15/11/2020

Fenomena Post-Truth dan Tantangan Perdamaian

Oleh: Faruq Arjuna Hendroy,
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah

Kemajuan teknologi informasi yang dibarengi kebebasan sipil membuat media sosial semakin digandrungi. Dewasa ini hampir semua lapisan kelompok masyarakat memiliki akun media sosial. Keperluannya beragam, dari urusan pekerjaan, komunikasi, atau sekadar sarana hiburan.

Di tengah segudang manfaatnya, media sosial tak lepas dari catatan buruk. Kebebasan di media sosial terkadang susah untuk dikendalikan. Siapa pun bisa mengekspresikan pikirannya dalam pelbagai bentuk dan menaruh komentar apa saja, tak peduli baik atau buruk. Minimnya daya saring media sosial berdampak pada meruncingnya konflik vertikal maupun horizontal. Acapkali kasus yang bermula di media sosial berlanjut ke dunia nyata.

Baca juga Mensyukuri Nikmat di Tengah Pandemi

Dalam beberapa tahun ini kita menyaksikan buktinya. Isu-isu yang menjadi sumbu konflik tak jauh dari faktor perbedaan agama, suku, ideologi, hingga pandangan politik. Baik kasusnya berlanjut ke dunia nyata atau tidak, polarisasi adalah tontonan sehari-hari di media sosial. Setiap kelompok membela mati-matian apa yang mereka anggap benar dan keras menolak apa yang dianggap salah. Objektivitas seakan mati dalam diri pengguna media sosial yang biasa disebut warganet ini.

Karakter unik warganet ini oleh Kamus Oxford disebut dengan istilah post-truth. Dilansir dari tirto.id, Kamus Oxford menjadikan post-truth sebagai bahasa tahunan pada 2016 silam untuk merefleksikan peristiwa Referendum Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) dan Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Dalam dua peristiwa itu, masyarakat terlibat dalam perdebatan yang lebih mengedepankan emosi.

Baca juga Ketangguhan Melawan Ekstremisme

Post-truth didefinisikan sebagai fenomena di mana fakta-fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik dibandingkan dorongan emosi dan kepercayaan seseorang. Fenomena tersebut telah menjalar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Dampaknya, post-truth seketika menjadi fenomena baru dalam diskursus ilmu sosial dan politik.

Akibat mengenyampingkan objektivitas, post-truth menumbuhsuburkan hoaks. Ada pihak-pihak yang memproduksi informasi palsu dengan tujuan menggiring opini masyarakat. Informasi dibumbui dengan narasi-narasi provokatif yang mengundang emosi. Masyarakat post-truth yang memang mengedepankan emosi dengan mudah terperangkap dalam jebakan itu. Hoaks dianggap sebagai kebenaran hanya karena perasaan mereka bilang itu benar.

Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia turut melanggengkan penyebaran hoaks. Seringkali kita menemukan di antara teman atau keluarga kita yang gemar membagikan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Mereka teperdaya oleh judul informasi yang bombastis sehingga alpa mengecek validitasnya. Tak jarang kondisi ini juga ditemui di kalangan akademisi yang seharusnya memiliki kualitas literasi tinggi.

Jika tidak diantisipasi, fenomena post-truth dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat post-truth cenderung bertumpu pada kebohongan dalam bertindak. Semakin banyak kebohongan yang dibuat, semakin dahsyat silang pendapat yang terjadi. Dikarenakan tiap orang hanya mempercayai kebohongannya sendiri-sendiri. Kondisi inilah yang membuat bangsa rawan terbelah.

Baca juga Strategi Lunak Penanganan Terorisme (Bagian I)

Akan selalu ada pihak-pihak yang menciptakan kebohongan demi kebohongan untuk kepentingannya. Penangkalnya sekarang berada di tangan pemerintah maupun masyarakat sendiri. Pemerintah lewat kebijakannya melakukan konter-narasi terhadap kebohongan yang tersebar dan menjatuhkan hukuman bagi produsen dan penyebar kebohongan. 

Sedangkan masyarakat perlu menguatkan budaya literasi. Sebagaimana disampaikan oleh Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, memperkuat literasi tak hanya sekadar rajin membaca, akan tetapi mengkritisi bahan bacaan itu, mengecek sumber informasi untuk memeriksa kevalidannya, sebelum memutuskan akan membagikannya atau tidak. Tidak susah sebenarnya berpikir kritis. Tergantung kita mau melakukannya atau tidak.

Bagaimanapun fenomena post-truth ini telah menunjukkan, pada titik tertentu ada kalanya manusia lebih mengedepankan perasaan ketimbang akal sehat. Ini gejala yang perlu kita khawatirkan. Kita tidak bisa menghilangkan perasaan, karena itu adalah pemberian dari Tuhan. Namun kita bisa mengendalikannya dengan tetap menggunakan akal sehat. Keseimbangan antara perasaan dan akal sehat adalah penawar bagi fenomena post-truth.

Baca juga Strategi Lunak Penanganan Terorisme (Bagian II-terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *