Konsep Pertobatan Mantan Ekstremis
Dalam kehidupan, rasanya tidak ada orang yang tidak pernah berbuat kesalahan. Bisa jadi kesalahan itu diperbuat karena dorongan diri sendiri atau karena faktor di luar dirinya. Oleh karenanya, setiap orang diperintahkan untuk bertobat sebagai bentuk perbaikan. Tobat bermakna mengakui kesalahan yang pernah diperbuat, pada saat yang bersamaan juga berkomitmen kuat untuk tidak akan mengulanginya lagi. Dalam Islam, menyesali kesalahan dengan sungguh-sungguh dikenal dengan istilah taubatan nasuha.
Muhammad al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa tobat merupakan ajaran yang mulia dan sangat dianjurkan untuk dilakukan siapa saja. Sekalipun hal itu berkaitan dengan kesalahan yang sangat besar. Bahkan atas perbuatan yang berdampak kerusakan besar sekalipun, pelakunya tetap diberi kesempatan bertobat.
Baca juga Seni Mengelola Dendam
Ada kisah menarik yang dimunculkan al-Ghazali terkait pertobatan dan harapan (raja’) terhadap ampunan Allah Swt. Dikisahkan bahwa ada seseorang remaja datang menemui Imam Ali bin Abi Thalib KW. Ia mengadu kepada sepupu Nabi Muhammad itu bahwa dirinya telah berbuat dosa yang sangat besar. Imam Ali lantas menjawab, sebanyak apa pun dosa dan kesalahan seseorang, maka jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya.
Begitu juga ketika remaja tersebut mengajukan pertanyaan yang sama ke Sufyan al-Tsauri, ia menjawab bahwa ampunan akan datang dari Allah, karena rahmat Allah Swt sangat luas, sembari mengutip hadis Nabi Muhammad Saw, “Allah telah menjadikan rahmat dalam seratus bagian, maka ditahan oleh-Nya yang sembilan puluh sembilan, dan diturunkan di bumi satu bagian. Dengan satu bagian, masing-masing makhluk berkasih sayang.”
Baca juga Kesabaran dan Pemaafan
Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa seberat apa pun kesalahan yang diperbuat seseorang, maka jangan memutuskannya dari pintu harapan (al-raja’) untuk berubah. Dalam pelbagai ayat Al-Qur’an, Allah Swt. sangat menyukai dan menerima orang yang telah bertaubat dari kesalahan masa lalu.
Menurut al-Ghazali, tobat memiliki ciri-ciri, yaitu menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan ingin berubah kepada yang lebih baik. Kita bisa mengamati indikasi pertobatan mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Dulu mereka mengimplementasikan pemahamannya yang serba hitam-putih dalam bentuk kekerasan demi mencapai tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tampak mulia seperti membantu umat Islam yang dizalimi, bahkan untuk meninggikan agama, namun sebaliknya justru membuat kerusakan yang luar biasa.
Baca juga Menjaga Akhlak di Medsos
Kini beberapa mantan pelaku ekstremisme kekerasan berubah menjadi aktivis perdamaian. Mereka tidak lagi memiliki rasa benci kepada aparat pemerintah serta menampilkan wajah keberagamaan yang santun dan penuh tata krama. Mereka pun tak sungkan meminta maaf kepada para penyintas bom.
Kesungguhan untuk berubah bukan hanya isapan jempol, akan tetapi muncul dari kesadaran diri dan usaha untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk waspada terhadap ekstremisme kekerasan. Berdasarkan pengalaman nyata mereka, masyarakat bisa mengambil banyak pembelajaran pentingnya menjaga dan merawat perdamaian.
Kesadaran selanjutnya adalah bahwa mereka tidak akan pernah terlibat lagi. Sebaliknya melakukan reedukasi terhadap teman-teman lamanya atas bahaya dampak aksi terorisme.
Baca juga ‘Kepungan’ Menjaga Harmoni