14/11/2020

Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian I)

Aliansi Indonesia Damai- Awal Oktober 2005 menjadi waktu yang tak mungkin terlupakan oleh I Ketut Suartana. Hari itu, tepat sehari sebelum upacara perayaan 100 hari kelahiran anak keduanya, ia terkena musibah yang lantas membuat kondisi fisiknya tak pulih seperti sedia kala. Tempatnya bekerja, Cafe Menega di Pantai Jimbaran Bali, diterpa teror peledakan bom. Peristiwa yang kemudian populer dengan Bom Bali 2005.

Awalnya, Ketut berniat mengambil cuti kerja karena harus menyiapkan upacara nelubulanin buah hatinya. Namun ia berubah pikiran. Tanggal 1 adalah hari penerimaan gaji. Ketut memutuskan untuk tetap masuk kerja supaya uang gajinya bisa menambah biaya acara selamatan itu.

Baca juga Bersahabat dengan Mantan Ekstremis

Hari itu Ketut agak terlambat tiba di tempat kerjanya lantaran sebelumnya harus menyiapkan upacara nelubulanin. Masih jelas di ingatan Ketut, malam itu sekitar pukul 7, ia melayani tamu asal Perancis. Anak dari tamu tersebut memesan minuman ringan. Ketut bergegas mengambilkannya. Namun baru tiga langkah berjalan, terdengar suara keras, suasana berubah gelap dan porak poranda.

“Tubuh saya terhempas. Saya terjatuh di pasir. Suasana begitu gelap. Lilin-lilin semua hancur. Meja banyak yang hancur. Banyak teriakan yang saya dengar,” ujar Ketut dalam salah satu kegiatan AIDA.

Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)

Ketut berusaha merangkak untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba ledakan kedua terjadi. Ledakan bersumber dari Nyoman Café yang berada sekitar 25 meter dari Menega Café. Ketakutan Ketut bertambah. Ia berusaha meminta pertolongan.

“Saya memanggil teman saya. Dia memapah saya ke Klinik Jimbaran dengan motor. Darah begitu banyak di perut bagian kanan dan lengan bagian kanan. Kaki kiri saya sudah tidak terasa. Saya raba telinga kanan ada cairan. Cairan yang keluar itu tenyata darah,” ucap Ketut mengenang momentum kritis yang dialaminya.

Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. II-Terakhir)

Di klinik, Ketut belum mendapatkan penanganan berarti. Tiga jam kemudian, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Saat itu pihak keluarga belum ada yang tahu karena jaringan telepon di dekat lokasi kejadian terputus. Ketika tiba di RS Sanglah, suasana ramai. Korban terus berdatangan. “Setelah dua jam di rumah sakit, saya belum mendapatkan perawatan apa-apa. Kaki saya, saya ikat pakai sobekan sarung,” ujarnya.

Ketika pagi tiba, Ketut mulai bertanya-tanya tentang apa yang menimpanya, sekaligus merutuki nasib. Seharusnya ia sedang sibuk mengurus nelubulanin anaknya, bukan terbaring di rumah sakit.

“Sakit badan saya, bisa saya tahan, tapi tugas dan kewajiban saya sebagai seorang bapak dari anak saya terbengkalai. Saya bersyukur saya punya istri yang begitu kuat dan tabah memberi support. Akhirnya acara itu berjalan dengan lancar walaupun tanpa kehadiran saya,” ujar Ketut dengan mata berkaca-kaca. (bersambung)

Baca juga Penyintas Bom Bali: Lawan Kekerasan dengan Menebar Kebaikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *