01/11/2021

Urgensi Ukhuwwah dan Bahaya Perpecahan

Indonesia merupakan salah satu negara besar dengan kemajemukan yang sangat tinggi.  Bermacam ras, suku, dan agama menjadi kekayaan bangsa ini. Termasuk di dalamnya adalah umat Islam sebagai mayoritas. Komunitas dan organisasi Islam pun secara kuantitas sangat banyak. Kemajemukan ini harus disyukuri dengan cara menjaga persaudaraan (ukhuwwah).

Meski fakta di lapangan, ada sebagian kelompok Islam yang bersikap eksklusif, menganggap kelompok lain sesat, menolak mengucapkan salam, bahkan yang lebih memprihatinkan enggan melakukan shalat bersama dengan kelompok yang berbeda. Pangkal persoalannya adalah karena perbedaan pendapat dalam beberapa masalah keagamaan.

Baca juga Mengimani Takdir

Dalam sejarah Islam, perpecahan merupakan masalah klasik, yang juga menjadi perhatian para ulama terdahulu. Idealnya umat Islam dengan berbagai macam kelompok dan pemikiran tetap bisa menjalin ukhuwwah walau berbeda pendapat dan pemahaman.

Ukhuwwah dalam perspektif Islam

Dalam Islam, ukhuwwah merupakan hal urgen yang hukumnya wajib. Sebaliknya perpecahan merupakan perkara yang diharamkan. Perbedaan pendapat tak semestinya mengakibatkan timbulnya kebencian, celaan, dan hinaan satu sama lain, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Karena itu hukumnya dikembalikan berdasarkan dampaknya tadi, yaitu diharamkan.

Sedangkan ukhuwwah diwajibkan agar menghindari kerusakan. Dengan ukhuwwah maka akan timbul perdamaian, rasa saling menghargai dan menghormati sehingga agama ini terjaga dengan mulia.  Salah satu cara menjaga ukhuwwah adalah dengan mengamalkan bagi masing-masing individu atau kelompok sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya, tanpa saling menyalahkan selama masing-masing memiliki dasar.

Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan

Hal ini juga dicontohkan oleh para ulama klasik khususnya di bidang fikih. Ada banyak mazhab dalam Islam di mana meski para ulama mazhab memiliki pendapat masing-masing, misalnya dalam tata cara beribadah, tetapi mereka saling menghormati dan  bahkan mau mengikuti cara beribadah yang berlaku di wilayah tertentu di mana ia sedang berada.

Cara lain adalah dengan mengembalikan asal hukum dalam Islam terkait mu’amalah atau bersosialisasi antarsesama manusia, yaitu bersikap lemah lembut, saling menasehati dengan cara yang baik, tidak saling mencela dan menghina. Tujuannya tidak lain agar ukhuwwah tetap terjaga dalam nuansa perdamaian.

Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan

Hal ini dicontohkan dalam kisah sahabat yang masih mengonsumsi khamr (minuman keras) padahal sudah masuk Islam. Nabi tidak lantas mencelanya, apalagi sampai menumpahkan darah. Namun Nabi menasehati secara perlahan dan lemah lembut agar persaudaraan sesama muslim tetap terjaga, sehingga inti dari ajaran Islam dapat dipahami dengan benar.

Korelasi ukhuwwah dengan al-wala (loyalitas)

Kajian tentang ukhuwwah juga tidak bisa lepas dari konsep loyalitas atau al-wala. Yang perlu dipahami adalah bahwa orang beriman hanya memiliki loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka bagi siapa pun yang mengaku beriman harus disifati dengan sifat umum tersebut, meski memosisikan diri pada bangsa, mazhab, atau kelompok tertentu.

Dasar utama al wala adalah taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemimpin). Taat kepada Allah dan Rasul bersifat mutlak, sedangkan kepada ulil amri bersifat fleksibel dalam arti ketaatan tersebut wajib diikuti selama tidak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin setelah Rasul tidak benar-benar terjaga dari kesalahan. Bisa jadi ia memimpin dengan adil atau sebaliknya sewenang-wenang (abuse of power).

Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas

Dalam konteks ukhuwwah ini, jika pemimpin suatu kelompok bersikap atau mengeluarkan aturan yang bisa menimbulkan perpecahan, maka tidak wajib untuk diikuti. Hal tersebut diambil berdasarkan hadis Nabi bahwa tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Perpecahan dapat dikategorikan maksiat karena sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Islam. Perpecahan dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat secara luas.

Maka dalam upaya mempraktikkan ukhuwwah, setiap orang harus memiliki ilmu yang mumpuni. Harus ada kesadaran mengenai pentingnya berilmu sebelum beramal agar dijauhkan dari prasangka buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa hanya diri kita yang benar, sedangkan yang lain salah. Juga klaim bahwa hanya kita yang memahami agama sedangkan yang lain berada dalam kebodohan.

Baca juga Mengelola Amarah

Selain ilmu yang mumpuni, upaya mengamalkan sikap ukhuwwah harus pula dengan adab. Mayoritas ulama menyatakan bahwa adab berada di atas ilmu. Dengan adab maka akan dijauhkan dari kesombongan, yaitu merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya yang berada di atas kebenaran. Dengan adab pula maka akan tecermin cahaya dari ilmu yang dimiliki.

Para ulama terdahulu juga mencontohkan pentingnya adab. Mereka tetap merendahkan hati dan mengambil faedah (istifadah) di hadapan dan dari ulama-ulama lain, bahkan yang berbeda pemahaman, dengan tidak saling merendahkan satu sama lain.

Belajar dari kisah korban dan mantan pelaku

Berangkat dari konsep ukhuwwah di atas kita bisa belajar dari contoh lain, misalnya dari beberapa korban bom terorisme. Salah satunya Mulyono, korban Bom Kuningan di depan Kedubes Australia pada September 2004. Saat itu ia sedang mengendarai mobil untuk bertemu dengan mitra kerjanya. Saat melewati kantor Kedubes Australia di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, tiba-tiba terjadi ledakan besar. Mulyono mengalami luka sangat serius. Rahang bawahnya hancur sehingga harus dioperasi berkali-kali.

Baca juga Beragama dengan Aman

Mulyono harus merasakan sakit yang luar biasa karena dokter harus mengambil tulang betisnya untuk dicangkok menjadi rahang baru. Operasi pertama gagal karena konstruksi rahangnya terlalu berat. Tak ayal harus dilakukan operasi kembali untuk merekonstruksi agar lebih seimbang. Rasa sakit yang Mulyono alami saat dan setelah operasi membuatnya hampir putus asa. Bahkan ia sempat berprasangka buruk kepada Tuhan atas “ketidakadilan” yang ia terima.

Akan tetapi secara perlahan, ia menyadari bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah kehendak Allah. Ia pun merasa bersyukur masih diberi kesempatan hidup dan terus berupaya melewati masa-masa terpuruk. Namun kisah yang lebih menggetarkan hati adalah ketika ia harus bertemu dengan mantan pelaku bom. Melalui proses yang panjang, Mulyono akhirnya mampu memaafkan para pelaku.

Baca juga Mengarifi Konflik

Ia mengatakan bahwa pelaku pengeboman sebagai sesama muslim adalah saudara. Bahwa mereka hanya keliru dalam memahami agama dan terhasut oleh ideologi kebencian. Setiap orang pernah berbuat kesalahan, tapi yang penting adalah tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Kisah Mulyono tersebut adalah wujud nyata dari adab. Ia mengakui bahwa ilmu agamanya tidak banyak, akan tetapi ia berusaha mengamalkannya dengan baik. Adab yang mementingkan persaudaraan. Berdasarkan ungkapannya bahwa “kita bersaudara”, menyembah Tuhan yang sama, dan beribadah dengan cara yang sama. Marilah sejenak kita berpikir, seorang korban bom yang demikian menderita masih menganggap para pelaku sebagai saudara. Padahal mereka sudah menghancurkan hidupnya dan membuatnya mengalami disabilitas.

Baca juga Meneladani Penyintas Bom

Sebaliknya para ekstremis yang meyakini kekerasan sebagai cara absah meraih tujuan, meskipun mungkin sudah cukup lama belajar agama, paham tentang dasar dan nilai-nilai ukhuwwah, tetapi karena meninggalkan adab, maka yang timbul justru perpecahan karena beranggapan orang lain salah dalam beragama.

Kita bisa mengambil contoh dari mantan ekstremis tentang bahaya perpecahan, salah satunya Kurnia Widodo. Mantan narapidana terorisme ini telah puluhan tahun bergabung dengan kelompok ekstremisme, yaitu sejak SMA. Kurnia diajak oleh temannya untuk mengikuti pengajian di luar kegiatan sekolah. Ia tertarik dan aktif mengikutinya. Ia mendapatkan banyak pengetahuan keislaman yang belum pernah ia peroleh.  Lama-lama ia disuruh untuk bersumpah setia dengan kelompok pengajian tersebut yang ternyata berafiliasi dengan jaringan terorisme.

Baca juga Penyintas Bom Melampaui Ketangguhan

Ia diajari banyak pemahaman yang cenderung berbeda jauh dari ajaran Islam pada umumnya. Misalnya menganggap umat Islam di luar kelompoknya salah, sehingga berdampak pada pengkafiran dan perpecahan di antara umat Islam sendiri. Bahkan lebih berbahaya mereka menghalalkan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan dengan mengabaikan dampak korban dari masyarakat umum. Pada puncaknya, Kurnia bersama kelompoknya membuat bom sebagai bentuk persiapan jihad. Akibatnya Kurnia harus berurusan dengan hukum dan dijebloskan ke penjara.

Kisah Kurnia tersebut merupakan pelajaran penting tentang bahaya perpecahan. Pelbagai aksi pengeboman di Indonesia telah menelan ratusan korban, mayoritas adalah umat Islam. Berawal dari perpecahan berujung pada kerusakan dan kehancuran. Tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Hal ini juga telah diperingatkan oleh para ulama terdahulu, bahwa mereka yang bercerai-berai (berpecah belah) telah keluar dari sunnah yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW.

Maka dari itu, kisah korban dan mantan pelaku tersebut merupakan hikmah yang dicontohkan dan diajarkan oleh para ulama terdahulu tentang urgensi ukhuwwah dan bahaya perpecahan. Wallahu ‘alam.

Baca juga Menghargai dan Mengasihi Sesama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *