02/11/2021

Jihad dengan Ilmu

Aliansi Indonesia Damai- Jihad seringkali dipahami oleh kelompok ekstrem sekadar sebagai berperang di jalan agama. Padahal makna jihad dalam Islam lebih dari itu. Jihad adalah segala perbuatan baik yang dapat memberikan manfaat bagi keluarga, masyarakat, agama, dan bahkan negara bangsa. Menimba ilmu sedalam-dalamnya termasuk makna jihad yang lebih baik daripada berperang dengan kekerasan.

Demikian pernyataan yang disampaikan Pembina Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar, Ustaz Bukhari Muslim, saat menjadi narasumber dalam Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, beberapa waktu lalu. Kegiatan digelar oleh AIDA bekerja sama dengan  Pondok Pesantren An-Nahdlah secara daring.

Baca juga Ibroh dari Penyintas Bom: Tak Ada Kejadian di Luar Takdir

Bukhari menegaskan bahwa konsep jihad yang paling relevan untuk saat ini bukanlah berperang atas nama agama, melainkan dengan memaksimalkan kemajuan-kemajuan yang ada untuk ilmu pengetahuan. 

“Jihad dengan cara mengangkat pedang harus dikaji lebih mendalam lagi. Untuk saat ini jihad yang mesti kita lakukan adalah dengan cara menjadi orang yang bermanfaat dengan ilmu,” tutur alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama yang digelar AIDA beberapa bulan lalu itu.

Baca juga Saat Mantan Napiter Berkisah Perjalanan Hidupnya

Saat menanggapi salah satu pertanyaan peserta tentang makna kafir, ia menjelaskan bahwa kafir hakikatnya adalah orang yang menutupi kebenaran. Dalam khazanah fiqih, ada kelompok kafir harbi yaitu kelompok yang menutupi kebenaran Islam dan melakukan penyerangan. Sementara ada juga kafir dzimmi yang mengikat terhadap perjanjian dan hidup dalam perdamaian. “Nabi membawa misi Islam itu untuk orang kafir karena hatinya tertutup dari cahaya Islam,” ucapnya.

Ia lantas menanggapi pertanyaan peserta yang resah karena terorisme acapkali diidentikkan kepada Islam dan umat muslim. Menurut Bukhari, terorisme bukan hanya terjadi dalam tubuh Islam, tetapi juga di agama lain. Di Indonesia pelaku terorisme sebagian besar beragama Islam sehingga banyak orang salah memersepsikan terorisme sebagai bagian dari Islam. Padahal di agama lain juga banyak terjadi fenomena terorisme seperti yang terjadi di Selandia Baru dan Irlandia.

Baca juga Dendam Tak Mengembalikan yang Hilang

“Jenis terorisme di Indonesia problemnya dikaitkan dengan agama. Isi dalil-dalilnya ada Al-Qur’an ada Hadis, sehingga akibatnya mudah diasosiasikan teroris itu Islam. Kalau di negara lain ada yang dari Katolik dan sebagainya,” katanya menerangkan.

Menurut Bukhari, fenomena kekerasan itu mulai terjadi di zaman sejarah Islam awal (masa sahabat Nabi), yaitu ketika muncul kelompok khawarij yang melegitimasi kekerasan atas nama agama. Kelompok ekstrem yang acapkali menggunakan dalil-dalil agama itulah yang saat ini bisa diasumsikan sebagai kelompok Neo-Khawarij.

Baca juga Ekstremisme Rentan di Era Pandemi

Ia kemudian mengajak para tokoh agama untuk tidak salah mengidentifikasi kelompok ekstrem. Dalam pandangannya, kelompok teroris tidak bisa dilihat dari simbol-simbol dan cara pakaian semata, melainkan ideologi mereka. “Tidak menghakimi orang yang memakai cadar, berjenggot, dan celana cingkrang, karena bisa jadi mereka ternyata Jama’ah Tabligh yang memang seperti itu kostumnya,” pungkas pembina PP An-Nahdlah tersebut.

Pondok Pesantren An-Nahdlah merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Agama Islam yang dirintis oleh AG. KH. Muh Harisah AS pada tahun 1982.  Pesantren yang berlokasi di Makassar Sulawesi Selatan itu bekerjasama dengan AIDA untuk menyuarakan perdamaian bagi masyarakat luas. [AH]

Baca juga Dialog Mahasiswa UHO Kendari dengan Ahli Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *