Mewaspadai Propaganda Ekstremisme Saat Pandemi
Oleh Wiwit Tri Rahayu
Sarjana Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Sejumlah peneliti ekstremisme menyimpulkan, kelompok ekstremis justru menganggap pandemi Covid-19 sebagai peluang melakukan aksi kekerasan dan perekrutan. Hal ini memberikan alarm peringatan agar kita tak lengah, khususnya dengan propaganda ekstremisme. Terlebih adanya anjuran untuk belajar dan bekerja di rumah secara daring sehingga meningkatkan penggunaan internet.
Penyebaran ekstremisme melalui internet membidik individu dari berbagai kalangan dan usia. Penelitian yang dilakukan oleh International Center for the Study of Violent Extremism (ISCVE) menunjukkan, internet ‘cukup’ untuk membuat individu bergabung dengan kelompok ekstrem. Cukup yang dimaksud adalah perekrutan dapat terjadi tanpa memerlukan elemen tatap muka.
Baca juga Nalar Kritis Benteng Ekstremisme
Hasil interviu mendalam kepada 236 mantan pelaku terorisme dari berbagai negara menunjukkan, 117 orang atau sekitar 48,9% terdoktrin melalui internet. Angka ini didominasi oleh mereka yang justru tinggal di luar Suriah dan Irak (Speckhard dan Ellenberg, 2020). Salah satu informan terpelajar asal Belanda, Abu Walid (24), mengatakan bahwa ia memeluk Islam pada usia 19 tahun dan kemudian terjerembab ke dalam propaganda daring yang dilakukan oleh ISIS.
Walid mengaku menghabiskan waktunya untuk menyaksikan video-video tentang peristiwa kekerasan yang sedang berlangsung di Suriah melalui platform Facebook dan Twitter. Video-video tersebut kemudian mendorong Walid untuk berkomunikasi dengan kelompok ekstrem melalui media sosial. Pada usia 20 tahun, Walid meninggalkan Belanda dan bergabung dengan ISIS.
Baca juga Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian
Meskipun demikian, kewaspadaan tidak melulu tertuju kepada usia remaja. Dari 236 wawancara tersebut, beberapa informan di antaranya bahkan berusia di atas 35 tahun ketika mulai terdoktrin. Kimberly Pullman (46), perempuan asal Kanada, menyatakan bahwa propaganda bukanlah satu-satunya faktor yang menarik individu untuk bergabung ke dalam kelompok ekstrem.
Kimberly awalnya berkenalan dengan seorang pendukung ISIS melalui Twitter dan kemudian keduanya menikah secara daring. Ia memutuskan untuk menyusul suaminya ke Suriah setelah merasakan kehangatan cinta dari sana, alih-alih dari lingkungan sekitar dan keluarganya.
Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi
Kimberly mengaku bahwa keintiman yang tercipta melalui daring membuat beberapa orang, termasuk dirinya, memutuskan secara sukarela untuk pergi ke Suriah yang tengah dilanda peperangan. “Bukan propaganda yang berhasil pada kita. Banyak dari kita bahkan tidak melihat video-video (propaganda),” ungkapnya sebagaimana tertulis dalam artikel Is Internet Recruitment Enough to Seduce a Vulnerable Individual into Terrorism? (ISCVE, April 2020).
Efektivitas internet dalam penyebaran dan perekrutan ekstremisme tentu menjadi tantangan serius bagi pegiat perdamaian. Kelompok antiekstremisme di Inggris yang bernama ‘Hope Not Hate’ melaporkan, situasi pandemi telah dijadikan oleh kelompok ekstremisme kanan untuk melakukan rekrutmen dan propaganda rasisme serta perencanaan serangan.
Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme
Hal tersebut senada dengan pernyataan Fisher-Birch yang dikutip oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI), “Kelompok-kelompok (ekstremis) ini memahami bahwa pandemi dan penurunan perekonomian memberikan mereka peluang untuk menyebarkan teori-teori konspirasi, menyalahkan dan menawarkan ideologi mereka sebagai solusi.”
Sejak diberlakukan social distancing –kemudian diubah menjadi physical distancing, banyak individu terkurung karena adanya lockdown maupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Internet menjadi opsi yang paling tepat untuk tetap menjalankan aktivitas. Tingginya intensitas penggunaan media sosial oleh individu pada saat ini sangat rawan dimanfaatkan kelompok ekstrem melakukan perekrutan.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman
Terlebih beberapa kelompok ekstrem juga tetap melakukan aksi serangan dengan memanfaatkan kelengahan aparat keamanan yang turut sibuk menghadapi krisis pandemi, seperti yang baru-baru ini terjadi di Perancis dan Afghanistan. Bahkan aksi teror di beberapa wilayah Afrika justru dilaporkan mengalami peningkatan.
Selain itu, pemberitaan di media massa menunjukkan adanya penangkapan tersangka terorisme di beberapa negara. Serangan dan penangkapan adalah contoh bahaya yang dapat diamati melalui pemberitaan media. Sementara perekrutan yang berbasis ideologi adalah hal tak kasat mata yang membutuhkan kewaspadaan lebih.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua
Kondisi tersebut menjadikan keluarga sebagai satu-satunya pengawas karena setiap individu cenderung berada di rumah selama 24 jam. Keluarga harus lebih berhati-hati terhadap rekrutmen yang bersifat pasif, di mana ketertarikan untuk bergabung kepada kelompok ekstrem muncul dari dalam diri individu setelah melihat, mendengar, dan membaca propaganda tanpa adanya ajakan dari pihak eksternal.
Menjadi tugas bersama dalam lingkup keluarga untuk saling mengawasi dan memberi pengertian serta kasih sayang, agar tak ada celah bagi ekstremisme menembus rumah kita.
Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot