Ketangguhan Melawan Ekstremisme
Oleh Wiwit Tri Rahayu,
Sarjana Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya
Ekstremisme kekerasan masih menjadi persoalan serius bagi masyarakat global. Selain merugikan individu, ekstremisme juga menimbulkan ketakutan masyarakat. Aksi ekstremisme rawan melahirkan tindakan lain dan kemudian menjadi siklus seperti lingkaran yang tak berujung. Salah satu upaya untuk memutus rantai tersebut adalah dengan menjadikan ketangguhan sebagai antibodi atau pertahanan diri.
Secara sederhana, ketangguhan dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk menghadapi kesulitan dan menggunakan kekuatannya untuk mengatasi tantangan, stres, dan trauma. Dalam pendekatan semacam ini, perspektif kontekstual akan diolah dengan cara yang berbeda. Resilience-based approach akan lebih melihat kepada apa yang membuat individu tahan terhadap ekstremisme, ketimbang apa yang membuat individu menjadi rentan atas ekstremisme.
Baca juga Strategi Lunak Penanganan Terorisme (Bagian I)
Menjadikan ketangguhan sebagai tameng termasuk cara yang efektif untuk menahan terjadinya rantai ekstremisme yang kemudian dapat berakhir menjadi sebuah konflik kekerasan. Hal ini dikarenakan sifat tangguh bukanlah karakteristik individu, namun juga bisa tumbuh pada komunitas atau kelompok masyarakat.
Menciptakan ketangguhan dapat merujuk pada hasil studi yang dilakukan oleh Australia dan Kanada (Grossman, et. al. 2017). Studi tersebut mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat anak muda lebih tangguh terhadap ekstremisme di masyarakat. Faktor tersebut kemudian diringkas menjadi beberapa faktor inti.
Faktor pertama adalah adanya identitas dan keterhubungan budaya, di mana anak muda cenderung akrab dengan warisan budaya, agama, tradisi, dan nilai-nilai serta adanya rasa bangga bahwa budaya tersebut diterima oleh masyarakat luas.
Baca juga Strategi Lunak Penanganan Terorisme (Bagian II-terakhir)
Faktor kedua adalah adanya modal berupa hubungan dengan masyarakat lain yang bersifat mutualisme untuk saling memberikan kepercayaan dan dukungan. Faktor selanjutnya adalah akses terhadap pemerintah dan organisasi masyarakat yang mampu memberikan bantuan saat dibutuhkan.
Selain faktor tersebut, faktor lain yang dibutuhkan adalah kepercayaan diri. Perilaku anak muda yang tangguh atas ekstremisme cenderung berani berbicara di depan umum untuk menentang kekerasan dan tidak menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Mereka juga melihat bahwa kekerasan tidaklah menciptakan status tertentu atau pun rasa hormat, dan tidak menoleransi kekerasan dalam komunitas mereka sendiri.
Baca juga Korona dan Keselamatan Bangsa
Dari faktor-faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa memberikan kepercayaan dan dukungan yang cukup kepada komunitas tertentu merupakan kunci untuk membuat mereka memilih menjadi tangguh daripada terus-menerus menyimpan keinginan membalas dendam. Dengan pendekatan yang tepat, faktor tersebut bisa dikembangkan agar tidak hanya dimiliki oleh anak muda.
Pengalaman AIDA menunjukkan bahwa ketangguhan dapat dibentuk dalam komunitas tertentu, khususnya komunitas para penyintas terorisme. Bersama para penyintas, AIDA mencoba menumbuhkan faktor-faktor tersebut sehingga mereka mampu bangkit dan melepas segala persoalan dengan pelakunya.
Bersama AIDA, para penyintas juga berani mengampanyekan perdamaian, bahkan sekaligus bersama mantan pelaku terorisme. Begitu pula dengan para mantan pelaku, AIDA memberikan dukungan agar berani hijrah dari jalan kekerasan ke jalan perdamaian sehingga mereka dapat terlepas dari jerat ekstremisme.
Baca juga Kehancuran di Balik Egoisme