitas sehari-hari sudah termasuk ke dalam kategori nikmat? Bukankah dengan adanya keluarga dan sahabat yang selalu mendukung kita di kala susah juga sudah termasuk ke dalam kategori nikmat? Nikmat seperti ini yang kerap diabaikan oleh mereka yang lupa bersyukur.
Baca juga Menangkal Virus Ekstremisme Kekerasan
Orang-orang yang senantiasa bersyukur tidak akan terjebak dalam perangkap depresi, karena tidak menghabiskan waktu hanya untuk meratapi nasib. Mereka lebih mudah bangkit dari keterpurukan dan berikhtiar menjalani hidup ke depan. Mereka percaya bahwa semangat pantang menyerah akan mendatangkan peluang hidup yang lebih baik. Semua itu dimulai dari syukur.
Tentang kiat bersyukur, kita bisa belajar dari kisah para korban terorisme. Tidak ada yang menyangkal bahwa korban aksi terorisme telah mengalami penderitaan yang hebat. Di antara mereka ada yang mengalami kerusakan bahkan kehilangan anggota tubuh, kehilangan mata pencaharian, hingga ditinggal pergi orang terkasih untuk selamanya. Sempat tertutur kalimat seperti ini dari segelintir korban: “Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, mengapa kami yang menjadi korban?”
Baca juga Melawan Virus Kebencian
Pedih yang dirasa tidak hanya muncul sesaat setelah terjadinya peristiwa, melainkan bertahan bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan apabila korban merasa frustasi atau depresi sekali pun. Namun hebatnya para korban justru enggan berlarut-larut dalam kesedihan. Mereka tetap memanjatkan syukur kepada Allah Swt, setidaknya karena masih diberi kesempatan hidup.
Syukur membuat para korban bertransformasi menjadi manusia-manusia yang tangguh. Para korban memang tidak bisa sembuh sepenuhnya dari luka yang diderita, tetapi mereka berusaha untuk berdamai dengan luka tersebut. Nikmat hidup yang mereka rasakan saat ini adalah bukti bahwa Allah Swt masih menyayangi mereka. Mereka pun membalas kasih sayang Allah dengan senantiasa menjadi pribadi yang bersyukur.
Baca juga Rentan Menjadi Korban Terorisme