Beban Ganda Korban Terorisme
Aliansi Indonesia Damai- Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan tersebut cukup tepat untuk menggambarkan kisah I Gede Budiarta, korban Bom Bali tahun 2002, dan Fitri Supriati, korban Bom Kuningan tahun 2004. Bukannya mendapatkan empati atas musibah yang menimpa keduanya, Gede dan Fitri justru sempat mendapatkan cibiran dari sebagian orang. Cibiran itu tidak saja dilontarkan kepada keduanya, tetapi juga kepada keluarganya.
Pemberitaan media massa tentang bantuan-bantuan kepada korban bom justru menimbulkan stigma negatif dari masyarakat. “Padahal saya nggak dapat apa-apa. Saya nggak tahu jalurnya,” ujar Gede dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban bagi Petugas Pemasyarakatan yang digelar AIDA secara daring pada Selasa (08/09/2020).
Baca juga Mengambil Hikmah dari Musibah
Tidak hanya itu, Gede juga sempat mengalami trauma berkomunikasi dengan insan media massa lantaran merasa dimanfaatkan sebagai korban. Ia pun memilih tidak terlibat dalam berbagai kegiatan yang menyangkut korban terorisme.
“Waktu itu dari stasiun televisi mencari data waktu saya masih parah-parahnya dan butuh perawatan. Mereka minta data saya untuk dijadikan film tragedi Bom Bali I. Saya nggak terima. Mereka marah-marah. Sejak itu saya melarikan diri,” ujar Gede di hadapan 28 petugas pemasyarakatan yang mengikuti pelatihan hari pertama itu.
Ia bersyukur, setelah sekian lama menghilang dan putus interaksi dengan sesama korban bom, kini ia memutuskan untuk aktif kembali di komunitas korban. Hal itu dilakukannya setelah bertahun-tahun berjuang mengobati luka fisik melalui beberapa kali operasi.
Baca juga 16 Tahun Bom Kuningan: Harapan Damai Penyintas
“Kalau bicara jelek itu kan nggak etis, dan nggak ada untungnya. Semua akan kembali kepada Tuhan,” tutur Gede mencoba mengikhlaskan apa yang menimpanya.
Nyaris senasib dengan Gede, Fitri Supriati juga pernah mendapatkan komentar negatif dari rekannya. Ketika terjadi ledakan pada 9 September 2004, Fitri sedang mengurus akad kredit pemilikan rumah di salah satu bank yang terletak tak jauh dari kantor Kedubes Australia, di Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta. Namun hal tersebut justru menimbulkan fitnah dari rekan-rekan kerjanya.
Baca juga Makna Peringatan Tragedi Terorisme
“Katanya, saya halu (halusinasi: red). Bohong, kena bom itu bohong. Kena bom bukan saat akad kredit tapi karena sedang jalan-jalan. Saya merasa teman kerja bukannya ikut prihatin malah digosipin yang tidak-tidak,” ujar Fitri. Berbulan-bulan ia bersabar menerima cibiran itu sampai atasannya mengatakan bahwa dirinya sedang difitnah. “Akan ada jawaban dari Allah,” katanya.
Di akhir sesi, kisah ketangguhan hidup Gede dan Fitri mendapatkan apresiasi dari peserta pelatihan. Menurut salah seorang peserta, tidak semua orang bisa kuat untuk bangkit dari musibah sebagaimana dialami mereka berdua. “Tidak semua orang mendapatkan hidayah sehingga kuat sampai sekarang. Saya salut kepada Pak Gede dan Bu Fitri,” ungkap Andi Wahyu, peserta pelatihan dari Lapas Banceuy Jawa Barat. [LADW]
Baca juga Hak-Hak Korban Terorisme Masa Lalu