Ibroh dari Dialog Korban dan Pelaku Terorisme
Aliansi Indonesia Damai- Sebagian orang mungkin memandang perjumpaan antara pelaku terorisme dan korbannya akan sulit terwujud. Secara logika, memang agak mustahil kedua belah pihak dapat bertemu, apalagi saling meminta dan memberikan maaf. Namun, pengalaman AIDA mendampingi kedua belah pihak, nyatanya hal itu bukanlah sesuatu yang tak mungkin terjadi. Melalui dialog dan proses cukup panjang, kedua pihak dapat melakukan rekonsiliasi (ishlah), dan bahkan tercipta persahabatan yang erat.
Perjumpaan dan dialog antarkorban dan mantan pelaku terorisme selalu menjadi momen yang dinanti-nanti. Sebab tak jarang menjadi momentum yang turut menyadarkan pelakunya bahwa terorisme telah menyebabkan orang lain menderita. Dialog yang dilaksanakan dengan jujur, terbuka, tidak melampaui batas, serta kemauan untuk menerima dan mendengarkan kisah dari masing-masing pihak turut mengetuk hati pelakunya untuk insaf dan meninggalkan jaringan kelompok ekstrem.
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 1)
Dialog kedua belah pihak adalah pertemuan hati dan pikiran antara orang yang percaya bahwa untuk mencapai kebenaran, dibutuhkan perjumpaan dan kerja sama tanpa saling merasa rendah atau tinggi. Selama ini, kita banyak dipertontonkan peristiwa, terutama di media sosial dan televisi, yang seolah-olah acara itu merupakan dialog. Namun faktanya yang terjadi sebaliknya, yaitu perdebatan yang erat kaitannya dengan pertengkaran, perasaan paling benar, mencari kemenangan, mengalahkan, melemahkan, atau mencari kesalahan pihak lain.
Dialog korban dan pelaku terorisme bukanlah perdebatan (al-mujadalah/al-jidal) semacam itu. Akan tetapi, dialog yang menuntut setiap pihak dapat menyampaikan pandangan, pikiran, dan kisah-kisahnya dengan rasa hormat dan saling menghargai. Dialog kedua belah pihak juga bukan sekadar seremonial. Namun pertukaran pikiran dan kisah yang meniscayakan pemahaman, bukan sekadar pengetahuan. Dialog yang dilakukan adalah pemahaman dari hati ke hati dan memosisikan diri untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan individu/kelompok.
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 2-Terakhir)
Dialog semacam ini sangat perlu dilakukan, dan boleh jadi amat relevan dengan kondisi sosial-politik yang terjadi. Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang begitu beragam, perbedaan pikiran berpotensi dapat menimbulkan perselisihan bila tidak diselesaikan dengan dialog. Kita tidak ingin, perbedaan yang selalu menghiasi kehidupan kita berubah menjadi konflik dan pertengkaran. Karena itu, dialog dapat mencegah potensi konflik dan perpecahan serta mengeratkan kerukunan dan jalinan persaudaraan di antara sesama.
Tentu tidak seorang pun di muka bumi ini yang menginginkan konflik dan perpecahan, kecuali mereka yang tak punya nurani dan mengalami masalah kejiwaan. Maka dari itu, kita membutuhkan dialog yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi pada saat yang sama saling mengakui bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah. Tidak pula disebut salah sepenuhnya, juga tak ada yang menang sepenuhnya. Dengan cara seperti itu, maka akan timbul saling menghormati satu dengan lainnya.
Baca juga Meluruskan Pemahaman Jihad
Setelah perjumpaan dan dialog itu dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah membicarakan kesamaan frekuensi untuk mewujudkan perdamaian yang menjadi cita-cita bersama. Sebagaimana kisah korban terorisme dan pelakunya yang mampu bersatu mengampanyekan perdamaian, maka dialog yang semestinya kita praktikkan adalah yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi bersama. Dialog semacam ini merupakan modal besar bagi pembangunan perdamaian di Indonesia.
Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata