12/07/2021

Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Oleh Ahmad Hifni
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu ajaran paling fundamental dalam Islam adalah anjuran untuk berhijrah, yaitu perubahan jati diri seseorang untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sejatinya, seluruh aspek kehidupan manusia di alam ini adalah semata-mata dalam rangka menunaikan sunnatullah (ketetapan Allah) bernama “hijrah”. Saking pentingnya, hijrah diabadikan sebagai sistem penanggalan Islam yang disebut dengan kalender hijriah.

Dalam bahasa yang lebih mudah, hijrah bisa dirangkai ke dalam sebuah idiom min al-dzulumati ila al-nur, yaitu dari kegelapan menuju cahaya. Makna itu selaras dengan misi mulia Nabi Muhammad Saw yang diutus di muka bumi ini tak lain untuk membimbing dan membawa umat manusia dari peradaban jahiliyah menuju peradaban islamiyah. Berdasarkan pengertian itu, hijrah sejatinya menjadi bagian dari gerak realitas positif seluruh aspek kehidupan ini.

Hijrahnya Nabi

Secara bahasa, hijrah barasal dari kata hajara-yahjuru-hajaran, yang bermakna memutuskan dan meninggalkan. Secara istilah hijrah berarti seseorang yang meninggalkan, baik secara fisik, maupun perkatan dan hati segala gerak realitas kehidupannya yang negatif. Dalam konteks sejarah Islam, hijrah dimaknai dengan perpindahan Nabi Muhammad Saw dari kota Makkah menuju kota Madinah karena adanya ancaman dari suku Musyrik Quraisy yang menentang dakwah Nabi ketika itu.

Nabi melakukan hijrah bersama kaum Muhajirin dari Makkah menuju Yatsrib (Madinah) untuk mengembangkan dakwah Islam yang lebih mendukung, aman, dan memungkinkan untuk mewujudkan komunitas sosial yang adil dan damai. Hijrah di sini dimaknai sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain secara fisik. Namun, setelah peristiwa penaklukan Makkah (fathu makkah) pada Januari 630 M, sejumlah ulama mengatakan tidak ada lagi makna hijrah dalam arti fisik. Hijrah lebih dimaknai sebagai peralihan dari moralitas yang buruk (akhlaq al-madzmumah) menuju budi pekerti yang luhur (al-akhlaq al-karimah).

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Dalam proses hijrahnya, Nabi Saw mengubah nama kota Yatsrib menjadi madinah al-rasul yang bermakna “Kota Rasulullah”. Perubahan nama kota itu bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah kesaksian (syahadah) untuk mewujudkan sebuah sistem masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Bersama umat kepercayaan lain dan suku-suku Arab di Madinah, Nabi membuat konsensus bersama bernama Piagam Madinah (mitsaq al-madinah) untuk menegaskan persamaan kemanusiaan, menghargai keyakinan masing-masing dan menebar perdamaian.

Itulah misi hijrah yang ditekankan nabi, yaitu mengubah suatu struktur tatanan masyarakat yang tidak terbuka dan otoriter (jahiliyah), menuju pemufakatan bersama dan demokratis (islamiyah). Nabi juga merombak sistem perekonomian yang dikuasasi oleh sekelompok konglomerat tertentu menuju perekonomian yang berpihak pada kesejahteraan bersama. Puncaknya Nabi membangun struktur masyarakat madani, yaitu ummat yang saling menghargai perbedaan latar belakang dan keyakinan masing-masing di kalangan masyarakat Arab.

Disalahpahami

Sayangnya, makna hijrah sendiri kerapkali disalahpahami sebagai anjuran dan kewajiban umat Islam untuk hijrah ke negeri Syam (Irak dan Suriah), terutama oleh kelompok yang mengatasnamakan Islamic State (IS). Ajaran ini malahan menjadi salah satu doktrin yang paling ditekankan untuk merekrut anggota baru. Mereka meyakini agama Islam menganjurkan umatnya untuk hijrah ke negeri Syam sebagai negeri terbaik dan negeri yang mampu menyelamatkan umat Islam dari kehancuran. Secara politik, IS menggunakan justifikasi agama ini agar umat Islam hijrah menuju wilayah kekuasaan mereka.

Doktrin ini disebarluaskan secara massif terutama di media sosial. Sejumlah kasus bergabungnya seseorang ke dalam kelompok IS dilaporkan karena terpengaruh oleh doktrin-doktrin tersebut di media sosial. Yang paling memprihatinkan, generasi muda menjadi pihak yang paling menjadi target sasaran. Terlebih, kecenderungan pemuda masa kini tak bisa lepas dari media sosial. Bila tidak diikuti dengan literasi dan pengetahuan agama yang luas, generasi muda cukup rentan terpapar doktrin anjuran hijrah ke negeri Syam.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 2-Terakhir)

Sebenarnya, hijrah yang diajarkan Nabi di masa lalu bukanlah untuk kekerasan. Hijrah yang diajarkan Nabi identik dan lebih pada aspek kenyamanan dan keamanan dalam beribadah. Bila umat Islam sudah aman dan tidak mendapatkan ancaman dari pihak mana pun, termasuk dari pemerintah, mestinya umat Islam tidak perlu melakukan hijrah. Merujuk pada kisah hijrahnya Nabi Muhammad Saw, beliau beserta para sahabatnya hijrah karena tidak leluasa dalam berdakwah dan beribadah serta mendapatkan ancaman nyata dari kelompok kafir Quraisy di Makkah.

Oleh karena itu, hijrah yang diajarkan Nabi harus dipahami berdasarkan konteksnya, yaitu keamanan dan kenyamanan dalam berdakwah dan beribadah. Orang yang tidak terancam dan aman dalam beragama, seharusnya tidak lantas terbuai dengan doktrin dan ajakan-ajakan untuk berhijrah dalam arti fisik. Apalagi pada masa kini, umat Islam di Indonesia dapat dengan nyaman dan khidmat dalam menjalankan kewajiban agamanya. Tak ada peristiwa dan ancaman yang berarti yang dapat menjadi hambatan terhadap keberagamaan umat Islam.

Hijrah Sejati

Maka dari itu, kerangka dan spirit hijrah Nabi harus kita maknai dalam tindakan yang positif dalam konteks apapun, tidak harus berpindah ke wilayah tertentu. Dalam konteks pribadi misalnya, hijrah bisa digunakan sebagai pembingkai untuk memperbaiki diri dari segala sikap dan perilaku yang selama ini keliru serta menjadi individu yang terus menempa diri dengan kebaikan. Tentu saja sebagai elemen terkecil dalam masyarakat, perbaikan individu tidak bisa diremehkan, karena berawal dari hal-hal kecil, akan lahir tatanan kebaikan sosial yang lebih besar.

Kisah pertobatan mantan pelaku terorisme adalah contoh betapa mereka yang pernah melakukan tindakan kejahatan di masa lalu kemudian memilih hijrah dari jalan kekerasan menuju jalan perdamaian. Mereka yang telah insaf merevisi pandangan-pandangan yang selama ini diyakini kebenarannya, bahwa ternyata ideologi kekerasan seperti itu keliru. Pandangan-pandangan yang terbukti salah dalam konteks pribadi seperti meyakini bahwa jalan kekerasan -termasuk dengan cara melakukan bom bunuh diri- adalah anjuran agama, ternyata tidaklah benar, malahan tidak ada agama apa pun di dunia ini yang menganjurkan umatnya untuk membuat kerusakan.

Baca juga Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka: Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin

Mereka tidak sekadar insaf dan kembali pada fitrah kemanusiaannya. Lebih dari itu, mereka berbalik menjadi juru damai untuk masyarakat dan generasi muda agar tidak sampai mengikuti jejak mereka di masa lalunya. Mereka tidak ingin ada lagi darah korban yang tumpah akibat aksi-aksi kekerasan terorisme yang mereka lakukan. “Ternyata yang telah saya lakukan salah besar. Orang-orang ini (korban) tak tahu apa-apa tapi malah menjadi korban,” kata Kurnia Widodo, salah seorang mantan pelaku terorisme yang telah insaf.

Begitu halnya dengan jalan hijrah yang ditempuh para korban terorisme (penyintas). Pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendampingi kebangkitan para korban terorisme cukup menggembirakan dan membanggakan. Meski para penyintas harus rela dengan segala luka fisik dan psikis yang dideritanya, mereka mampu menunjukkan kegigihan untuk bangkit dari keterpurukan. Kisah korban layak menjadi sumber inspirasi semangat pantang menyerah dan ketangguhan.

Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial

Mereka memilih hijrah dari rasa pesimisme dan keterpurukan menuju optimisme dan kebangkitan. Mereka berhijrah dari dendam dan kebencian, menuju pemaafan dan keikhlasan. Kelapangan hati mereka tak jarang membuat mantan pelakunya makin yakin untuk bertobat. “Bagaimana mungkin orang yang menderita sebegitu besar, dengan mudahnya memaafkan kami?,” Kata Choirul Ihwan, pelaku terorisme yang mengenang kesan pertamanya saat dipertemukan dengan korban.

Para penyintas itu sejatinya telah berhijrah untuk memulai hidup baru tanpa perasaan yang mengganjal di hati. Ibarat sebuah kertas, lembaran baru yang dibuka penyintas putih bersih tanpa noda. Para penyintas terorisme bahkan menganggap kejadian teror yang telah menimpa mereka sebagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah yang Maha Kuasa. Karena itu, mereka memilih ikhlas dan sebagian mereka menganggap para mantan pelaku teror juga sebagai korban dari pandangan keagamaan yang keliru.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

‘Ala kulli hal, konsep hijrah Nabi Muhammad Saw di masa lalu sesungguhnya mengandung pelajaran berharga (ibrah) bahwa selayaknya kita memaknai hijrah dalam bingkai perdamaian. Ajaran-ajaran Islam harus kita maknai sebagai ajaran yang transformatif sehingga kita terus mengupayakan perdamaian terwujud dalam kehidupan. Kisah hijrah mantan pelaku terorisme dan korbannya adalah contoh betapa hidup membutuhkan uluran cinta, kasih, dan kedamaian. Kisah mereka menjadi inspirasi kehidupan betapa setiap manusia membutuhkan hijrah untuk mewujudkan perdamaian.

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *