Ketangguhan Ayah Korban: Berkenalan dengan Ayah Pelaku (Bag. 2)

Pengantar: Artikel berseri ini bercerita tentang ayah korban teror Paris 2015. Usai berhasil mengatasi kesedihannya, ia mendirikan wadah penyintas teror dan kemudian malah bekerja sama dengan ayah pelaku teror untuk membangun perdamaian. Redaksi menerjemahkan dan menyarikannya dari pelbagai sumber daring.

Georges Salines dengan tegas mengatakan bahwa ia ingin memerangi terorisme, namun juga menolak sikap antikeberagaman. Oleh karenanya, ia tidak dapat membenarkan beban kesalahan yang dilimpahkan kepada Azdyne Amimour selaku ayah dari seorang teroris.

“Alasan kedua adalah bahwa di Perancis, Inggris atau di mana pun di Eropa, ada masalah penganiayaan terhadap muslim. Ada ketegangan politik. Kita harus melakukan dialog yang sehat dengan komunitas muslim. Dengan bertemu ayah dari salah satu pembunuh anak perempuan saya, saya yakin saya mengirim pesan yang sangat kuat. Musuh kita adalah teroris,” tambahnya seperti dikutip oleh The Sun, 01/01/2020.

Baca juga Ketangguhan Ayah Korban: Ingin Melawan Terorisme (Bag. 1)

Georges menyadari bahwa menjadi ayah seorang teroris membuat Azdyne harus menelan sendiri dukanya. Ia memutuskan untuk bertemu dan berbagi pengalaman duka sebagai sesama ayah untuk saling meringankan. Pertemuan tersebut juga membuat Georges mengetahui bahwa Azdyne pun tidak menyadari bahwa putranya telah kembali ke Perancis, hingga unit anti-teroris mendatangi rumahnya tiga hari pascakejadian. Pada tahun 2013, Samy pergi ke Suriah dan tidak ada kabar setelahnya.

“Aku sedih dan juga marah,” ungkap Azdyne menceritakan reaksinya setelah mendengar kabar bahwa putranya telah terlibat dalam serangan dan tewas. Dia percaya bahwa putranya yang penakut dan tertutup adalah mangsa yang mudah bagi kelompok ekstrem. “Dia akan sangat mudah untuk dimanipulasi. Bahkan putraku adalah korban,” ujarnya menambahkan.

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian I)

Keadaan tersebut bahkan membuat Azdyne harus ikut merasakan dampak dari tindakan putranya. Ia harus menyembunyikan identitasnya dan sering melapisi fotonya dengan bayangan untuk menghindari pengenalan publik. Terlihat bahwa Azdyne harus menghadap membelakangi kamera ketika tampil di media massa, termasuk ketika diundang oleh France 24  pada 12 Maret 2020.

Pertemuan pertama antara keduanya yang terjadi di pagi hari pada Februari 2017 melahirkan sebuah komitmen bersama. Azdyne yang sejak awal telah memiliki ide untuk menerbitkan sebuah buku mendapat dukungan penuh dari Georges. Setelah pagi itu, keduanya semakin sering bertemu, bercerita dan lebih terbuka satu sama lain.

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian II-Terakhir)

Mereka mulai merasakan kekuatan dialog, karena mampu membantu mereka mengatasi rasa benci, kesalahpahaman, dan kemungkinan untuk membalas dendam. Kesadaran atas kekuatan tersebut pula yang mendorong mereka untuk menulis buku secara bersama. 

Isinya tentang cerita mereka, kesamaan dan perbedaan di antara keduanya, serta bagaimana cara mereka menerima perbedaan satu sama lain. Mereka menyadari bahwa tidak semua perbedaan dapat diubah. Selamanya perbedaan tersebut akan terus berbeda. Maka jalan terbaik adalah menerimanya. (bersambung)

Sumber 1 Klik Disini

Sumber 2 Klik Disini

Baca juga Determinasi Diri Penyintas Bom Kuningan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *