Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas
Oleh Faruq Arjuna Hendroy,
Alumni Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tepat di hari ini, 92 tahun yang lalu, para pejuang muda mengikrarkan Sumpah Pemuda sebagai manifestasi dari semangat persatuan Indonesia. Ikrar bersejarah ini adalah buah pemikiran dari Kongres Pemuda Kedua yang diinisiasi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada 27-28 Oktober 1928.
Dihadiri oleh pemuda/pemudi tanah air dari berbagai latar belakang daerah dan organisasi, di antaranya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Katholikee Jongelingen Bond, Sekar Rukun, dan banyak lagi.
Dalam sejarahnya, Kongres Pemuda Kedua ini terbagi ke dalam tiga rapat di tempat yang berbeda. Rapat pertama membahas tentang pentingnya semangat persatuan di kalangan pemuda. Rapat kedua membahas pentingnya pendidikan bagi seluruh pemuda Indonesia. Rapat ketiga membahas pentingnya menumbuhkan jiwa nasionalisme, yaitu cinta tanah air.
Baca juga Korona dan Keselamatan Bangsa
Jiwa nasionalisme berperan dalam menumbuhkan semangat antipenjajahan dan perbudakan yang beratus-ratus tahun menjerat Indonesia. Secara dramatis, sebelum Kongres ditutup, diperdengarkan lagu ‘Indonesia Raya’ karangan Wage Rudolf Supratman, yang sontak disambut gegap gempita oleh seluruh peserta.
Kongres pun ditutup dengan membacakan tiga rumusan hasil kongres:
“Kami Putra Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
Kami Putra Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami Putra Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”
Rumusan inilah yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Dari peristiwa itu lahir kesadaran kolektif untuk berbangsa dan berbahasa yang satu. Lagu kebangsaan yang kita banggakan juga lahir dari momentum bersejarah itu. Maka tak berlebihan jika Sumpah Pemuda disebut sebagai instrumen paling penting dalam pembangunan karakter bangsa.
Baca juga Hijrah untuk Kemerdekaan
Sumpah Pemuda menjadi harapan terciptanya bangsa yang satu dan berdikari, di tengah kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Sumpah Pemuda adalah cita-cita menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, di saat konsep bernegara masih sangat abstrak. Belum ada kepastian mau dibawa ke mana nasib bangsa kala itu.
Namun para peserta Kongres Pemuda telah membuktikan, meskipun berbeda latar belakang, namun mereka bersepakat berlayar dalam satu bahtera bernama Indonesia.
Sumpah pemuda menyadarkan semua elemen bangsa bahwa persatuan adalah modal utama, sebelum melangkah ke depan dan menyongsong kemerdekaan. Tanpa peran pemuda/pemudi itu, untuk sekadar berpikir merdeka saja mungkin tidak, apalagi bergerak merebut kemerdekaan. Pemikiran yang jernih dan visioner menjadikan kemerdekaan bukan lagi sekadar mimpi, tetapi hak yang harus diperjuangkan.
Baca juga Kehancuran di Balik Egoisme
Indonesia sudah lama merdeka. Namun peran pemuda tak pernah usai. Jika peran pemuda tempo dulu adalah mengupayakan kemerdekaan, maka peran pemuda kini adalah memertahankan kemerdekaan, memastikan bangsa Indonesia benar-benar menikmati kemerdekaan di segala lini; pendidikan, sosial, hukum, politik, dan ekonomi, hingga Indonesia siap menyandang predikat sebagai negara maju.
Pada tahun 2045 kelak, usia kemerdekaan bangsa genap seabad. Indonesia akan menikmati bonus demografi yang menurut ahli hanya terjadi satu kali dalam sejarah suatu bangsa. Dilansir dari tirto.id, bonus demografi adalah fenomena di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Pasalnya jumlah penduduk usia produktif; 15-64 tahun lebih banyak dari penduduk usia non-produktif yang berumur di bawah 15 tahun atau di atas 64 tahun. Jika peluang ini dioptimalkan, mimpi ‘Indonesia Emas 2045’ bakal terwujud.
Namun fakta ini menghadapi tantangan. Dikutip dari The Conversation, dua peneliti yang menggeluti demografi, Diahhadi Setyonaluri dan Flora Aninditya menyimpulkan bahwa jumlah usia produktif bisa menurun karena tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat gaya hidup yang tak sehat di kalangan pemuda. Walhasil hal tersebut berpotensi menghambat produktivitas kelompok usia produktif di kemudian hari.
Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona
Dalam hemat penulis, ada faktor lain yang turut mengganggu produktivitas usia, yakni maraknya pemuda yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, mulai dari tawuran, anarkisme, vandalisme, premanisme, hingga terorisme. Persoalan ini mengganggu semua sisi. Para pemuda yang terlibat kekerasan pastinya kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri di jalur yang positif sehingga berdampak buruk bagi masa depan mereka. Tanpa skill yang mumpuni, mustahil mereka mampu berkarya dan mengarsiteki pembangunan negara.
Di sisi lain, aksi kekerasan yang mereka lakukan memberikan kerugian bagi masyarakat luas. Api konflik yang mereka sulut membuat situasi mencekam. Otomatis masyarakat tidak bisa beraktivitas dengan rasa aman sehingga produktivitas terganggu.
Oleh sebab itu, selain memastikan pemuda menjaga diri dari kecelakaan lalu lintas dan mempraktikkan gaya hidup sehat, penting juga untuk menjauhkan mereka dari aksi-aksi kekerasan. Sudah cukup bangsa ini berkonflik, baik berkonflik dengan penjajah maupun dengan sesama anak bangsa. Sudah saatnya Indonesia menatap ke depan melalui jalan damai, dengan pemuda sebagai pionernya.