31/07/2021

Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan

oleh Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sistem pemenjaraan bagi pelaku tindak kejahatan dibuat untuk memberikan efek jera. Dahulu istilah penjara identik dengan tempat hukuman yang menakutkan, penyiksaan, berfungsi menciptakan penderitaan bagi pelanggar hukum. Namun konsep tersebut kini berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Maknanya pun berubah menjadi pengayoman dan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP).

Lahirnya sistem pemasyarakatan mengubah kesan menyeramkan menjadi lebih humanis. Para warga binaan dibimbing untuk kembali ke masyarakat dan menjalani kehidupan lebih baik. Tantangan bagi petugas pemasyarakatan saat ini, bahkan sejak era Bom Bali tahun 2002, adalah warga binaan kasus terorisme.

Baca juga Menggelorakan Ketangguhan

Berbeda dengan tindak pidana umum yang hanya berlatar belakang ekonomi atau dendam, warga binaan terorisme memiliki motivasi yang melampaui kejahatan umum, yaitu ideologi. Faktor ideologi menjadi titik utama aksi mereka, ditambah dengan pembenaran atau justifikasi ajaran agama tertentu.

Manifestasi ideologi kekerasan menjadi sah dilakukan karena sifatnya yang mendesak, memiliki basis argumen agama, dan dianggap menjadi satu-satunya cara agar tujuan dari ideologi terwujud. Gambaran di atas menjadi tantangan serius bagi petugas pemasyarakatan, khususnya bagi wali warga binaan kasus terorisme.

Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”

Namun seiring berjalannya waktu, petugas pemasyarakatan banyak belajar dari pengalaman, juga dari berbagai pelatihan pembinaan napi kasus terorisme. Dalam konteks inilah AIDA berupaya berkontribusi melalui kegiatan bertajuk Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan, medio Juli 2021.

Dalam salah satu sesi kegiatan tersebut, AIDA menghadirkan narasumber mantan WBP terorisme. Mantan WBP ini bercerita pengalamannya selama bergabung dengan ISIS. Di Suriah ia diajarkan berbagai kemampuan militer, seperti menggunakan senjata baik laras pendek atau laras panjang, taktik perang, dan lainnya. Sekira setahun kemudian, ia kembali ke Indonesia. Beberapa tahun setelahnya ia ditangkap karena perubahan regulasi terkait keterlibatan dalam pelatihan militer kelompok ekstremisme di luar negeri.

Baca juga Menghargai Kearifan Budaya

Setelah menjalani persidangan, ia ditempatkan di salah satu Lapas di Jawa Timur. Ideologinya yang masih kuat plus perlakuan pihak Lapas yang kurang tepat, membuatnya kian “bengal”. Ia menolak semua program pembinaan. Terlebih di kalangan ekstremis, para petugas Lapas kerap dicap sebagai ansharut thaghut.

Ia lantas dipindahkan ke Lapas lain. Di tempat baru, sikapnya perlahan berubah ketika petugas memerlakukannya dengan tepat. Ia bahkan menegaskan, pahlawan yang sesungguhnya dalam penanggulangan terorisme di sektor hilir adalah para petugas Lapas. Peran mereka sangat penting karena mengayomi, membina dan mendidik setiap hari.

Baca juga Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Banyak fakta yang membuktikan keberhasilan petugas dalam membina WBP terorisme. Contoh lain adalah Kurnia Widodo. Kurnia cukup lama bergelut dengan kelompok ekstrem sampai terlibat aksi teror yang mengharuskannya menjalani hukuman.

Perubahan Kurnia mulai terjadi ketika di Lapas. Berawal dari konflik pemikiran dengan teman-temannya sesama WBP terorisme, ia melihat akhlak teman-temannya tidak mencerminkan seorang muslim yang baik. Sampai pada masa ia mendapat tindak kekerasan dari temannya hanya karena berbeda pemahaman. Sebaliknya ia mendapat perlakukan baik dari petugas.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Fakta di atas membuktikan, kombinasi perubahan dari dalam diri sendiri (self correction) secara ideologis dengan pembinaan persuasif dari petugas menghasilkan dampak positif. Perlakukan baik petugas Lapas menjadi bukti kesalahan pemikiran ekstremis tentang status negatif yang disematkan kepada aparat negara.

Memang sudah seharusnya Lapas bukan hanya tempat pelaku menerima sanksi, tapi menjadi sistem untuk mengubah warga binaan agar tak lagi melakukan perbuatannya yang dahulu. Lapas harus sesuai dengan fungsinya sebagai pengayom.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 2-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *