24/06/2021

Sejarah sebagai “Guru” Peradaban

Aliansi Indonesia Damai- Seorang bijak pasti akan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, termasuk sejarah orang-orang terdahulu. Dalam khazanah Islam ada banyak hikayat hidup, baik bernilai positif maupun negatif. Keduanya sama-sama bermanfaat untuk bisa diikuti dan dihindari. Sejarah juga dapat diadopsi menjadi norma kebudayaan. Tentu harus disesuaikan dengan realitas masa kini (cultural turn).

Sebagai contoh adalah pengalaman Hayati Eka Laksmi, salah seorang korban Bom Bali tahun 2002. Suaminya menjadi korban meninggal pada peristiwa nahas tersebut. Eka menceritakan bagaimana kondisi hidup memaksanya menjadi orang tua tunggal bagi dua anaknya. Situasi itu ia rasakan sangat berat, terutama bagi anak pertamanya yang masih berusia 3,5 tahun dan sebelumnya sangat dekat dengan sosok mendiang bapaknya.

Baca juga Berdamai dengan Masa Lalu

Anak pertamanya bernama Alif. Meskipun masih kecil tapi tampak sangat terpukul. Dia sempat tidak memercayai ayahnya telah meninggal dunia dan jenazahnya terbakar. “Waktu itu Alif marahnya luar biasa,” ujar Eka dalam salah satu kegiatan bersama AIDA. Hal tersebut membuat Eka semakin sedih, selain dirinya yang masih sangat shock karena ditinggal oleh suaminya.

Eka harus memikirkan cara agar kondisi psikis anaknya tidak memburuk karena sempat memiliki dendam kepada teroris. Alif sempat bercita-cita menjadi polisi agar bisa membalas apa yang menimpa bapaknya. Eka khawatir anaknya terus memendam trauma. “Karena kebencian tidak mungkin untuk terus dipelihara, karena itu akan membuat saya menjadi sakit. Akhirnya saya membuat rancangan yang lebih baik ke depan untuk anak-anak saya,” tutur Eka.

Baca juga Kala Penyintas Bom Memerjuangkan Hak Asuh

Berbekal ilmu yang dimiliki sebagai seorang guru, Eka mencoba membuat anaknya lebih tenang dari amarah dalam hatinya, lebih nyaman dengan kondisinya. Setelah sedikit tenang, Eka mulai menanamkan nilai-nilai positif dari kisah hidup Nabi Muhammad SAW. Ia mengajarkan bahwa Nabi Muhammad tidak mengajarkan umatnya memelihara dendam. Bahwa Islam mengajarkan untuk saling memaafkan sesama manusia.

Eka mengisahkan bahwa Nabi Muhammad pernah mengalami peristiwa yang menyakitkan; diludahi, dihina, dan juga mengalami kekerasan fisik, namun Nabi tidak membalas atas apa yang menimpanya. Eka menambahkan bahwa sifat dendam dan amarah tidak akan mengembalikan ayahnya kembali. “Kata kuncinya adalah tidak membalas kekerasan dengan kekerasan,” ujar Eka.

Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian I)

Metode bertutur dengan bahan sejarah masa lampau terbukti efektif dalam mendidik anak. Eka menyadari bahwa ia harus memutus rantai dendam. Akan tetapi proses yang dijalankan oleh Eka ini tidak singkat. “Butuh waktu tidak setahun dua tahun, belasan tahun saya menjalani itu,” katanya.

Sejak masih usia balita, Eka mencoba menenangkan hati anaknya sampai ia menginjak usia SMP. Setelah itu baru ia menanamkan dan mendidik dengan contoh sejarah Nabi Muhammad SAW. Hasilnya terbukti efektif. Alif sekarang sudah bisa memaafkan dan menerima kenyataan atas apa yang menimpa bapaknya.Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sejarah. Dalam Islam, kisah-kisah perang memang tidak perlu dihapuskan, namun ada kisah lain yang lebih beradab yaitu pemaafan. Kisah-kisah pemaafan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran yang secara universal diakui sebagai nilai kehidupan yang mulia. Kisah pemaafan bukan sekadar dongeng namun harus menjadi memori kolektif bersama.

Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian II)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *