14/02/2022

Istikamah dalam Perdamaian:
Support System untuk Mendukung Pertobatan Mantan Pelaku

Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Alumni IMM Komisariat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

“Tidak ada orang baik yang tidak mempunyai masa lalu, dan tidak ada orang jahat yang tidak mempunyai masa depan. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik.”

Demikian sepenggal kalimat yang diutarakan oleh Ali Fauzi, mantan pelaku terorisme yang pernah bergabung ke dalam kelompok ekstrem paling terkenal di Indonesia, Jamaah Islamiyah (JI). Ucapan Ali Fauzi sedikit banyak menggambarkan perjalanan hidupnya dan rekan-rekannya. Meskipun telah berulang kali melakukan aksi teror, bukan berarti hidup mereka akan menjadi penjahat selamanya. Ada satu titik di mana para pelaku menyadari kesalahannya.

Baca juga Ekstremisme Berlawanan dengan Fitrah Manusia: Refleksi Mantan Pelaku

Dari pengakuan mantan pelaku, ada sejumlah faktor pendorong yang membuat mereka bertobat. Mukhtar Khairi, misalnya. Ia bertobat setelah merenungi perbuatan mantan kelompoknya. Setelah dipikir-pikir, kelompoknya terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang justru bertentangan dengan Islam. Sampai ia berpikir, ‘apa benar Islam mengajarkan hal itu?’

Cerita berbeda dialami oleh Kurnia Widodo, mantan pelaku yang pernah bergabung dengan jaringan teroris Cibiru. Kiprah Kurnia dalam jaringan teror cukup berbahaya. Sarjana Teknik Kimia salah satu perguruan tinggi ternama ini memiliki kemampuan meracik bom. Pertobatan Kurnia terjadi di penjara, ketika ia mulai mencerna pemikiran kelompok teror yang lebih “moderat” dan bergaul dengan para sipir.

Baca juga Pendidikan untuk Perdamaian

Sedangkan Ali Fauzi, Sumarno, dan Iswanto bertobat karena nasehat mantan pentolan JI, Ali Imron. Mereka memang berasal dari lingkungan yang sama. Setelah menyadari bahwa tragedi Bom Bali 2002 adalah sebuah kekeliruan, Ali Imron berpesan kepada saudara dan muridnya itu agar menghentikan kekerasan. Tragedi Bom Bali telah menimbulkan banyak korban, bahkan di kalangan muslim sendiri.

Dari sekian faktor pendorong itu, ada satu faktor yang meneguhkan pertobatan semua mantan pelaku, yaitu pertemuan dengan para korban. Setelah melihat kondisi korban dan mendengar kisah mereka, para mantan pelaku itu tergugah hatinya. Mereka tidak pernah menyangka, bahwa aksi yang selama ini mereka bangga-banggakan, ternyata menimbulkan penderitaan yang teramat dahsyat bagi korban. Mereka memutuskan untuk berhenti melakukan aksi kekerasan, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bagian 1)

Ada sejumlah tahapan dalam pertobatan. Dimulai dengan mengakui kesalahan, lalu berani meminta maaf, dan yang paling penting, berjanji tak akan mengulangi kesalahan itu kembali. Tahapan terakhir dalam pertobatan ini membutuhkan komitmen yang sangat besar. Begitu banyak godaan yang dapat kembali menjerumuskan jika tidak teguh pendirian. Terkadang godaan itu tidak datang dari diri sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh orang lain. Dalam kasus pertobatan mantan pelaku, bujuk rayu datang dari anggota kelompok ekstrem yang masih aktif.

Ali Fauzi pernah mengalami hal ini. Ia bercerita, bahwa kakaknya yang merupakan terpidana mati Bom Bali 2002, Ali Ghufron alias Mukhlas, merekomendasikan dirinya kepada sejumlah anggota aktif teroris untuk mengajari mereka membuat bom, mengingat Ali Fauzi dulunya pernah berperan sebagai kepala instruktur perakitan bom. Namun, Ali Fauzi sudah bertobat saat itu. Ia tetap dibujuk untuk kembali aktif dalam jaringan teror. Setiap kali menolak, maka didatangkan anggota lain untuk membujuknya kembali.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.2)

Tak jarang anggota kelompok teror yang masih aktif itu mengajak dengan intimidasi. Mereka mengancam akan membunuh anggota yang sudah keluar, dengan maksud ancaman itu akan membuat mantan pelaku memertimbangkan kembali ke jaringan. Pada dasarnya, kelompok ekstrem mudah mengkafirkan siapa pun yang keluar dari kelompok mereka. Namun mereka bersedia menerima kembali anggota yang sudah keluar selama ia mau bersyahadat dan berbaiat ulang.

Oleh karena itulah, mantan pelaku membutuhkan support system agar mereka istikamah dengan perdamaian. Mantan pelaku mesti dijauhkan dari circle kekerasan dan kebencian, agar benih-benih terorisme yang telah mereka hancurkan tidak bersemi kembali. Di sini diperlukan peran keluarga maupun masyarakat untuk merangkul mantan pelaku ini.

Baca juga Refleksi Akhir Tahun Korban, Pelaku Terorisme, dan Nurani Kita

Jangan sampai mantan pelaku menerima stigma. Stigma justru rentan mendorong mereka untuk kembali ke mantan kelompoknya. Jika mantan pelaku merasa tidak diterima di lingkungannya dan bahkan dikucilkan, maka mereka akan mencari ‘tempat yang nyaman’ di kelompoknya yang lama.

Lingkungan yang baik akan membantu proses transformasi mantan pelaku menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah yang dialami oleh Iswanto misalnya. Pasca-bertobat, masyarakat memang tidak serta merta menerima Iswanto begitu saja, karena rekam jejaknya yang pernah terlibat dalam aksi-aksi kekerasan.

Baca juga Distorsi Kaidah Ulil Amri: Upaya Memahami dan Menyikapi Kepemimpinan secara Utuh

Meskipun begitu, masyarakat sekitar lambat laun menerima keberadaan Iswanto dan mengizinkannya terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Iswanto mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Ia tidak perlu koar-koar mengutarakan dirinya sudah bertobat, tapi ia tunjukkan dengan sikapnya. Semua itu direspons secara positif oleh masyarakat. Transisi Iswanto menjadi pribadi yang damai berjalan dengan baik. Iswanto semakin berkomitmen untuk meniti jalan perdamaian.

Pada akhirnya, pribadi seseorang tergantung bagaimana lingkungannya. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

Baca juga Pemerintahan Ideal Menurut Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *