31/12/2021

Refleksi Akhir Tahun
Korban, Pelaku Terorisme, dan Nurani Kita

Oleh Ahmad Hifni
Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menjelang akhir tahun ini, rasanya kita patut bersyukur. Meskipun segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik lantaran wabah Covid-19, namun dalam hidup selalu ada sesuatu yang patut disyukuri. Bayangkan, ketika sebagian orang harus mengalami penderitaan karena terdampak Covid-19, lebih lagi tak sedikit di antara saudara-saudara kita yang meninggal dunia, sebagian dari kita masih diberikan kesehatan dan mampu bertahan sejauh ini.  

Meski demikian, bersyukur bukan berarti tidak peduli terhadap berbagai persoalan. Sepanjang tahun ini, kita menghadapi berbagai ujian untuk membawa Indonesia yang lebih damai. Tidak hanya masalah wabah, tetapi juga ekstremisme kekerasan yang masih terjadi. Masih teringat pada awal tahun ini peristiwa terorisme terjadi di tengah-tengah kesulitan yang ada. Ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar (28/3/2021) dan penyerangan Mabes Polri (31/3/2021) telah menambah daftar panjang masalah terorisme di Indonesia.

Baca juga Distorsi Kaidah Ulil Amri: Upaya Memahami dan Menyikapi Kepemimpinan secara Utuh

Ironis, karena pada tahun ini aparat juga menangkap lebih dari 100 tersangka teroris yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah. Belum lagi berbagai ancaman yang bisa saja datang dari jaringan Jamaah Ansharu Daulah ataupun “lone wolf” terorisme. Melihat rangkaian peristiwa dan potensi kekerasan di sepanjang tahun ini, rasanya masih panjang tugas dan tanggung jawab bersama untuk mengeratkan jalinan persaudaraan, kerukunan, perdamaian, persatuan dan solidaritas antarsesama. 

Tak berdosa

Tentu saja setiap kali melihat peristiwa kekerasan, pihak yang paling dirugikan adalah korbannya. Korban (victims) pada umumnya adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan pelakunya, namun mereka harus menderita dengan bermacam kerugian, termasuk kerugian fisik, psikis atau mental, emosional, ekonomi, sampai masalah substansial terhadap hak-haknya yang paling fundamental. Mereka adalah korban yang tidak berdosa (innocent victims), tetapi mesti menanggung semuanya.

Apalagi persoalan terorisme seringkali dipandang hanya dari sisi pelakunya, seperti motif tindakan dan cara penanggulangannya. Relatif sedikit peristiwa terorisme yang dilihat dari perspektif korbannya. Korban masih hanya sebatas subjek yang seolah tidak penting dalam rangkaian tindakan pemberantasan terorisme, karena fokus dan perhatian masyarakat, media, dan bahkan aparat pemerintah tertuju pada pelakunya. Ketidakseimbangan ini menambah bentuk ketidakadilan berlapis bagi para korban. Mereka difungsikan sebagai sarana pembuktian dan angka-angka semata.

Baca juga Pemerintahan Ideal Menurut Islam

Perhatian pemerintah dan publik terhadap korban yang hanya bersifat sesaat setelah peristiwa terjadi makin menambah ironi itu. Bantuan mengalir di awal-awal kejadian, tetapi setelah kejadian berlalu banyak pihak kemudian lepas tangan. Belum lagi persoalan administrasi untuk mengurus hak-haknya seringkali sangat merepotkan para korban. Padahal, pelindungan dan hak-hak korban mutlak harus dipenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara atas ketidakmampuannya dalam melindungi masyarakat dari aksi terorisme.

Akibat peristiwa terorisme itu tidak sedikit para korban yang harus kehilangan fungsi sebagian organ tubuhnya. Mereka kehilangan kaki, rahang, penglihatan, jari, malahan sebagian yang lain baru mengetahui anggota tubuhnya bermasalah setelah beberapa waktu kemudian. Mereka harus menerima tubuhnya menjadi disabilitas. Bagi yang meninggal, keluarga yang ditinggalnya tak kalah menderita, seperti istri korban menjadi single parent dan tulang punggung keluarga, dan anak-anaknya menjadi yatim piatu.

Nurani pelaku

Persoalan lain dalam isu terorisme yang seringkali kita abaikan perihal latar belakang pelakunya. Mungkin sebagian besar di antara kita memandang pelakunya sebagai ‘musuh peradaban’ yang harus dibasmi dan diberantas selama-lamanya. Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Karena para pelaku terorisme selama ini memang menjadi batu sandungan bagi terwujudnya perdamaian di Indonesia. Akan tetapi, dalam konteks kemaslahatan yang lebih besar, penanggulangan terorisme dan upaya pembangunan perdamaian tak mungkin mengabaikan pelakunya.

Para pelaku terorisme sejatinya juga anak bangsa, yang untuk ‘sementara waktu’ atau untuk ‘waktu yang lama’, tidak percaya terhadap Pancasila, kecewa dan frustasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dianggap thagut. Celakanya, mereka menemukan ideologi ekstrem dan menyimpang itu dari internet dan media sosial, yang membuat mereka menempuh jalan ‘sesat’ dan salah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan hadis. Oleh sebab itu, mereka sejatinya membutuhkan pencerahan dan memerlukan ajaran Islam yang sejuk yang dapat membuka cakrawala keindahan Islam.

Baca juga Refleksi Hari Ibu: Perempuan, Kasih Sayang dan Perdamaian

Pada umumnya para pelaku terorisme memang anti-intelektualisme, bervisi sempit, bersumbu pendek, berwatak doktriner-dogmatis, dan berideologi radikal dengan pemahaman yang dangkal. Namun demikian, orang-orang berideologi keras tidak mungkin disadarkan melalui kekuatan koersi dan kooptasi, melainkan oleh daya bujuk dan kelembutan serta kehangatan dari keluarga dan teman-teman dekat mereka sendiri. Mereka membutuhkan lingkungan dan teman baru untuk mengenal tentang perbedaan dan keberagaman.

Hanya dengan cara yang humanis pintu kesadaran itu akan terbuka. Pendekatan yang mengandalkan pada perubahan ideologi semata, tidak mungkin efektif mengatasi persoalan terorisme. Banyak narapidana terorisme yang justru makin ekstrem dan menjadi-jadi setelah keluar dari penjara. Meski telah mendapatkan pendekatan deekstremisasi -atau apa pun istilahnya- selama di Lembaga Pemasyarakatan, namun mereka kembali melakukan teror.

Baca juga Pahlawan Perdamaian

Karena itu, mereka sesungguhnya perlu dibantu untuk melepaskan diri dari jaringan lama atau kelompok lama mereka dengan nurani dan lingkungan baru. Tanpa itu, mereka akan sulit melepaskan diri dari jaringan berbahaya dan ekstrem itu. Dengan cara pandang seperti itu, mereka tidak lagi kita lihat sebagai penjahat atau ‘sampah peradaban’ yang harus dibasmi, akan tetapi layaknya sesama manusia yang memiliki pertimbangan moral dan nurani, sehingga konflik dapat dibingkai kembali dalam cara yang lebih produktif.

Sudah terbukti ketidakhadiran keluarga, masyarakat terdekat, dan pemerintah untuk melepaskan mantan pelaku dari jaringan lama justru membuat mereka kembali ke dalam kelompoknya. Kita perlu mengajak para narapidana terorisme untuk berdialog dan bersosialisasi, tidak hanya dengan para ulama, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat semata, melainkan juga dengan keluarga, teman-teman dan komunitas terdekat.

Baca juga Proses Panjang Meninggalkan Ekstremisme

Pertemuan antara para pelaku dan korban terorisme juga turut menjadi salah satu cara untuk menyentuh hati mereka, sehingga membuat mereka sadar bahwa tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kekerasan akan lebih mudah dihadapi dengan kelembutan dan cinta ketimbang dengan kekerasan dan kebencian itu sendiri. Pendekatan dari perspektif korban, teman dan keluarga dekat, akan membuat narapidana teroris bisa melepaskan diri dari belenggu keputusasaan dan keterkucilan sosial.

Inspirasi damai

Pada akhirnya, dari kedua belah pihak (mantan dan korban) kita harapkan bisa terjalin silaturahmi dan dialog dari hati ke hati. Puncaknya adalah rekonsiliasi (ishlah). Pengalaman AIDA mendampingi beberapa pelaku dan para korban membuktikan itu, bahwa tidak sedikit di antara mereka yang kemudian mampu menjalin spirit persaudaraan dan rekonsiliasi.

Secara logika, cukup mustahil kedua pihak bisa bertemu, apalagi saling meminta dan memberikan maaf. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan proses panjang dan kemauan untuk melihat persoalan dari perspektif kemanusiaan, mereka saling berpegang tangan, bahkan bersama-sama mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.

Baca juga Pentingnya Ibroh Terorisme

Rasa haru dan bergetar setiap melihat mereka saling berangkulan. Dengan keluasan hati, para korban memilih memaafkan dan bangkit dari semua masalah yang dihadapi. Sementara mantan pelaku memilih hijrah dari jalan kesesatan ke jalan perdamaian. Ketika uluran tangan itu bertemu, antara permintaan dan pemberian maaf, maka yang terjadi adalah dua pihak telah memberi inspirasi perdamaian. Meminta dan memaafkan adalah cara yang paling luhur untuk memulai kedamaian dan mewujudkan suasana harmoni di antara sesama.

Memasuki tahun 2022 ini harapan kita adalah mampu menyerap ibroh dari proses rekonsiliasi korban dan pelaku. Dari nurani mereka telah tercermin makna persaudaraan, persatuan, dan perdamaian yang hakiki. Rekonsiliasi mereka juga mengingatkan kita sebagai manusia, bahwa pada fitrahnya setiap kita membutuhkan ketenangan dan kedamaian untuk hidup bersama.

Baca juga Belajar Zuhud dari Penyintas Bom

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *