Tarbiah Perdamaian (Bag. 2)
Oleh Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia
Perubahan besar dalam sebuah peradaban pasti dipelopori oleh generasi hebat dan terpilih. Pada bagian ini kita bisa mengadopsi bagaimana Rasulullah Saw membina generasi Islam pertama, yaitu para sahabat. Beberapa literatur menyebutnya sebagai generasi rabbani, generasi yang sangat kuat dari segi mentalitas.
Beberapa pokok tarbiah yang menjadi fondasi dalam membentuk generasi rabbani di antaranya selalu berpegang kepada Al-Quran dan hadis atau sunnah Rasulullah. Membangun tarbiyah salamiyah ini harus didasarkan pada pokok-pokok yang bersifat rabbaniyah tersebut. Karena sifat ini menjadi dasar dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di antara manusia dan menanamkan nilai ilahiyah dalam kehidupan manusia.
Baca juga Ketangguhan Mental Modal Kebangkitan
Fondasi berikutnya dalam membina generasi rabbani adalah dengan memurnikan dakwah dari segala kepentingan dunia dan sesuatu yang tidak kekal. Jika dikatakan perdamaian adalah misi dakwah, maka sudah seharusnya murni dari kepentingan dunia. Maknanya adalah bahwa perdamaian bukan seperti mekanisme dagang, di mana segala sesuatu didasarkan pada untung rugi sesaat. Namun harus didasarkan kepada keikhlasan.
Hal ini memang akan berdampak pula pada keuntungan-keuntungan duniawi, namun bukan menjadi tujuan utama. Jika perdamaian terwujud maka kita akan mudah dan nyaman menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk ritual peribadatan yang bernilai ukhrawi.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 1)
Generasi rabbani harus memiliki fondasi penting lainnya, yaitu karakter kesabaran dan saling memaafkan. Dua karakter ini akan membentuk pribadi yang kuat dan sangat relevan dalam membangun perdamaian. Memaafkan adalah kata kerja yang mempunyai efek untuk melunturkan egoisme dalam diri manusia. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya untuk saling memaafkan. Bahkan lebih dari itu, memaafkan menjadi bagian paling beradab dalam proses peradilan pidana Islam.
Sementara sifat sabar menurut Abdullah Azzam adalah separuh dari agama (dien). Di mana ia memiliki kedudukan seperti kepala dalam tubuh manusia. Sebagaimana tidak ada jasad tanpa kepala, maka tidak ada agama tanpa sabar. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang menjelaskan pentingnya sabar. Seseorang tidak mungkin naik ke sisi Rabb-nya kecuali mereka yang sabar dan bersyukur. Sabar dapat membuka jiwa untuk dapat menerima isyarat-isyarat dari alam kehidupan sehingga orang bisa berpikir jernih. Sabar juga dapat membuka hati untuk menerima makna-makna kebenaran dan melangkah di atas jalan kebenaran tersebut.
Baca juga Mengelola Fenomena Clicktivism
Salah satu jenis sabar adalah sabar dalam menaati perintah Allah Swt. Ibnu Taimiyah mengatakan, sabar jenis ini lebih besar kedudukannya dibanding sabar terhadap maksiat. Karenanya membutuhkan kemampuan dan kemauan yang kuat. Sebagai contoh, seseorang bersabar untuk tidak melakukan balas dendam/kekerasan kepada orang lain dengan dasar ketaatan kepada Allah Swt. Walaupun secara hukum ia telah dizalimi, bahkan dengan cara kekerasan. Kesabaran ini menempati kedudukan tinggi dalam peradaban manusia.
Peradaban yang sangat bernilai dalam kehidupan adalah perdamaian. Kita tidak akan bisa melanjutkan perdamaian tanpa pemaafan dan kesabaran. Perdamaian bukanlah sesuatu yang bersifat taken for granted, melainkan habitus yang harus diupayakan. Manusia baru akan menghargai pentingnya perdamaian jika kehidupan ini dipenuhi kekacauan. Aksi kekerasan terjadi di mana-mana. Hal yang lebih memprihatinkan tentu saja kondisi peperangan.
Baca juga Perdamaian dari Akar Rumput
Last but no least, dalam buku Tarbiyah Jihadiyah, Abdullah Azzam menulis bahwa pembinaan yang dilakukan Rasulullah pada generasi pertama sahabat adalah dengan membangun Qaidah Shalabah (kelompok inti). Pembinaan ini dilakukan dalam waktu yang sangat panjang dan diisi dengan materi dan program yang bersifat rabbaniyah tersebut, sehingga menghasilkan tokoh-tokoh yang berkualitas.
Hal ini dapat dikorelasikan dengan tarbiyah salamiyah. Dalam pengalaman AIDA yang membentuk Tim Perdamaian yang terdiri dari unsur korban aksi terorisme dengan mantan pelaku terorisme, kedua pihak mau membuka diri, saling memahami, bersabar atas apa yang telah menjadi ketentuan Allah Swt, dan kemudian bermaafan. Langkah berikutnya mereka mendakwahkan kepada orang lain tentang pentingnya sebuah perdamaian. (Bersambung)
Baca juga Keniscayaan Perdamaian