27/05/2020

Nalar Kritis Benteng Ekstremisme

Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah

Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33, Allah berkisah tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam sosok seorang nabi bernama Adam AS. Sempat ada ‘protes’ dari golongan malaikat saat itu. Para malaikat khawatir jika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, mereka hanya akan menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi.

Akan tetapi, Allah tidak menciptakan sesuatu tanpa alasan, karena Dialah Zat yang Maha Mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya. Allah titipkan akal dan pengetahuan kepada Adam AS yang mampu membuatnya menyebutkan semua nama benda yang ditunjuk oleh Allah, sehingga para malaikat pun akhirnya mengakui dan tunduk di hadapan Adam AS.

Baca juga Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian

Kisah tersebut membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna. Dengan statusnya sebagai khalifah, manusia diamanati tugas untuk mengelola bumi dan seisinya. Tentu untuk mengemban amanah sebesar itu bukan perkara yang mudah. Agar mampu menunaikan tugas tersebut, Allah menganugerahi manusia akal pikiran yang membedakan mereka dengan makhluk lainnya.

Akal telah berperan sebagai perangkat yang memberikan sumbangsih peradaban dalam sejarah umat manusia. Di samping itu, akal juga berfungsi menuntun manusia dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk. Sebelum melakukan sesuatu, manusia selazimnya menggunakan akalnya untuk menimbang apakah perbuatannya itu memberikan maslahat atau justru mudarat.

Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi

Pemanfaatan akal secara maksimal adalah refleksi dari nalar kritis. Pribadi-pribadi yang memiliki nalar kritis tidak puas hanya menerima informasi dari satu sisi, melainkan menyaringnya dari berbagai sumber, menimbang opsi terbaik yang paling banyak manfaatnya dan paling sedikit mudaratnya, barulah kemudian mengambil sebuah keputusan. Prinsip kehati-hatian dalam bertindak menjadi prioritas utama bagi mereka yang bernalar kritis.

Bagaimanapun, kerusakan di muka bumi tetap terjadi akibat ulah tangan sebagian manusia. Ini disebabkan oleh nalar kritis yang sudah mulai tumpul sehingga tanpa pikir panjang melakukan kerusakan demi kerusakan. Bukannya mengedepankan prinsip kehati-hatian, mereka justru membiarkan keegoisan dan keserakahan yang lebih dominan mengontrol diri. Mengenyampingkan fakta bahwa kerusakan yang mereka lakukan berdampak luas bagi yang lain.

Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme

Skenario ini sedikit banyaknya sesuai dengan pengalaman mantan pelaku terorisme di masa lalu. Kisah Kurnia Widodo misalnya. Mantan narapidana terorisme ini mengatakan bahwa dulu ia hanya belajar dari satu sumber yang terus-menerus menyesaki pikirannya dengan propaganda kekerasan. Alhasil, bertahun-tahun ia terjerumus dalam berbagai aksi kekerasan, tanpa pernah sekalipun memikirkan dampak dari perbuatan tersebut bagi korban.

Hal serupa juga dialami oleh Ali Fauzi, mantan pelaku terorisme lainnya. Ia berkecimpung dalam dunia kekerasan selama bertahun-tahun. Ia juga sempat aktif melatih penggunaan senjata dan perakitan bom di kelompoknya. Saat itu, ia meyakini bahwa apa yang dilakukannya sudah pasti benar. Sama seperti Kurnia Widodo, tak pernah tebersit dalam pikirannya bahwa praktik kekerasan yang ia lakukan atau pun ilmu persenjataan yang ia wariskan kepada murid-muridnya akan melukai banyak korban.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman

Setelah dipertemukan dengan korban dan melihat sendiri penderitaan yang dirasakan korban, barulah keduanya mulai berpikir ulang. Mereka merenung apakah perjuangan mereka selama ini benar-benar berada di atas jalan kebenaran, atau justru sebaliknya, hanya merugikan orang-orang yang tidak bersalah. Puncak dari perenungan itu adalah kedua mantan pelaku akhirnya meminta maaf kepada korban dan berjanji meninggalkan jalan kekerasan.

Andai saja para mantan pelaku bernalar kritis sejak awal, tentu tidak perlu ada aksi kekerasan dan jatuhnya banyak korban. Mereka akan sebisa mungkin meninggalkan aksi kekerasan yang jelas-jelas tidak mendatangkan manfaat sedikit pun. Toh dengan aksi kekerasan, cita-cita mereka tidak tercapai juga. Yang ada citra kelompok mereka semakin tercoreng. Sebuah kerugian yang tidak hanya menimpa orang lain, melainkan juga diri sendiri.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua

Oleh karenanya, hendaklah kita selalu bernalar dan bersikap kritis terhadap informasi atau pemikiran yang menjurus kepada kekerasan. Sebab, tidaklah Allah memberikan manusia akal melainkan untuk memakmurkan bumi. Kekerasan hanya akan membawa kesengsaran di muka bumi dan bertentangan dengan pesan Sang Ilahi.

Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *