04/12/2020

Bersyukur Pantang Mengeluh

Oleh Wiwit Tri Rahayu,
Alumni Ponpes Ar-Risalah Lirboyo Kediri

Pada era serbadigital, kita sangat jamak menemui orang yang gemar mengeluh. Media sosial banyak dipenuhi dengan curhat dan keluh kesah masalah-masalah pribadi yang kadang berlebihan. Nikmat Allah tampak seperti hilang. Tak ada lagi rasa syukur. 

Dalam Kitab Nashaihul Ibad diterangkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

من أصبح وهو يشكو ضيق المعاش فكأنما يشكو ربه و من أصبح لأمور الدنيا حزينا فقد أصبح ساخطا على الله و من تواضع لغني لغناه فقد ذهب ثلثا دينه

“Barang siapa yang di pagi hari sudah mengadukan kesulitan hidupnya (kepada orang lain), maka seolah ia telah mengeluh kepada Tuhannya. Dan barang siapa yang di pagi hari sudah merasa susah dengan urusan duniawinya, maka berarti ia telah membenci Allah pada saat itu juga. Dan barang siapa yang merendahkan dirinya di hadapan orang kaya lantaran melihat hartanya, maka sesungguhnya telah hilang dua pertiga agamanya (dari dirinya).”

Baca juga Guru dan Pendidikan Karakter

Seberat apa pun cobaan yang dihadapi oleh manusia, manusia tidak diperkenankan untuk mengeluh kepada selain Allah SWT. Cobaan yang diberikan kepada manusia selama hidup di dunia merupakan ketetapan atas qadha dan qadar Allah SWT. 

Berkeluh kesah ataupun sedih terhadap ketetapan menunjukkan bahwa manusia tidak terima kepada takdir Tuhannya. Secara tidak langsung, sabda ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan hamba-Nya untuk terus bersikap tangguh, alih-alih mengeluh dan menyesali takdir.

Baca juga Fenomena Post-Truth dan Tantangan Perdamaian

Jika kita lihat pada realita saat ini, keluh kesah manusia umumnya terjadi karena lupa untuk menyadari nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT dan terlalu sibuk melihat serta membandingkan kehidupan orang lain. Begitu juga sebaliknya, banyak orang yang merendahkan orang lain yang dianggap berbeda, padahal perbedaan tersebut tidak pernah berarti di mata Allah SWT. 

Seharusnya manusia melihat perbedaan sebagai nikmat. Dalam kehidupan nyata, umumnya di kalangan remaja, banyak perundungan (bullying) terjadi karena adanya perbedaan yang kemudian dijadikan sebagai bahan olok-olok, misalnya terkait kondisi fisik (contoh, penyandang disabilitas) ataupun ras. Padahal sudah jelas Allah mengatakan QS At-Tiin ayat 4 bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk. Sehingga, mengeluh apalagi menghina manusia sama saja menghina ciptaan Tuhannya, na’udzu billah.

Baca juga Mensyukuri Nikmat di Tengah Pandemi

Hadis Nabi di atas juga mengingatkan kita agar tidak merasa lebih rendah ketika berhadapan dengan orang yang lebih kaya. Sudah sepatutnya manusia merasa derajatnya sama dengan manusia lain dan tidak merendahkan diri sendiri. Pada dasarnya derajat manusia di mata Allah hanya dibedakan atas iman dan ketakwaan. 

Tidaklah seseorang merasa lebih tinggi dari orang lainnya dikarenakan harta ataupun status sosial yang dimiliki, begitu juga sebaliknya. Bahkan, Allah pun tidak menyukai orang yang sombong atas amal salehnya, dan atau sebaliknya merasa rendah diri karena status sosialnya. Kesombongan adalah hal yang menakutkan karena begitu dibenci oleh Allah SWT. “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri” (Q.S. An Nahl: 23).

Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas

Al-Qur’an dengan tegas menjelaskan bahwa derajat manusia di mata Allah adalah sama, sebagaimana dapat kita lihat melalui alasan turunnya (asbabun nuzul) Surat Al Hujarat ayat 13: 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Baca juga Hijrah untuk Kemerdekaan

Menurut riwayat Ibnu Abbas, ketika peristiwa Fathu Makkah beberapa orang mengejek Bilal karena kulitnya yang hitam. Saat itu Bilal sedang di atas mimbar Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Salah seorang sahabat bahkan mengatakan kalimat bernada nyinyir, “Apakah Muhammad SAW tidak menemukan orang selain ‘burung gagak hitam’ ini sebagai muazin?” Malaikat Jibril lantas turun mewahyukan ayat ini sebagai penegas bahwa Islam tidak mengedepankan identitas apa pun kecuali ketakwaan seorang hamba (Tafsir Al-Qurthubi, Vol. 19 hal. 411).

Sementara Abu Dawud meriwayatkan, Nabi SAW memerintahkan Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, bekas budak mereka. Bani Bayadhah sempat “memprotes” perintah tersebut. Ayat ini lantas turun sebagai penjelas bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan kasta antara bekas budak ataupun bukan (Ibid, hal. 410).

Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *