30/06/2021

Cermat dengan Stigma Sosial

Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat

Belakangan ini media sosial diramaikan dengan perdebatan tentang film animasi religi yang tayang di stasiun televisi swasta. Akarnya, salah seorang pegiat media sosial menuding film tersebut mempromosikan ekstremisme agama. Pasalnya dua tokoh utama film menggunakan jenis pakaian tertentu yang tidak khas Indonesia, melainkan lebih terlihat seperti pakaian anak-anak Taliban, salah satu kelompok ekstrem di Afghanistan.

Hanya karena cara berpakaian, film animasi dianggap sebagai bagian dari propaganda ekstremisme. Apakah benar cara berpakaian dapat menjadi indikator bahwa seseorang itu ekstrem dan berpotensi melakukan tindak terorisme? atau hanya merupakan stigma sosial saja?

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Dalam beberapa kesempatan, para pelaku terorisme, baik itu yang tertangkap ataupun yang tewas di tempat, memang kerapkali terlihat mengenakan atribut tertentu, misalnya berjenggot panjang, mengenakan gamis atau bercelana cingkrang di atas mata kaki, bagi pria. Adapun pelaku perempuan kerap berpenampilan dengan cadar dan gamis hitam polos. Tentu tak semuanya beratribut demikian.

Adalah kesalahan besar jika melabeli semua orang berjenggot, bercadar, mengenakan gamis atau celana cingkrang sebagai ekstremis, hanya karena ada pelaku teror berpakaian demikian. Ekstremisme jelas tidak bisa diukur dengan cara berpakaian, melainkan harus dicermati dari isi pikiran, pemahaman, dan ideologinya.

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Solahudin, peneliti jaringan terorisme dan penulis buku “dari NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (2011), secara adil menempatkan soal Islam, pakaian, dan terorisme. Ia menolak sikap denial sebagian orang yang menyebut Islam tidak terkait dengan terorisme. Padahal, pelaku memang melandaskan aksi-aksinya itu pada interpretasi dalil-dalil Islam. Mengakui bahwa ada oknum di dalam Islam merupakan langkah awal sebelum memersiapkan konter narasi terhadap pemikiran oknum tersebut.

Namun ia juga menolak apabila pakaian muslim tertentu dikaitkan dengan terorisme. Kelompok teroris hanya bisa diidentifikasi melalui pemikiran mereka. Ketika seseorang mudah mengkafirkan pemerintah maupun orang yang menolak pandangannya karena mendukung Pancasila ketimbang formalisasi syariat Islam, dan dengan pelabelan kafir itu ia halalkan darah untuk ditumpahkan, maka itu indikasi utama seseorang berpaham ekstrem.

Baca juga Terapi Pemaafan

Mantan pelaku terorisme pun menolak terorisme diidentikkan dengan preferensi pakaian tertentu. Ali Fauzi Manzi, adik dari trio pelaku Bom Bali 2002, mengatakan bahwa sangat susah mengidentifikasi teroris dari lahirnya, karena mereka terkadang menyamar agar terlihat sama dengan masyarakat pada umumnya. Ciri-ciri teroris hanya bisa dibongkar dari pemikirannya.

Buktinya salah satu pelaku Bom Thamrin menggunakan kaos, celana jeans, dan topi berlambang Nike saat melancarkan aksi. Maka mengaitkan pakaian tertentu dengan ekstremisme dan terorisme tak lebih dari sekadar stigma sosial semata. Stigma sosial adalah penolakan terhadap seseorang atau kelompok karena kepercayaan orang atau kelompok tersebut melawan norma yang ada. Stigma sering mengakibatkan pengucilan hingga persekusi kepada orang atau kelompok yang bersangkutan.

Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial

Stigma sosial kerap menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, pemberi stigma suka menggeneralisasi suatu kelompok sebagai pelaku kejahatan, biang masalah, dan label-label negatif lainnya. Bahkan, pemberi stigma tak jarang memprovokasi untuk membenci kelompok tertentu, sehingga memicu gesekan yang membahayakan.

Merawat stigma sosial hanya akan menciptakan polarisasi yang berujung pada spiral kekerasan. Di satu sisi, pemberi stigma memicu terjadinya persekusi berbasis kekerasan terhadap kelompok tertentu. Sementara di sisi lain, kelompok yang terkena stigma, tidak menutup kemungkinan suatu saat akan jengah dan melawan. Kekerasan akan melahirkan dendam yang dapat memicu kekerasan lainnya. Begitu seterusnya sampai kekerasan itu mengoyak kedamaian.

Maka menghindari stigma sosial adalah satu dari sekian cara untuk menutup potensi konflik. Dalam Islam, ada kewajiban tabayyun saat menerima informasi yang diragukan, yaitu menelusuri kebenaran tentang sesuatu sampai jelas. Tabayyun inilah yang harusnya dikedepankan alih-alih langsung melontarkan tuduhan. Sebagai bangsa yang beradab, kehidupan hendaknya dibangun dengan pilar-pilar dialog dan kekeluargaan, bukan dengan curiga ataupun prasangka.

Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *