17/02/2021

Catatan Pemenuhan Hak Korban Terorisme: Menuju Negara Paripurna

Oleh Hasibullah Satrawi
Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

Tanggal 16 Desember 2020 menjadi hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam proses menuju Negara Paripurna. Pada tanggal itu, Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, secara simbolik menyerahkan kompensasi bagi para korban aksi terorisme di masa lalu. Dari total 215 korban aksi terorisme di masa lalu yang akan mendapatkan kompensasi pada tahapan sementara ini, sebagian korban diundang ke Istana Merdeka untuk menerima kompensasi ini secara simbolik.

Berdasarkan UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, yang dimaksud dengan korban aksi terorisme di masa lalu adalah mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme yang terjadi sebelum UU tersebut disahkan (2018) hingga peristiwa terjadinya aksi terorisme di Bali pada tahun 2002 (dikenal dengan istilah Bom Bali I). Ketentuan peralihan dalam UU tersebut (Pasal 43L) menyebutkan bahwa korban aksi terorisme di masa lalu yang belum mendapatkan layanan medis, psikologi, psikososial dan kompensasi berhak (bisa diproses) untuk mendapatkan hak-hak tersebut (ayat 1). Bahkan pemberian kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu diberikan keistimewaan; tidak harus melalui putusan pengadilan (sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 6), melainkan bisa melalui penetapan dan penghitungan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK (Pasal 43L ayat 6). Dan jenis kompensasi inilah yang secara simbolik diberikan oleh Bapak Presiden pada 16 Desember 2020 kepada  perwakilan korban dengan disaksikan oleh segenap pimpinan LPSK dan sejumlah pejabat negara dari lembaga terkait lainnya.

Baca juga Fenomena Post-Truth dan Tantangan Perdamaian

Sejarah hak korban terorisme

Pada awalnya, para korban aksi terorisme di Indonesia tidak mendapatkan hak apa pun dari negara, baik hak medis, psikologis, psikosial ataupun kompensasi. Para korban aksi terorisme di negeri ini baru berhak mendapatkan dukungan dari negara seiring disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003. UU ini memberikan dua hak bagi para korban aksi terorisme, yaitu hak restitusi (ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku terorisme) atau kompensasi (hak ganti rugi yang dibebankan kepada negara). Pemberian kompensasi dalam UU ini diatur berdasarkan putusan pengadilan (Pasal 36 ayat 4).

Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendampingi para korban aksi terorisme di masa lalu, tidak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan hak kompensasi maupun restitusi. Alih-alih mendapatkan salah satu dari kedua hak tersebut, para korban maupun keluarganya bahkan tidak mengetahui bahwa ada hak yang diatur oleh UU untuk mereka.

Baca juga Ketangguhan Melawan Ekstremisme

Lalu bagaimana dengan hak medis, psikologis maupun psikosial? Berdasarkan UU di atas bisa dipastikan, para korban aksi terorisme di masa lalu (sebelum 2014) tidak ada yang mendapatkan hak-hak tersebut. Mengingat UU tersebut telah disahkan pada tahun 2003 dan hanya mengatur dua hak restitusi dan atau kompensasi. Dengan demikian, kalaupun ada dari para korban aksi terorisme di masa lalu yang mendapatkan layanan medis, maka hal tersebut tidak bisa disebut sebagai hak (mengingat belum diatur dalam UU), melainkan lebih sebagai uang kerahiman atau belas kasihan dari pejabat negara tertentu. Kalaupun ada lembaga negara yang membantu para korban aksi terorisme di masa lalu (termasuk layanan medis), hal tersebut dapat dipastikan dimasukkan dalam ketentuan perundang-undangan lain di luar hak-hak yang diatur untuk korban aksi terorisme.

Sangat miris, di saat para korban aksi terorisme di masa lalu hanya mendapatkan “belas kasihan” dari pejabat negara (karena belum ada UU yang mengatur tentang hak medis, psikologis dan psikosial), sejumlah negara asing justru banyak membantu para korban di Indonesia. Bahkan tak sedikit dari para korban yang mendapatkan layanan medis sekaligus dirawat di negara tersebut dengan biaya yang juga ditanggung oleh mereka (negara asing tersebut).

Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas

Dalam konteks seperti ini bisa ditegaskan, tidak ada negara dalam peristiwa aksi terorisme di masa lalu. Negara tidak ada pada saat aksi-aksi terorisme itu terjadi. Dan negara juga tidak ada pada saat para korban mengalami segala dampak dari aksi terorisme yang ada.

Padahal, secara teori, aksi terorisme tidak ditargetkan kepada para korban, khususnya dari masyarakat sipil. Mengingat para pelaku terorisme tidak ada masalah dengan para korban, khususnya dari kalangan sipil. Alih-alih, para pelaku terorisme bahkan tidak kenal dengan para korban. Sebaliknya, para pelaku terorisme ada masalah dengan sistem ataupun kebijakan negara. Hingga mereka merencanakan sebuah aksi yang sejatinya ditargetkan kepada negara maupun aparatnya, khususnya aparat keamanan. Alih-alih menghancurkan negara dan menggantinya sesuai dengan sistem negara yang mereka perjuangkan, aksi terorisme justru melukai bahkan membunuh banyak masyarakat sipil.

Baca juga Tantangan Pemenuhan Hak Korban Masa Lalu

Dalam konteks seperti ini, penulis kerap menyebut para korban aksi terorisme sebagai martir negara. Mereka luka bahkan meninggal dunia karena kejahatan yang dialamatkan kepada negara. Mereka luka bahkan meninggal dunia karena kelalaian negara dalam melindungi segenap tumpah darah warganya. Lebih miris lagi, puluhan tahun negara membiarkan para martirnya berjuang sendirian untuk menghadapi segala dampak fisik maupun psikis yang timbul dari aksi terorisme yang ada.

Peran strategis LPSK

Sejarah pemenuhan hak korban terorisme di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar pada tahun 2014. Pada tahun ini, Indonesia merevisi UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi UU Nomor 31/2014. Dalam UU ini, untuk pertama kalinya, hak medis, psikologis dan psikosial diberikan oleh negara kepada para korban aksi terorisme (Pasal 6). Bahkan UU ini juga memuat ulang ketentuan hak kompensasi dan restitusi yang implementasinya dirujuk kembali kepada UU Nomor 15/2003, yakni harus melalui putusan pengadilan (Pasal 7 ayat 4).

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)

Melalui LPSK, negara hadir untuk pertama kali bagi para korban aksi terorisme, memberikan layanan medis, layanan psikologis dan juga psikosial. Kehadiran negara (melalui LPSK) pada tahun 2014 dan seterusnya berdasarkan hak yang diatur dalam UU, bukan berdasarkan belas kasihan dari pejabat negara tertentu seperti sebelum tahun 2014 (karena belum ada ketentuan yang mengatur secara spesifik). Bahkan ketentuan kompensasi yang sudah diundangkan sejak tahun 2003 akhirnya bisa diimplementasikan pada tahun 2017 dalam kasus Bom Samarinda, sebagian korban Bom Thamrin (2016), sebagian korban bom Kampung Melayu (2017), sebagian korban bom Surabaya (2018) dan sebagian korban bom Sibolga (2019).

Kehadiran negara melalui LPSK kepada para korban sangat strategis, tidak hanya karena sesuai dengan ketentuan UU (sebagaimana di atas), melainkan dan terutama karena secara teori, terorisme dialamatkan kepada negara maupun pejabatnya. Sementara negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap warganya. Oleh karenanya, LPSK perlu didukung oleh semua pihak (mulai dari komunitas korban hingga kementerian maupun lembaga negara terkait) untuk terus mengimplementasikan dan memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai kebutuhan faktual yang ada di lapangan. Mengingat dalam konteks pemenuhan hak-hak korban terorisme, peran LPSK selama ini telah menjadi bukti nyata dari keberadaan negara.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 2)

Tahun 2018 menjadi “tahun penyempurna” bagi sejarah hak-hak korban terorisme di Indonesia, paling tidak secara normatif. Pada tahun ini, revisi atas UU Nomor 15/2003 disahkan menjadi UU Nomor 5/2018. Dalam UU ini hak-hak korban terorisme mengalami penguatan, bahkan kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu pun turut diatur dalam UU ini. Bahkan ketentuan terkait kompensasi bagi korban aksi terorisme di masa lalu sangat istimewa karena diatur melalui mekanisme penghitungan dan penetapan dari LPSK, bukan melalui putusan pengadilan. Dan setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, akhirnya kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu diberikan secara simbolik oleh Bapak Presiden pada tanggal 16 Desember lalu.

Berdasarkan pengalaman penulis menghadiri forum-forum internasional terkait dengan korban terorisme (termasuk yang diselenggarakan oleh lembaga di bawah PBB), tidak banyak negara yang memiliki aturan khusus untuk pemenuhan hak-hak korban terorisme, khususnya kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu. Tidak sedikit negara yang memberikan hak kepada korban aksi terorisme laiknya korban-korban kejahatan lainnya. Padahal terorisme berbeda dengan kejahatan lainnya, minimal dalam hal tidak adanya hubungan (baik langsung atau tidak) antara pelaku dan korban dari sebuah tindak pidana terorisme.

Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan

Pengalaman menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dunia terorisme (termasuk dalam pemenuhan hak korban) bisa dijadikan sebagai model sekaligus modal berarti bagi bangsa ini dalam upaya menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang lain di bidang yang lain pula, seperti persoalan HAM di masa lalu, masalah kebebasan beragama atau berkeyakinan dan masalah-masalah lainnya. Hingga negara ini terus berproses menuju Negara Paripurna.

Negara sejatinya melindungi segenap tumpah darah warganya, memberi perlakuan yang sama kepada mereka, menjamin hak-hak dasar mereka sebagai warga negara yang setara sekaligus menindak siapa pun yang membuat warga negara tidak mendapat hak-haknya. Termasuk bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat negara. Karena pada akhirnya rakyatlah yang berdaulat. Sementara pemerintah atau pejabat negara merupakan pelayan, abdi atau manajemen yang bertugas memanage proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga semuanya bisa mendapatkan semua yang tak bisa didapat kecuali melalui hidup berbangsa dan bernegara. Tanpa semua itu, apalah arti berbangsa dan bernegara?

*Artikel ini telah dimuat di harian Koran Sindo edisi Selasa, 16 Februari 2021.

Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *