21/08/2021

Beban Berlapis Korban Terorisme

Oleh Ahmad Hifni
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 21 Agustus sebagai Hari Peringatan dan Penghormatan Internasional kepada Korban Terorisme. Momen ini menjadi pengingat sekaligus kehadiran kita untuk mendukung para korban dan penyintas terorisme di Indonesia.

Kita tahu, terorisme masih menjadi ancaman serius bagi keamanan masyarakat dan kedaulatan sebuah negara. Di tengah pandemi Covid-19 aksi-aksi terorisme pun masih terus terjadi. Tindakan kekerasan itu menyasar siapa saja sehingga siapa pun berpotensi menjadi korban. Rumusnya, di mana ada aksi terorisme di situlah korban berjatuhan secara acak.

Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan

Para korban pun harus mengalami beban berlapis. Selain kesedihan mendalam akibat ditinggal oleh orang-orang terkasihnya, para korban juga mengalami beban psikis, fisik, ekonomi sampai ketidakadilan hukum. Sebagian korban harus mengalami disabilitas seumur hidup, anak-anak menjadi yatim/piatu, pemuda kehilangan mimpi dan masa depannya, perempuan menjadi single parent dan tulang punggung bagi keluarganya. Sementara korban lain kehilangan pekerjaan karena luka fisik dan keterbatasan keadaan.

Secara umum tindakan terorisme di Indonesia menimpa korban yang tidak tahu menahu dan tidak terkait dengan sasaran yang dituju oleh pelakunya. Mereka ada yang sedang bekerja atau hanya sekadar lewat di sekitar lokasi kejadian. Mereka sesungguhnya korban yang kebetulan terdampak atas serangan yang sebenarnya ditujukan kepada negara. Maka jaminan negara untuk melindungi korban dan memenuhi hak-haknya seharusnya menjadi keniscayaan.

Baca juga Menggelorakan Ketangguhan

Namun demikian, dalam kondisi sosial politik dan budaya kita yang belum sepenuhnya berperspektif korban, sebaliknya cenderung fokus terhadap pelakunya, acapkali nasib para korban menjadi terabaikan. Bantuan medis dan santunan mengalir di awal-awal kejadian, tetapi setelah kejadian itu berlalu banyak pihak kemudian lepas tangan. Akibatnya para korban tidak hanya menderita secara mental dan fisik, tetapi juga kehilangan kepedulian moral sosial untuk sementara waktu dan bahkan selamanya.

Pengalaman penulis bertemu dengan sejumlah korban menunjukkan sisi keprihatinan yang sangat mendalam. Secara psikologis mereka dihadapkan pada rasa trauma yang luar biasa. Tingkat emosional mereka labil ketika melihat kekurangan yang dideritanya. Rasa takut dan phobia yang berlebihan ketika melewati lokasi kejadian atau mendengar suara-suara ledakan, sampai perasaan shock, depresi berat dan putus asa lantaran tak kuasa melihat kenyataan yang ada. Sebagian ada yang mengalami rasa kurang percaya diri melihat kondisi fisik yang sudah tak normal lagi.

Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”

Kondisi korban yang masih rawan akan hal-hal sensitif itu diperparah dengan memburuknya kondisi ekonomi mereka. Para korban banyak sekali yang kehilangan pekerjaan sehingga berdampak pada penghasilan yang didapat. Bagi korban tak langsung, mereka mesti menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga mereka menjadi bagian dari korban ledakan sehingga mengalami kesulitan ekonomi karena ditinggal tulang punggung keluarganya.

Penderitaan yang lebih nyata ketika berdampak secara fisik. Mereka menjadi disabilitas seumur hidup dan kehilangan bagian anggota tubuhnya. Ini tentu tidak mudah. Tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya dipermasalahkan oleh pelakunya, para korban justru menanggung penderitaan yang setiap orang pastinya tak gampang menerimanya. Penurunan fungsi fisik para korban, pada sisi tertentu memang mengundang iba. Namun yang lebih memprihatinkan, keterbatasan fisik itu terkadang menjadi batasan bagi orang lain untuk memberikan peluang, berkurangnya dan bahkan hilangnya kesempatan pekerjaan.

Kehadiran negara

Meski begitu kita patut bersyukur. Tahun-tahun terakhir ini, perhatian dan kehadiran negara bagi korban sudah mulai menunjukkan sisi perbaikan. Negara melalui pengesahan PP No 35/2020 sebagai turunan dari UU No 5/2018 mulai mengatur dan memberikan hak-hak kompensasi, bantuan medis, dan rehabilitasi psikososial dan psikologis bagi para korban. Walakin, langkah itu ternyata juga belum cukup. Musababnya, hak kompensasi bagi korban terorisme masa lalu yang diatur dalam PP itu hanya berlaku tiga tahun sejak UU 5/2018 itu disahkan. Itu artinya sudah kadaluarsa sejak bulan Juni 2021 lalu.

Baca juga Menghargai Kearifan Budaya

Padahal para korban yang belum mendapatkan hak-haknya masih tergolong banyak. Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), korban yang sudah mendapatkan hak kompensasi baru sebanyak 227 orang dan 413 korban lainnya masih dalam proses pemberkasan oleh LPSK. Tentu saja batasan dari PP itu akan menjadi hambatan bagi para korban yang belum sempat mengajukan hak kompensasi, hatta berpotensi menimbulkan ratusan korban tak memperoleh apa yang seharusnya mereka dapatkan.

Melihat kenyataan ini, pemerintah semestinya memertimbangkan sejauh mana kesadaran hukum dan moral pihak korban untuk memerjuangkan kepentingannya, terutama dari korban golongan lemah dan daerah-daerah terpencil. Dari mereka sulit diharapkan adanya keberanian untuk berusaha menuntut ganti rugi. Mereka merasa tidak mempunyai hak dan malahan tidak mampu mengetahui cara-cara mengajukan hak-haknya. Apalagi ketika merasa akan mendapatkan kesulitan bila mengajukannya.

Baca juga Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Kita tidak ingin melihat korban memilih pasrah dengan nasibnya karena merasa tidak mempunyai pendukung. Terlebih bila korban tidak mengurusnya karena enggan memersulit diri dengan birokrasi yang bertele-tele. Pertimbangan ini sangat penting agar lembaga yang berhubungan dengan korban terorisme dapat mendata lebih luas dan memerhitungkan kembali mereka yang seharusnya mendapatkan hak-haknya. Jangan sampai korban justru mendapatkan bantuan dan perhatian yang signifikan dari pihak lain dibanding oleh negara mereka sendiri sebagaimana terjadi di era lampau.

Maka dari itu, pada momen peringatan hari korban terorisme internasional ini sudah semestinya lahir suatu kesadaran bersama akan hal-hal yang berkaitan dengan hak korban terorisme. Jangan lagi kita melihat korban sebagai sekumpulan angka dan peristiwa yang lewat begitu saja. Hingga sebagian besar kita malah lupa terhadap segala penderitaan para korban hingga mereka harus menanggung segala dampaknya sendiri.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *