Beragama yang Bermaslahat
Jika tak dipahami secara komprehensif, ajaran agama terkadang menampilkan dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi ada ajaran kelembutan, kasih sayang, dan welas asih kepada sesama. Tetapi di sisi lain ada doktrin-doktrin yang memicu sebagian pemeluk agama melakukan aksi kekerasan, bahkan atas nama Tuhan.
Sejatinya setiap agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik kepada siapa pun. Bahkan dalam salah satu hadis ditegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Akhlak mengajarkan kita untuk menebar hal-hal positif dan menghindari sesuatu yang bersifat merusak, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Baca juga Belajar dari Mantan Ekstremis
Setiap agama tentu menuntut pemeluknya untuk bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada siapa saja. Dalam Islam, konsep kebermanfaatan dikenal dengan maslahat. Semakin orang bermanfaat bagi kehidupan orang lain, maka semakin terlihat keluasan pemahamannya.
Khoirunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik orang adalah yang paling bisa memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain), demikian sabda Nabi yang sangat masyhur. Salah satu ekspresi kebermanfaatan dalam hidup adalah menumbuhkan empati dan simpati kepada siapa pun. Karena dengan empati, kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Baca juga Konsep Pertobatan Mantan Ekstremis
Dalam sejarah, Nabi bergaul dan berbuat baik kepada orang yang berbeda agama. Hal itu pernah dituliskan riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi banyak berinteraksi dengan kaum Nasrani dan Yahudi yang kala itu hidup di Makkah dan Madinah. Dalam konsep berhubungan baik (musayarah), beliau tidak pernah melihat identitas agama seseorang dan latar belakangnya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi.
Tak heran Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah Saw diutus sebagai rahmatan (penebar kasih sayang) dan bukan melaknat orang lain dengan sumpah serapah. Bukan juga sebagai penebar ketakutan atau perlakuan buruk kepada orang lain. Dari sini terlihat bahwa Nabi tidak mengajarkan umatnya untuk membenci dan memerangi orang yang berbeda dengan kelompoknya. Belajar dari sejarah/riwayat hidup Nabi di atas, tampak bahwa karakter inklusivitas adalah keharusan dalam praktik keberagamaan setiap individu maupun kelompok.
Baca juga Seni Mengelola Dendam
Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap wasath (pertengahan), artinya tidak terjebak dalam sikap ekstrem. Menurut sebagian ulama, sikap wasath itu berada di antara dua sikap, antara pasrah dengan keadaan dan meyakini kepada usaha yang sekuat tenaga. Menurut Ibnu Asyur, ulama kontemporer Tunisia yang menulis kitab al-Tahrir wa al-Tanwir, menafsirkan bahwa Allah Swt menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan adalah bentuk pujian sekaligus ujian agar tidak bersikap ekstrem. Lebih jauh ia menegaskan bahwa sikat wasath harus diimplementasikan dengan tidak ifrath (melampaui batas) dan tidak tafrith (menyepelekan) serta i’tidal (berlaku adil).
Sikap wasath berhubungan erat dengan inklusivitas, di mana setiap orang bisa membuka diri terhadap perbedaan dan keragaman, bisa berdialog dengan orang atau kelompok yang berbeda. Dialog secara aktif dan terbuka akan melahirkan berbagai pemakluman dan keterbukaan yang harmonis. Setiap pemeluk agama memang diharuskan meyakini bahwa ajaran agamanya yang paling benar, namun hal itu tak mengurangi sedikit pun penghormatan terhadap keimanan pemeluk agama lain. Bahkan sebaliknya kita diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) agar perbedaan tidak semakin meruncing.
Baca juga Kesabaran dan Pemaafan
Menurut penuturan sejumlah mantan pelaku ekstremisme kekerasan yang telah insaf, pintu masuk ekstremisme dimulai dari sikap eksklusif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksklusivisme dimaknai sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.
Pemisahan ini dipicu oleh pemahaman yang meyakini bahwa kelompoknya adalah yang paling benar sedangkan orang yang berada di luar kelompoknya dianggap sesat bahkan kafir. Tak ayal, untuk mencegah perkembangan ekstremisme, kita harus terus meneguhkan keberagamaan yang inklusif yang menebar maslahat bagi kehidupan.
Baca juga Menjaga Akhlak di Medsos