30/08/2021

Ketika Penjara Justru Membuat Mantan Teroris Menjadi Lebih Ekstrem

Oleh Ahmad Hifni
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ketertarikan seseorang untuk bergabung dengan jaringan/kelompok ekstrem memiliki beragam alasan. Ada yang masuk lantaran diajak oleh teman, guru, atau bahkan keluarganya sendiri. Namun sebagian yang lain memilih jalan kekerasan karena ingin membela agama dan umat Islam yang dianggap terzalimi. Salah satu mantan pelaku teror yang bergabung karena alasan terakhir adalah Mukhtar Khairi. Ia sangat yakin umat Islam di berbagai dunia tengah dizalimi dan mendapatkan perlakuan tidak adil. Tak ada pilihan lain kecuali melawan ketidakadilan dengan aksi-aksi kekerasan.

Mukhtar sebenarnya termasuk sosok pembelajar yang tekun, memiliki minat baca tinggi, dan berasal dari keluarga terdidik. Sejak kecil ia telah akrab dengan buku-buku karena ayahnya adalah pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Menurut penuturannya, ia kerap menjumpai buku-buku babon di lemari sang ayah, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Arab. Dalam kesempatan bertemu penulis, ia mengaku sangat mengagumi buku Ihya’ ‘Ulumuddin, sebuah kitab monumental karya ulama terkemuka Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (populer dengan Imam Ghazali).

Baca juga Beban Berlapis Korban Terorisme

Mukhtar tumbuh besar dalam tradisi dan kultur dua ormas keagamaan arus utama di Indonesia. Ayahnya berasal dari kultur Nahdlatul Ulama, sementara ibunya adalah pengikut Muhammadiyah. Ia hidup di dalam keluarga besar yang harmonis. Tak jarang tiap pekan keluarganya menggelar acara rekreasi bersama untuk mempererat persaudaraannya. Akan tetapi, semenjak ibunya meninggal dunia, masing-masing keluarga dan kerabatnya mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Sejak itulah ia merasa hidup dalam kesendirian dan kesepian.

Pada saat memasuki jenjang sekolah SMA, Mukhtar berkenalan dengan kakak kelasnya yang gemar mengikuti pengajian-pengajian. Semakin hari mereka makin akrab sampai Mukhtar diajak untuk bergabung dengan pengajian tersebut. Siapa sangka ternyata pengajian itu cenderung eksklusif. Bukannya mendapatkan materi keagamaan, Mukhtar malah diajarkan tentang politik keagamaan dan kondisi umat Islam di dunia yang tengah tertindas.

Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan

Sebagai umat Islam, Mukhtar merasa mempunyai tanggungjawab moral kepada saudara seiman untuk melawan kezaliman-kezaliman itu. Di kelompok pengajian itu ia banyak mendapatkan doktrin tentang kewajiban seorang muslim untuk membebaskan umat Islam dari kezaliman. Perlahan-lahan Mukhtar merasa tergugah untuk memperjuangkan ketidakadilan sebagai bentuk semangat ukhuwah Islamiyah. Mulai saat itu pula ia penasaran membaca buku-buku jihad dan kerapkali mencari literatur yang membenarkan jihad kekerasan sebagai kewajiban umat Islam.

Di samping itu ia sering menonton video dokumenter tentang peperangan yang mengatasnamakan jihad. Ia juga mulai gemar menonton ceramah-ceramah Syaikh Abdullah Azzam, salah satu pimpinan kelompok jihadis yang menyerukan umat Islam untuk berjihad ke Afghanistan melawan invasi militer Uni Soviet (Rusia). Mukhtar seolah menemukan keluarga baru di pengajian eksklusif tersebut dan merasa mendapatkan asupan keimanan, atau apa yang disebut oleh teman-temannya sebagai charger iman. Semakin hari Mukhtar makin yakin bahwa umat Islam tengah dizalimi di berbagai wilayah di dunia, termasuk di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.

Baca juga Menggelorakan Ketangguhan

Dalam pandangan Mukhtar, seharusnya umat Islam Indonesia berjihad melawan kezaliman yang menimpa saudara seagamanya, seperti di Afghanistan dan Palestina. Ia pun mulai membenci pemerintah dan aparat negara sendiri. Ketika menonton pemberitaan televisi tentang Satpol PP yang seringkali menggusur pedagang kaki lima misalnya, ia menilai tindakan itu sebagai kezaliman nyata terhadap umat Islam. Di masa itu, Mukhtar mengalami perubahan pemikiran yang luar biasa dan bahkan cara berpakaiannya juga mulai berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Selain itu ia membatasi diri berkumpul dengan keluarganya.

Pelatihan militer

Usai mengubah penampilannya, ketertarikannya pada jaringan ekstremis kian menguat. Tak hanya intensif mengikuti pengajian eksklusif, ia juga bergabung dengan kelompok yang akan menggelar pelatihan militer untuk persiapan jihad. Dia belajar tentang teori dan keterampilan militer. Di sana ia dianggap sosok yang gigih dan tekun sehingga terpilih menjadi kader yang akan diberangkatkan ke wilayah Aceh. Sebenarnya ia tidak ingin terlibat jihad di Aceh dan lebih berminat untuk jihad ke Afghanistan atau Palestina, namun karena instruksi pemimpin kelompoknya, Mukhtar tetap diberangkatkan mengikuti pelatihan di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar.

Setibanya di Aceh tak butuh waktu lama, Mukhtar langsung belajar merakit bom, mengoperasikan senjata laras panjang dan pendek, serta mengikuti pengajian rutin seorang tokoh kelompok teror bernama Dul Matin. Ia mendapatkan materi-materi jihad dan penyemangat perjuangan. Semakin hari Mukhtar merasa makin nyaman bahkan mulai melupakan keluarganya. Keluarganya pun tidak pernah tahu bahwa Mukhtar telah bergabung dengan kelompok ekstrem. Kepada orang tua dan istri sendiri ia meminta izin untuk bekerja di luar pulau Jawa.

Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”

Selain mengikuti pelatihan militer di Aceh, ia juga mencari orang-orang yang tertarik pada organisasi Negara Islam Indonesia (NII) untuk diajak bergabung dengan kelompoknya. Selain itu ia mengurusi kebutuhan logistik teman-temannya di pelatihan militer dan berusaha mencari hubungan dengan orang-orang yang hendak hijrah dan berjihad ke Afghanistan. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman dan beberapa kali mencoba agar dikirim ke Afghanistan, namun mimpi untuk berjihad menuju negara konflik tak pernah tercapai.

Setelah beberapa waktu, Mukhtar mulai merasa dibohongi karena tidak mendapatkan ilmu jihad yang diharapkan. Malahan di Aceh ia justru bertemu dengan lintas organisasi ekstrem yang tidak ia kenal sebelumnya. Terlebih setelah mengetahui bahwa target serangan dan perampokan kelompoknya adalah Markas Polsek dan toko-toko emas. Akibatnya, saat Mukhtar turun dari pegunungan, ia seringkali dikejar-kejar aparat keamanan. Ia pernah menyandera salah seorang anggota polisi, serta menyita dokumen dan senjata miliknya lantaran dalam kondisi terdesak.

Baca juga Menghargai Kearifan Budaya

Karena tragedi tersebut, polisi mengejar Mukhtar dan kelompoknya sampai ke hutan. Ia sempat tak bisa makan secara pasti selama tiga minggu sehingga harus memburu rusa untuk makanan sehari-hari. Pernah terjadi baku tembak yang mencekam antara polisi dengan kelompoknya. Sebagian teman Mukhtar meninggal dunia, sehingga kehidupan Mukhtar mulai berantakan dan tidak aman. Saatnya juga tiba, Mukhtar kehabisan logistik baik dari segi persenjataan maupun makanan. Ia pun tertangkap pada bulan Maret tahun 2010 dan harus menjalani hukuman penjara selama lima tahun. 

Makin ekstrem

Dinginnya jeruji besi tak lantas membuat Mukhtar Khairi ciut nyali. Ideologinya malah kian menguat. Pasalnya Mukhtar menghuni blok yang diisi oleh beberapa narapidana terorisme yang ideologinya sangat ekstrem. Dalam perkembangannya, beberapa orang rekan bloknya itu berbaiat dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok tersebut masyhur memiliki pemahaman dan tindakan yang sangat ekstrem, termasuk aksi-aksi pengeboman.

Mukhtar sempat mendekam di Rutan Polda Metro Jaya sebelum dipindahkan ke Lapas Cipinang. Di kedua tempat itu, ia berada satu blok bersama Aman Abdurrahman, tokoh jihadis yang dituding berada di balik beberapa aksi terorisme mutakhir di Indonesia. Aman rajin menyebarkan ajaran tokoh-tokoh ekstremis termasuk kepada Mukhtar sehingga ia mengenal doktrin baru jihad ala ISIS. Ia juga mengenal jenis-jenis senjata baru, termasuk cara merakitnya serta cara membaca peta konflik. Ia bahkan belajar teori merakit bom dan taktik infantri. Oleh Aman, Mukhtar dikader untuk menjadi pemimpin bagi narapidana terorisme (Napiter) lainnya.

Baca juga Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Mukhtar dianggap layak menjadi salah satu pemimpin ISIS karena memiliki pengetahuan agama yang lebih mendalam dibanding sejumlah napiter lainnya. Karena itu Mukhtar diminta oleh Aman memberikan pengajian kepada para ikhwan di dalam penjara. Tak jarang Mukhtar diminta menjadi imam shalat menggantikannya. Mukhtar pun rutin mengajari Napi lain untuk membaca al-Quran, bahkan memberikan ceramah agama kepada para ikhwan. “Di penjara saya jadinya lebih ekstrem,” terang Mukhtar dalam salah satu kegiatan AIDA.

Di dalam jeruji, sebenarnya napiter terbelah dua. Ada yang mendukung pemikiran ekstrem ala ISIS, namun ada pula yang menolak lantaran dinilai terlalu berlebihan (ghuluw). Interaksi intensif dengan Aman menjadikan Mukhtar masuk dalam kelompok pertama.Sikap Mukhtar berubah drastis. Tidak hanya menganggap negara berlaku zalim terhadap umat Islam, akan tetapi ia lantas berani mengkafirkan para pemimpin lembaga-lembaga negara. Bahkan kedua orang tua dan saudara-saudaranya sendiri ia kafirkan lantaran dinilai mengakui keberadaan negara thaghut. Saat itu Mukhtar sudah enggan mendoakan orang tuanya, terutama ibunya yang telah meninggal dunia sebab meragukan keislaman mereka.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Mukhtar mengkafir-kafirkan ayahnya lantaran mengajar di Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, dianggap sebagai pemimpin partai nasionalis yang dalam pandangan Mukhtar merupakan partai kafir. Seseorang yang mengajar di lembaga kafir maka orang tersebut termasuk golongan kafir. Mukhtar pun mulai meremehkan orang lain yang tidak segolongan dengannya. Ia merasa paling benar dan paling baik, sementara orang dan kelompok lain salah. Pandangan takfiri ala ISIS menancap kuat di dalam benaknya.

Berpikir kritis

Keyakinan Mukhtar Khairi terhadap ideologi kekerasan yang diajarkan Aman Abdurrahman perlahan meluntur menjelang kebebasannya. Ia sempat begitu yakin bahwa jihad dengan cara pengeboman adalah ajaran Islam. Karenanya sebagai muslim wajib membalas kezaliman yang menimpa umat Islam di belahan bumi manapun. Pada tahun 2014, sekira setahun menjelang kebebasannya, ia mulai menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam ideologinya.

Hal itu dipicu oleh fakta bahwa aksi-aksi kekerasan banyak melukai orang-orang tak bersalah, bahkan menghilangkan nyawa, termasuk nyawa sesama umat Islam. Ia pun secara diam-diam mengikuti pengajian yang diampu ustadz di luar kelompoknya. Muncul wawasan keislaman lain yang berbeda dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang disampaikan Aman. “Awal kejanggalannya saya ngerasa kok kelompok ini jadi terkesan suka membunuh orang. Lalu saya diam-diam ikut pengajian ustadz lain, di situ saya perlahan meninggalkan kelompok lama,” ujar Mukhtar.

Baca juga Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka: Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin

Selain itu Mukhtar juga mengikuti kegiatan-kegiatan positif yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun organisasi non-pemerintah di Lapas. Dari situ perlahan-lahan Mukhtar mulai terbuka terhadap pandangan kelompok lain. Ia pun semakin yakin bahwa agama Islam tidak mungkin memerintahkan umatnya untuk membunuh orang lain, apalagi dengan cara-cara yang keji. “Tadinya saya ngefans, tapi saya melihat kelompok ini gemar sekali membunuh orang lain dengan cara yang sadis. Saya berpikir, apa ya Islam seperti ini?” ungkap pria berusia 36 tahun tersebut.

Sikap itu bukan tidak menimbulkan risiko. Semenjak Mukhtar mulai meninggalkan kelompoknya, ia dijauhi dan di-tahdzir (ditegur) oleh rekan-rekannya. Bahkan Mukhtar menjadi salah satu orang yang mendapatkan pengawasan dan perhatian khusus lantaran dianggap membangkang. Ia tak lagi dipercaya sebagai bagian dari kelompok ekstrem.

Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial

Semenjak itu, Mukhtar merasa bersalah karena pernah meyakini kebenaran ajaran-ajaran ekstrem, seperti tidak mau menjawab ucapan salam dari orang lain karena meragukan keislamannya, serta menolak shalat berjamaah dengan orang-orang di luar kelompoknya. Ia pun menyesal karena selama beberapa tahun telah bersikap eksklusif, sombong, dan merasa paling benar sedangkan yang lain salah. Hal yang paling disesalinya adalah pernah mengkafirkan kedua orang tuanya sendiri.

Kembali ke fitrah

Mukhtar merasa sangat berdosa kepada keluarganya, terutama kepada anak, istri dan kedua orang tuanya. Akibat perbuatannya, keluarga Mukhtar tak luput dari perundungan masyarakat secara verbal. Tak hanya diri Mukhtar yang harus menanggung dampak hukum atas perbuatannya, orang-orang tercintanya juga kecipratan dampak negatif perbuatannya. Karena itu ia ingin memperbaiki segalanya dengan cara bertobat dan membangun masa depan dari awal.

Ia bebas dari Lapas Cipinang pada tahun 2015. Awalnya ia mengalami kegalauan dan kebingungan yang luar biasa. Ia khawatir masyarakat tidak akan menerimanya kembali. Ia juga merasa tak tahu akan beraktivitas di mana dan bekerja apa untuk menafkahi keluarganya. Kendati demikian, seiring berjalannya waktu ia mulai beradaptasi dan bersosialisasi kembali dengan warga kampung halamannya. Ternyata ia masih diterima dengan baik, bahkan tak jarang diminta untuk menjadi imam shalat dan mengajar ilmu-ilmu agama.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Berbeda dengan pemikirannya dahulu, kini Mukhtar mantap meninggalkan ajaran dan kelompok ekstrem. Ia menyadari bahwa paham ekstremisme dan tindakan yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, malahan akan menimbulkan masalah yang baru. Apalagi ketika AIDA mempertemukannya dengan sejumlah korban bom. Mukhtar mendengarkan secara langsung cerita-cerita dari korban tentang penderitaan hidup yang dialaminya. Mukhtar merasa menyesal dan makin mantap meninggalkan kelompok lamanya.

Saat ini Mukhtar adalah seorang aktivis perdamaian, dan mengabdikan diri sebagai guru agama di sebuah yayasan pendidikan di Jakarta. Ia juga mengajar privat tahfidz al-Quran setiap akhir pekan, kadang-kadang juga diminta oleh instansi pemerintah untuk berbagi kisah hidupnya dalam beberapa kegiatan. Untuk menyalurkan minat bacanya, Mukhtar juga bergabung dengan komunitas Rumah Daulat Buku. Selain itu, Mukhtar bergabung bersama AIDA untuk mengampanyekan perdamaian bagi kalangan muda dan masyarakat luas.

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Ia mengaku melakukan itu semua sebagai bentuk pertobatan. “Ini merupakan salah satu upaya saya untuk menembus kesalahan di masa lalu,” ungkapnya. Mukhtar tak lagi memahami jihad sebagai ajaran untuk berperang atau melakukan aksi kekerasan secara serampangan. Di hadapan ratusan mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang beberapa waktu lalu, dengan lantang ia mengatakan, “Jihad itu tidak hanya perang, tetapi mencari ridha Allah dengan mencari ilmu, mengajak orang menerima Islam dengan cara damai, dan bukan dengan cara-cara kekerasan.”

Baca juga Terapi Pemaafan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *