29/11/2020

Ujian Ketangguhan Iman

Aliansi Indonesia Damai- Josuwa Ramos masih menikmati status barunya sebagai seorang suami dan muslim saat musibah besar menimpanya. Kamis 9 September 2004 pagi ia sempat ragu untuk berangkat kerja karena kurang sehat. Namun karena harus menandatangani surat perpanjangan kontrak kerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, ia tetap berangkat bekerja.

Saat tiba di kantor, Josuwa menempati pos jaga di area dalam pagar gedung. Sekira pukul 10.15 WIB terdengar ledakan. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Asap pekat menghalangi pandangan Josuwa. Saat asap mulai menipis, ia melihat semua hal di dekatnya porak-poranda. Serpihan kaca dan reruntuhan bangunan berserakan.

Baca juga Anakku Penguatku

Ia masih linglung dan belum memahami betul peristiwa yang menimpanya. Namun naluri mendorongnya agar segera menyelamatkan diri. Saat sedang berusaha bergerak, terdengar suara rekan kerjanya yang meminta pertolongan. Ia baru menyadari bahwa peristiwa ini telah mencederai teman-temannya.

Tanpa berpikir panjang, ia lekas membawa rekannya ke rumah sakit terdekat. Setelah berhasil membawa rekannya ke IGD, ia bergegas kembali ke lokasi kejadian. Namun saat membalikkan badan ia terjatuh. Ternyata kaki Josuwa mengucurkan darah sangat banyak. Josuwa pun segera mendapatkan penanganan medis pertama.

“Saya merasa sangat menyesal tidak dapat kembali ke lokasi kejadian untuk menolong rekan-rekan saya yang lain, yang mana saya sempat berkata akan kembali untuk menolong mereka,” tuturnya.

Baca juga Berbagi Cerita Melawan Trauma

Setelah mendapatkan pertolongn medis pertama, ia pun diperbolehkan pulang karena rumah sakit mengutamakan pasien dengan kondisi yang lebih darurat. Tiga hari dirawat sang istri di rumah, kaki Josuwa mengalami pembengkakan yang parah. Keesokan harinya Josuwa kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisinya.

Ternyata ada beberapa serpihan besi yang masih menancap di nagian kaki. Satu di antaranya tidak dapat dikeluarkan karena sangat berisiko. Baru pada tahun 2007 ia mendapatkan tawaran untuk melakukan tindakan medis di Singapura. Serpihan bom itu berhasil diangkat, namun ada jaringan saraf yang terputus sehingga Josuwa harus mengonsumsi obat-obatan pereda nyeri hingga kini.

Baca juga Dukungan Kerabat untuk Pemulihan Korban Bom Kuningan

Menjadi korban bom terorisme yang mengatasnamakan agama adalah ujian berat baginya. Terlebih kejadian itu membuat istri tercintanya mengalami keguguran karena keletihan merawatnya. Keimanannya benar-benar diuji saat itu. Sebagai manusia biasa ia sempat murka.

“Saya dulu sempat marah dan benci dengan Nabi Muhammad. Saya baru beberapa minggu jadi mualaf tapi harus disakiti sama sekelompok orang yang mengaku umat Nabi Muhammad,” ujar Josuwa.

Baca juga Menepis Amarah Membangun Damai

Namun setelah ia menyampaikan keluhannya kepada seorang ustaz, dan juga banyak membaca buku kisah  tentang Nabi Muhammad, pikirannya terbuka. Ia menyadari bahwa apa yang telah dilakukan oleh teroris bukanlah ajaran Nabi Muhammad SAW. Nyatanya Nabi mengajarkan dan meneladankan kebaikan dan cinta kasih.

“Kisah Nabi Muhammad serta dukungan keluarga kepada saya untuk mempelajari lebih tentang agama Islam membuat saya semakin bangkit. Saya ingin seperti Nabi Muhammad yang memaafkan semua yang menjadi musuhnya,” katanya.

Baca juga Jalan Panjang Pemaafan Penyintas Bom

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *