25/05/2022

Membangun Religiositas Humanis, Menuju Altruisme

Oleh: Syamsul Maárif
Guru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo

Banalitas kekerasan dan konflik, atas nama apa pun, tidaklah dibenarkan dan perlu dilawan. Terlepas perdebatan yang terjadi di antara para ahli —apakah kekerasan disebabkan oleh ketimpangan sosial-politik antarkelas yang menganga lebar atau sebagai manifestasi fanatisme, rasialisme, dan salah tafsir agama— jelas sekali keduanya sama-sama sangat berpotensi menyulut dan melestarikan berbagai bentuk kekerasan.

Munculnya tren narasi kebencian, saling menghina, dan suka menghakimi antarkelompok menyeruak di ruang-ruang publik belakangan ini. Semua itu dibalut dengan baju agama dan menggunakan stempel kebenaran masing-masing. Benar-benar bisa jadi malapetaka, penyebab ambruknya modal sosial, kultural, dan merosotnya kehidupan demokrasi.

Fenomena ekspresi beragama yang kasar dan cenderung emosional ini semakin mengerikan dan seram jika diikuti ingsutan nilai lain, seperti menjamurnya budaya korupsi, menurunnya kepercayaan masyarakat ke pemerintah, meningkatnya kriminalitas dan kekerasan seksual pada perempuan.

Baca juga Hati Nurani dan Jiwa Pemaaf

Memang, harus ada keberanian mengakui kurang optimalnya agama yang diharapkan memiliki peran strategis dalam merespons masalah sosial kemanusiaan yang terjadi di masyarakat selama ini. Pendidikan agama pun masih gagal memproduksi manusia-manusia bermoral-etik. Bahkan masih sering terjadi manipulasi religius dan politisasi agama untuk kepentingan pragmatis dan kerakusan akan kekuasaan.

Agar segera bangkit dan keluar dari kondisi paradoks yang bisa menyebabkan kebangkrutan dan kehancuran, semua pihak tak cukup berdiam diri, acuh tak acuh, sekadar meratapi atau mengkritik tanpa memberi solusi. Kita perlu membangun kesadaran mendalam melakukan refleksi dan perubahan secara kolektif pada tatanan kehidupan keagamaan.

Beberapa langkah transformasi dan rekonstruksi yang bisa dilakukan segera, antara lain, pendidikan atau pengajian agama yang sering disampaikan guru, ustaz, atau pemuka agama perlu memberi penyadaran bagi bangsa yang telah didera multikrisis atau demoralisasi. Orientasinya tak sebatas menjejalkan materi agama semata.

Baca juga Kembali ke Fitrah Perdamaian

Bukan berlomba-lomba mencari keuntungan materi atau pengikut sebanyak-banyaknya, melainkan secara tulus menjalankan proses pengajaran atau pengajian yang bisa mengoptimalkan berbagai kecerdasan, memanusiakan manusia, dan membentuk manusia pembelajar. Senantiasa mencerahkan dan bermanfaat bagi diri, masyarakat, alam semesta.

Mengajarkan rasionalitas

Pengajaran agama harus menawarkan berbagai pemikiran keagamaan yang bisa dikaji secara sistematis, konseptual, dan rasional dari sudut pandang berbagai disiplin keilmuan sehingga mampu menghadirkan pencerahan dan pengayaan spiritual (spiritual enrichment and enlightenment). Memberikan kesadaran akan keberadaan dan kehadiran Tuhan yang selalu mengawasi manusia. Kemudian bisa merefleksikan citra dan etika ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih dari itu, setiap pemeluk agama harus menghayati agama secara kritis dan pengayaan intelektual yang terbuka. Tak terjebak sektarianisme dan kultusisme yang eksklusif. Spritualitas agama harus dihayati dan memberikan makna hidup, menuntun pada sebuah keyakinan bahwa manusia diberi anugerah oleh Tuhan berupa akal untuk digunakan berpikir mengatasi berbagai problematika kehidupan.

Baca juga Hikmah Puasa bagi Perdamaian

Tepat sekali pernyataan KH Hasyim Asyari: ”Khairu al-mawahib al-aqlu wasyarru al-mashaib al-jahlu” (sebaik-baiknya anugerah adalah akal dan seburuk-buruknya musibah adalah kebodohan). Melalui kekuatan akal, manusia punya dimensi khusus yang membedakan dengan makhluk lain.

Manusia diharapkan bisa merawat dan menjaga keseimbangan ekosistem. Setiap persoalan, serumit apa pun, termasuk perbedaan kepentingan dan politik, harus jadi tantangan serius bagi siapa pun—apalagi yang mengaku beragama—untuk selalu mengedepankan akal sehat. Bukan nafsu kepentingan kelompok. Lebih memprioritaskan pergulatan intelektual, kompetisi untuk kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama. Memungkinkan memilih jalan kebaikan yang diselimuti cinta kasih, daripada harus saling membenci dan bermusuhan.

Menjadi masyarakat religius, seharusnya lebih peka dan cerdas, bisa menimbang setiap persoalan, melalui timbangan yang selaras dengan ajaran agama, tidak bertentangan dengan akal, dan moralitas universal.

Baca juga Puasa: Meraih Hidup Bermakna

Punya potensi psikologis yang seimbang antara kemampuan berpikir, kesucian jiwa, dan kemuliaan budi. Mempunyai kekuatan emosi dan keyakinan bahwa memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah bukanlah jalan Tuhan, melainkan sebuah keputusan yang diselimuti amarah dan mencederai ajaran agama.

Setiap insan yang mengaku beragama dalam realitas kehidupan sehari-hari seharusnya lebih dewasa, toleran, dan humanis. Lebih-lebih yang berpendidikan tinggi. Meminjam pendapat Gus Dur, ”the higher a person’s knowledge, the greater his sense of tolerance” (semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar rasa toleransinya).

Semua pikiran, ucapan, dan gerak langkahnya senantiasa ditimbang kontribusi dan manfaatnya bagi persatuan. Menghindari pertikaian, provokasi, perdebatan tak bermakna, apalagi berorientasi melemahkan dan membelah masyarakat.

Baca juga Membaca Pikiran Teroris

Masyarakat agama yang berpendidikan tinggi jangan terjebak fanatisme buta. Diharapkan dalam menghadapi perbedaan tafsir dan kebenaran di masyarakat, tak melampaui wewenang Tuhan. Mudah memvonis sesat, kafir, dan klaim-klaim sepihak, penuh kebencian, dan saling merendahkan.

Sering meributkan kebenaran dalam bayang-bayang kepentingan sendiri. Kurang bisa menghargai kebenaran dalam perspektif masing-masing.

Padahal, sejatinya tak ada kebenaran monolitik di dunia ini. Bukankah tindakan manusia itu kadang unpredictable dan irreversible sekaligus? Di sinilah pentingnya berpikir lentur, toleran, dan dinamis. Semisal memandang seseorang yang berbuat kejahatan. Maka, perlu menggunakan logika hukum yang berprinsip keadilan. Agar tetap menjaga kemuliaan sebagai manusia dan tidak sampai terjadi pelanggaran HAM, perlu pendekatan lunak dan keras secara logis dan proporsional.

Baca juga Ramadhan Bulan Membaca

Terkadang penegakan hukum diperlukan sebatas memberi sanksi sesuai hukum yang berlaku. Namun, karena perspektif agama, setiap manusia pasti tak luput dari kesalahan (no body’s perfect), perlu ruang ampunan. Perlu diberi kesempatan memperbaiki kesalahan.

Eksoterisme-esoterisme

Dalam kerangka membangun inklusivitas beragama, manusia pemaaf, dan mengedepankan solidaritas, siapa pun yang berani menampilkan eksoterisme agama di ruang publik seharusnya juga diikuti dengan nilai esoterisme—sehingga lebih serius merealisasikan ajaran Tuhan, terbiasa mencari kebenaran, kebaikan, cinta kasih, pemuliaan terhadap sesama manusia, dan alam semesta.

Pada titik ini, harapannya spiritualitas dapat membawa pada sikap mencintai, kunci menuju altruisme. Membuat semua umat beragama mampu memandang semua manusia hakikatnya adalah satu keluarga. Memiliki cakrawala luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama masing-masing, sehingga masyarakat agama mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan ataupun kesamaan cita-cita.

Baca juga Puasa sebagai Emansipasi

Dalam Islam, berteologi secara inklusif dan altruistik sangat dianjurkan, dengan menampilkan wajah agama secara santun, ramah, tak perlu saling menyalahkan dan menghina kelompok lain. Lebih indah lagi jika bisa mempertemukan beragam kepentingan. Saling menghormati, membantu, dan memuliakan (mutual love). Prinsipnya, keanekaragaman itu desain Tuhan (sunnatullah). Kebenaran dan pintu hidayah hak prerogatif Allah semata.

Islam memerintahkan umat Islam dapat berinteraksi dengan agama lain dan bisa menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan dialog intelektual/teologis bersama-sama dan dengan cara sebaik-baiknya. Tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau merendahkan satu sama lain.

Dalam perspektif khazanah pemikiran dan praktik keagamaan Islam, model keberagamaan kaum sufi sangat inklusif, lebih substantif, dan tak membuat demarkasi antara in group dan out group. Memungkinkan dialog dan kerja sama antaragama yang membumi dan memperkuat integrasi bangsa.

Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur

Gerakan kaum sufi telah memberikan sumbangan sangat berharga dan memberikan dimensi spiritual yang kaya. Kemunculan mistisisme, meminjam ungkapan Annemarie Schimmel (2003), membawa karakter khusus. Memperkenalkan sebuah gerakan orisinalitas karakter asketis. Abdul Qodir al-Jilani dalam kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq Ázza wa jalla menyatakan, penekanan sufisme pada aspek pengabdian kepada Allah SWT.

Sementara, menurut Sayyed Hossein Nasr dalam buku Living Sufisme (1980), ”jalan tasawuf telah memberi contoh bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, lewat berbagai zikir, penyucian jiwa dan hati melalui kontemplasi (al-Kasf), menghayati ajaran sampai ke tingkat kedalamannya (al-Ma’rifah), sikap zuhud dan wira’i, dan melakukan amalan kebajikan yang murni”.

Pendek kata, jika semua masyarakat agama memiliki keseimbangan antara esoteris dan eksoterisme beragama, ini memungkinkan beragama lebih humanis; berhati bersih, lembut, dan penuh kasih. Senantiasa sabar, santai, merangkul, dan membimbing ke jalan-jalan kemuliaan. Jauh dari sikap kekerasan, baik yang bersifat verbal atau nonverbal. Akhirnya, semua manusia bisa bertemu pada jalinan kemanusiaan dan persahabatan sejati, bukan?

Baca juga Pembangunan dan Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *