28/02/2022

Isra’ Mi’raj dan Kepekaan Empati Kita

Oleh Ahmad Hifni
Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Setiap tanggal 27 Rajab umat Islam diingatkan pada momen Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa penting berupa diterimanya perintah shalat lima waktu bagi kaum Muslimin. Peristiwa Isra’ Mi’raj juga mengingatkan kita akan perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw yang tidak hanya sulit dijangkau oleh nalar dan logika manusia, tetapi juga pengingat bahwa akal bukan segala-galanya.

Secara eksplisit peristiwa Isra’ Mi’raj telah dibenarkan di dalam al-Quran, bahkan menjadi salah satu nama surat al-Isra’. Peristiwa itu merekam pengalaman luar biasa Rasulullah Saw sebagai penyempurna ajaran Islam. Isra’ adalah perjalanan super kilat Nabi pada suatu malam dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsa Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah perjalanan lanjutan Nabi dari Masjid al-Aqsa menuju Sidrah al-Muntaha, suatu dimensi ruang dan waktu yang tak terjangkau oleh nalar manusia.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bagian 1)

Karena akal manusia tak mampu mencapat derajat pengetahuan itu, maka kita dituntut memahaminya dengan keimanan. Manusia tidak mungkin mampu mencapai derajat pengetahuan itu, apalagi kemampuan manusia yang sifatnya hanya mampu menguji hal-hal yang bersifat empiris. Pengalaman Nabi itu adalah penegasan bahwa akal manusia tidak akan mampu menjangkau segala-galanya. Maka berarti peristiwa Isra’ Mi’raj adalah simbol mukjizat akal sehingga kita hendaknya tidak terlampau tunduk pada akal.

Dalam sejarah Islam disebutkan, ada dua orang yang sangat berjasa dalam dakwah Nabi di awal-awal perjuangan Islam. Mereka adalah sang istri, Khadijah dan pamannya, Abu Thalib. Khadijah senantiasa memberikan pendampingan, kasih sayang, dan dukungan materi sebagai seorang saudagar kaya. Sementara Abu Thalib begitu keras dan tegas membela Nabi dari para penentangnya. Dua orang tersebut begitu berjasa bagi dakwah Rasulullah ketika mengalami penolakan dan pertentangan dari kalangan masyarakat Makkah.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.2)

Maka ketika Nabi kehilangan dua orang tersebut, Nabi merasakan kepedihan yang sangat mandalam. Kepergian dua orang istimewa ini juga berpengaruh besar terhadap perjalanan dakwah Nabi. Orang-orang Kafir-Quraisy kembali mengancam dan melakukan serangan terhadap Nabi. Sementara itu, Khadijah sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara Nabi dan Abu Thalib sebagai penolong, pelindung dan orang yang mati-matian membela Nabi telah meninggal dunia.

Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi setelah Nabi kehilangan dua orang paling berjasa tersebut. Karena itu, peristiwa Isra’ Mi’raj seolah menjadi penghibur Nabi dari duka kejahatan kaum musyrikin dan kepergian dua orang istimewa itu. Setelah ujian demi ujian terjadi, Nabi dibawa pada pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan derajat haqqul yaqin, suatu derajat pengetahuan tertinggi dalam keimanan. Dengan derajat pengetahuan itu, Rasulullah mampu melihat sesuatu di luar jangkauan logika dan nalar manusia yang hanya fenomena saja.

Empati

Itu artinya, momen Isra’ Mi’raj yang selalu diperingati oleh umat Islam hendaknya menjadi pelajaran dari kerisalahan Nabi di atas. Bahwa dalam melihat kebenaran, tidak cukup hanya bersandar pada logika dan akal semata. Setiap manusia membutuhkan keyakinan akan kebenaran Ilahi. Dan yang paling penting adalah memperkuat rasa empati untuk melihat orang lain sebagai sesama ciptaan Allah yang sama-sama membutuhkan hak-hak yang paling dasar dalam kehidupannya.

Baru-baru ini kita patut menyayangkan, kekerasan dalam peperangan kembali terjadi dalam tragedi invasi Negara Rusia terhadap Ukraina. Seluruh pihak tentu memiliki logika dan nalarnya sendiri dalam membenarkan tindakan dan pilihan sikapnya. Namun sebaik apapun logika yang dibangun, tanpa kepekaan nurani dan empati, maka yang terjadi adalah penderitaan bagi para korban kekerasan itu sendiri. Nyawa dan darah yang mengucur adalah korban dari logika-logika yang tak diimbangi oleh nurani kemanusiaan.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.3)

Tak hanya korban peperangan, setiap bentuk kekerasan apapun tak bisa dibenarkan dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan terorisme misalnya, juga telah menelan begitu banyak korban yang tak bersalah apa-apa. Kesedihan sudah tentu mereka rasakan. Sebab, kekerasan telah menghilangkan nyawa, membuat korban kehilangan bagian dari tubuhnya, sementara anak-anak menjadi yatim piatu dan terancam kehilangan mimpi dan masa depannya.

Kepekaan empati sangat kita butuhkan untuk melindungi fisik, mental, dan nyawa manusia dari penderitaan yang tidak perlu. Hidup dengan kedamaian adalah kunci membangun peradaban. Sementara hidup dengan permusuhan adalah awal malapetaka. Sikap merendahkan, mencela, mengejek, menggunjing, berburuk sangka, dan mencari-cari kejelekan orang lain adalah tanda-tanda dari matinya kepekaan nurani dan empati kita.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag. 4-terakhir)

Tak jarang salah satu penyebab tragedi kekerasan dan peperangan berawal dari permusuhan dan kebencian. Maka dari itu, persaudaraan yang dibangun atas saling pengertian dan pemahaman harus dikedepankan sesuai ajaran Islam yang suci dan agung. Tugas utama umat Islam adalah menjaga nilai-nilai universal seperti kedamaian dan persaudaraan. Islam tidak membawa kobaran api kekacauan dan kekerasan.

Dengan pelajaran itu, maka peristiwa Isra’ Mi’raj yang kita peringati setiap tahunnya patut menjadi perenungan untuk mengontrol logika kita agar tidak berlebihan serta memperkuat kepekaan empati kita terhadap sesama. Tugas utama dari kenabian Muhammad Saw setelah peristiwa Isra’ Mi’raj itu adalah menjadikan Islam sebagai rahmat yang identik dengan perdamaian, kelembutan, kasih sayang, dan hal-hal lain yang berlawanan dengan kekerasan ataupun peperangan.

Baca juga Istikamah dalam Perdamaian: Support System untuk Mendukung Pertobatan Mantan Pelaku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *