25/08/2021

Dialog Siswa SMA Hang Tuah Makassar dengan Penyintas Bom Bali

Aliansi Indonesia Damai- Bukan hal mudah kehilangan sosok terkasih untuk selamanya. Terlebih jika dia adalah pasangan hidup yang sangat dicintai. Kesedihan panjang tak terelakkan. Demikian yang pernah dirasakan oleh Raden Supriyo Laksono, penyintas Bom Bali 2002.

Menjelang tengah malam pada pertengahan Oktober 2002, Soni, sapan akrab Raden Supriyo Laksono, tengah menjalankan tugas sebagai supervisor senior salah satu hotel di kawasan Jalan Legian, Kuta, Bali. Tiba-tiba listrik padam berbarengan dengan suara ledakan yang sangat keras. Karena panik, ia terkena serpihan asbes dan besi panas yang melukai mata dan betisnya. Setelah mengevakuasi semua tamu hotel, ia menelepon kantor di mana istrinya bekerja. Hasilnya nihil.

Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Makassar (Bag. 1)

Berminggu-minggu Soni berusaha mencari keberadaan istrinya, Lilis Puspita, di semua rumah sakit rujukan korban ledakan bom. Namun tak kunjung ia temukan. Setelah 3 bulan berlalu, barulah jasad sang istri berhasil diidentifikasi. Perasaan kehilangan dan trauma yang mendalam sempat membuatnya terpuruk. Bahkan 3,5 tahun setelahnya ia tidak mau makan sate sama sekali. Karena menyerupai jasad-jasad yang terbakar akibat dahsyatnya bom waktu itu.

Hal terberat baginya adalah menjelaskan kepada kedua anaknya yang kala itu masih balita terkait status ibunya yang meninggal dunia akibat pengeboman. “Saya hanya bisa menjadi ayah untuk dua anak saya. Saya tidak bisa sekaligus menjadi Ibu,” ujarnya di hadapan 55 siswa SMA Hang Tuah Makassar dalam Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang dilaksanakan AIDA, awal Agustus lalu.

Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Makassar (Bag. 2-Terakhir)

Usai mendengar kisah Soni, salah seorang peserta menanyakan faktor yang mendukung kebangkitan Soni usai musibah yang menimpanya?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Soni mengatakan, ada beberapa hal yang mendukungnya untuk kuat menjalani takdir ini. Salah satunya yaitu berkumpul dengan teman-teman sesama korban Bom Bali 2002.

“Saya pada waktu itu berkumpul dan membentuk Isana. Awalnya beranggotakan 21 orang. Komunitas ini terbentuk untuk kumpul, urun rembuk sebagai sesama korban. Di sini kita saling sharing menguatkan, ngilangin trauma. Menjadi seperti keluarga, dan sekarang lebih banyak lagi anggotanya,” ujarnya.

Baca juga Pesan Damai Siswa SMAN 22 Makassar

Selain berkumpul dengan sesama korban, untuk menyembuhkan traumanya, Soni juga rutin melakukan konseling. “Kalau kita belum bisa ngilangin trauma, gak mungkin kita bisa menolong orang lain,” ucapnya menambahkan.

Salah seorang  peserta mengaku bersyukur dan berterima kasih mendapatkan kesempatan mengikuti kegiatan ini, karena bisa mendapatkan pembelajaran berharga. “Dari kisah Pak Soni, saya mengambil pembelajaran tentang ikhlas dan kuat menghadapi trauma. Serta senantiasa bersyukur bahwa pasti masih banyak orang baik di sekitar kita yang akan terus menyemangati dan menguatkan kita,” katanya.

Baca juga Semangat Ketangguhan dari SMKN 4 Makassar

Sementara peserta lain mengaku salut kepada Soni karena telah berhasil melewati masa-masa trauma yang menyakitkan dan bangkit kembali menjalani aktivitas sehari-hari.

“Kehilangan orang tersayang adalah hal yang sangat menyedihkan. Namun Bapak kuat menghadapi semua itu. Saya salut Pak Soni dapat keluar dari trauma dan bisa menerima kenyataan dari apa yang telah terjadi,” ucap peserta di sesi akhir kegiatan. [FL]

Baca juga Dialog Mantan Napiter dengan Siswa SMAN 1 Makassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *